39

186 7 7
                                    



Aku mengeleng-geleng tak percaya saat ia kembali menjelaskan, pandanganku menjadi samar, batinku bergejolak, “ini pilihan yang sulit untuk kita semua, tapi kita nggak bisa nolak permintaan ibumu. Dia mohon-mohon sama kita buat maksa kamu pulang ke rumah dan mengakhiri hubunganmu dengan Willy, dia ingin kamu kembali Bell,”

“ASU KOE NDI!!!,” kutukku tajam, emosi melumat penuh tubuhku. Kutahan tanganku untuk tak menghantamkan barang-barang di depanku di wajahnya, “aku hampir mati gara-gara kalian semua!” lanjutku dengan nada meninggi, “aku nggak habis pikir! Kalian kok bisa setega itu sama aku? Aku bukan kelinci percobaan Ndi! Aku punya hati, aku punya perasaan! Ngehek banget jadi orang!”

“Aku ngelakuin hal itu juga karena aku punya alasan Bell,” katanya melembut, berusaha menenangkan hatiku yang kalut, “kita juga mikir itu lama, nggak langsung iyain aja permintaan ibumu gitu aja,”

Aku sama sekali tak percaya. Aku mulai memiliki alasan untuk membencinya, mataku mulai berkaca-kaca, nafasku hadir tak beraturan, aku masih kesulitan menerima hal ini. Aku membenci kenyataan ini,  “Alasan tai! Koe ki wong seng paling tak percoyo jobo jero Ndi, bosokku koe reti kabeh. Uripku tak ceritakke karo koe kabeh. Koe kok tegel men karo aku?” kutangkupkan telapak tangan untuk menutupi wajahku, “tujuh bulan lebih aku nggak fungsi jadi manusia, nggak bisa ngapa-ngapain karena sakit hati yang kalian rencanakan? Bangsat banget sih kalian jadi manusia!”

Air mataku mulai merembes lagi, padahal sudah lama aku damai dengan air mata itu. Rasa benci bergumul di dalam dadaku. Aku merasa seperti pecundang. Pecundang yang di permainkan.

“Gini lho Bell,” katanya lembut, berusaha menyentuh hatiku, “menurut Willy, sudah waktunya kamu buat rekonsiliasi sama keluargamu. Dia yang jadi saksi betapa sesunguhnya kamu masih butuh keluargamu dan rindu sama mereka. Aku, Willy, Sandra sama anak-anak emang keluargamu Bell, tapi nggak bakal ada yang bisa mutusin ikatan biologis. Sekuat apapun kamu nyangkal, mereka tetep keluarga kamu. Setiap orang pasti berbuat salah Bell, tapi kita nggak bisa meninggalkan keluarga,”

“Taik!” kataku penuh emosi sebelum meninggalkannnya sendirian.

Aku marah. Aku marah terhadap banyak hal. Aku marah terhadap Andi, Sandra, Ibuku, bahkan aku marah terhadap Willy karena menyutujui rencana bodoh itu. Rencana yang menempatkan diriku sebagai pecundang tempat percobaan mereka. Aku benar-benar benci semua hal itu. Bangsat! Tai! Ngehe! Gimana bisa aku sebodoh ini? Sama sekali tak bisa membaca apa yang mereka sembunyikan dariku?

FUCKKK!!!

Aku berteriak seperti binatang terluka di parkiran cafe sebelum memacu kendaraanku dengan kecepatan tinggi di jalanan Solo yang mulai memadat. Aku tak bisa berfikir jernih. Emosi menguasai setiap sendi di tubuhku. Aku mengutuk diriku sendiri, memisuhi banyak orang. Berteriak-teriak sepanjang jalan. Aku kacau, aku bodoh, aku pecundang. Bajingan! Aku merasa muak dengan diriku sendiri.

ASU.

Aku sama sekali tak menyangka jika orang-orang yang aku percayai bisa memperlakukanku seanjing ini. Apa mereka fikir aku manekin tak berperasaan? Bagaimana kalau aku meninggal saat itu dan sama sekali tak mengetahui fakta ini? Apakah mereka akan bertepuk tangan karena berhasil memecundangiku?

NGEHEK!

Sepanjang jalan aku merutuk, mencaci dan terus berteriak tak karuan. Aku harus meluapkan emosi ini. Tai, bagaimana bisa aku sebodoh ini? Aku kecewa dengan mereka semua, kecewa dengan ibuku, kecewa dengan diriku sendiri. Kenapa dulu aku tak berjuang lebih untuk menyakinkannya terus disisiku? Kenapa dulu aku hanya pasrah dan tak meminta penjelasan? Kenapa aku dulu tak menyusulnya ke Bandung? Anjing, kenapa aku segoblok ini?

Abel & WillyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang