Setelah sembilan hari tak bertatap muka dengan Willy, malam hari ke sepuluh ia langsung menghampiriku di Reve dengan wajah berbinar. Jaket biru bergambar ukiran rumit dan sepatu santai warna merah padam ia sodorkan padaku dalam balutan tas berwarna coklat tua. Setelah menungguku di Reve hingga dua jam, ngobrol dengan Andi dan bersantai di lantai dua, kita meninggalkan cafe dengan hati sumringah. Ingin cepat-cepat sampai rumah agar rindu yang melilit dada, dan membuat nafas tak beraturan cepat tandas.
Setelah mampir membeli martabak, roti bandung dan satu kresek besar berisi aneka cemilan di alfamart. Kami langsung beranjak ke halaman belakang rumah, menyalakan belasan lilin di bawah sisa jemuran yang belum kering benar. Denting gitar mengocok keheningan malam saat aku beranjak dari dalam rumah membawa Jhonie Walker dan Jack-D. Setelah lewat beberapa tengak, malam mendadak riang, dan hatiku gembira. Dimulai dari serangkaian lagu The Beatless, I Wan’t Hold Your Hand, A Day In The Life, Strawberry Fields Forever, Abbey Road Medley, While My Guitar Genty Weepss, dan Something menjadi lantunan yang begitu membakar.
All You Need Is Lovemenjadi penutup sesi pertama saat Willy mulai berceloteh tentang sembilan hari yang ia lalui di Bandung, kuletakkan kepalaku di atas pahanya saat ia bercerita tentang desaign-desaign yang ingin ia buat setelah terinspirasi banyak hal selama dua kali berturut-turut pameran. Ia bahagia industri yang membakar passion-nya berkembang pesat akhir-akhir ini.
Di bawah taburan cahaya bintang dan belasan lilin yang berjuang melawan kelam, kuperhatikan wajah Willy dari bawah, cara dia bercerita, bibir tipisnya yang berkecap saat dia mengucapkan kata, sungingan senyum saat dia berbicara dan lensung pipit di sisi kiri pipi tambunnya. Kurekam moment itu erat-erat dan takkan kulepas. Aku jatuh cinta dengannya lagi dan lagi, dan aku harap itu untuk seterusnya.
I’ll Be There milik King Of Popmerutuki malam saat aku bangkit berdiri dan mulai membebaskan diri mengikuti nada yang dipetik, hatiku bertabur kebahagiaan malam itu. Berulang aku menyimak dan ikut menyanyikan lagu-lagu yang kami tujukan untuk mengoyak keheningan malam. Kusahut rokok yang baru saja Willy sulut, aku hirup hingga masuk kerongkongan dan kuhembuskan lewat hidung. Baju yang melekat di tubuhku terlampir di tali jemuran, malam itu suasana membuatku gerah. Aku menari mengikuti alunan lagu-lagu yang dimainkan oleh Willy.
Saat tubuhku terlampau lelah untuk mengikuti irama gitar, aku merebahkan diri dan bersandar di pundak Willy, membantunya menyulut rokok sekali lagi, “Coba deh Will kamu rokok semuanya ini, kayaknya seru deh kalau di foto,” bujukku sambil mengoyang-goyangkan bungkus rokok yang masih penuh.
“Ayo dijajal,” sahut Willy mengiyakan permintaanku, lalu aku keluarkan semua rokok dari dalam bungkusnya, membentuknya dalam satu lingkaran di sekitar bibir Willy dan menyulutnya. Aku terbahak melihat ekspresi wajah Willy yang konyol. Flas kamera handphone berpendar sesaat ketika aku mencupang leher Willy.
“Bagus nggak fotonya?” tanyaku sambil menyodorkan layar handphone ke arah Willy.
“Keren! Tapi lebih keren kamu kalau foto sambil nyupang selakanganku,” jawabnya jahil sambil menghembuskan asap super tebal. Flas kamera kembali berkelebat di tengah kelam saat aku menggigit bibir bawah Willy yang masih menghembuskan asap dari belasan rokok.
“Kalau ini gimana?” tanyaku lagi meminta pendapatnya.
“Mendingan kamu nyupang leherku bentuk segitiga atau melingkar seleher sekalian biar kaya kalung,” ujarnya santai, sambil menenggak minuman keras langsung dari botolnya.
Lalu kuturuti permintaannya, mencupang leher Willy dengan pola melingkar menyerupai kalung, ia masih mendesah panjang saat aku selesai, “Kaya gini?” tanyaku setelah memotret lehernya beberapa kali, menyodorkan layar handphone di depan wajahnya yang memerah.