29

195 11 2
                                    

Ia babak belur. Wajahnya berdarah dan penuh lebam. Sebelah matanya hitam legam dan tak bisa membuka sempurna. Berulang ia mengedor pintuku, tak biasanya ia bertingkah seperti itu. Saat daun pintu itu kusibak, ia langsung menghambur ke pelukanku. Ambruk, menyerangku dengan rasa panik.

Bau tanah, keringat, sisa parfum dan minuman keras semerbak mendobrak lubang hidungku. Sesaat aku kebingungan. Linglung. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Saat daun pintu rumahku tertutup, ia sudah hampir tak sadarkan diri. Air mataku berjatuhan.

Susah payah aku gotong dia dan merebahkan tubuh besarnya di atas sofa. Berulang ia merintih kesakitan. Luka, lebam dan darah benar-benar membuat wajahnya hampir tak bisa aku kenali. Lekas aku berlari ke arah dapur, meraih es dan kotak P3K secepat mungkin.

Setelah kubersihkan lukanya dengan alkohol, kuusapkan perlahan obat merah pada benjolan-benjolan luka tempat darah membuncah. Di sudut bawah bibir kirinya, di bawah mata kiri dan tepat mata kanannya, di lubang hidungnya, memar-memar di kedua pipinya. Ia benar-benar babak belur.

Tak hanya wajah, di lengan dan rusuknya pun juga tak luput dari taburan luka. Lebam biru di rusuk sebelah kiri membuatnya tak berdaya. Dalam keadaan setengah sadar itu ia merintih, Willyku kesakitan. Hampir aku kembali menangis saat menotol-notolkan obat merah diatas lukanya.

Kugunting kaos berwarna hitam yang melilit tubuhnya. Tempat darah, tanah dan minuman keras bersemayam disana. Ku ambil selimut tebal dari kamar, langsung kubalutkan ke tubuh besarnya.

Sambil menahan kain berisi es batu di atas luka lebamnya, kuperhatikan benar garis-garis di wajah Willy, “Udah, nggak usah nangis,” bisiknya setelah mendapat kesadarannya kembali. Perlahan ia membuka kelopak matanya, ada genangan merah di matanya saat kutatap. Mataku yang sedari tadimendanau melihatnya akhirnya tumpah juga saat menatap sorot mata rapuh jelmaan iblis malaikat itu. Tubuhku berguncang, kuusap tumpahan air mataku dengan punggung tangan.

“Kamu habis ngapain sih? Kok babak belur gini?” kataku parau, tak bisa aku pura-pura tenang di depannya. Hampir setengah jam terakhir aku bergelut dengan rasa hawatir, aku benci melihat keadaannya sekarang, “kamu jangan buat aku hawatir kaya gini dong Will,” renggekku tertahan, sambil menangkupkan telapak tangannya diwajahku.

“Habis dihajar orang aku Bell,” Jelasnya pendek, “dipinggir jalan,” tambahnya.

“Kok bisa?” tanyaku penuh hawatir dan bingung. Air di kelopak mataku mulai kembali menggenang. Hari ini semesta kembali memberiku kejutan, kejutan yang sama sekali tak aku suka.

“Cuma salah paham doang kok, udah jangan hawatir,” Kata Willy berusaha menenangkanku.

“Nggak mungkin kalau cuma salah paham bisa babak belur separah ini,” sambarku ketus. Dari tadi aku menebak-nebak segala kemungkinan, salah satunya dia terlalu mabuk dan cari gara-gara dengan orang lain.

“Beneran sayang, ini cuma sebatas salah paham aja kok,” ucapnya lirih berusaha menenagkanku.

“Gimana bisa ini cuma salah paham?” balasku sengit sambil menekan keras-keras bekas lukanya. Membuat Willy kelonjotan menahan sakit. Lalu melototiku dengan tatapan tajam.

“Percaya deh Bell, ini cuma salah paham doang,” bujuk Willy berusaha menenangkanku.

“Emang gimana sih kronologinya sampe bisa kaya gini?”

“Tadi ada orang rese di club, dari luar kota sih kayaknya, nggak tahu ada masalah apa, tapi dia sama temen-temennya pesen minum banyak terus mulai ganggu pelanggan lain. Dari grepe-grepe cewek sampe nyiram orang pake vodka, pokoknya bikin suasana nggak nyaman, akhirnya mereka diamanin security. Eh, malah nantang, ngajak berantem, akhirnya aku sama anak-anak bantuin security buat nyeret mereka keluar. Pas tadi aku pulang, ternyata mereka masih disana. Nguntit aku sama anak-anak, bimo diserempet. Terus aku kejar sama temenku buat minta tangung jawab, eh malah kita berdua yang dikeroyok. Mereka berlima langsung cabut ninggalin kita dalam keadaan kaya gini di pinggir jalan,”

Abel & WillyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang