#Willy
Dia seperti bait lagu yang belum usai.Diantara ribuan manusia di dunia maya, mataku langsung tertambat kepadanya. Ku lihat kembali sepasang matanya, mata dengan warna kuning keemasan berbingkai warna biru pudar. Softlens? Tanyaku mengerinyit. Tak pernah aku setuju dengan konsep lelaki yang memakai lensa mata. Tapi dia memiliki sesuatu yang beda, entah apa, tapi membuatku tertarik dan penasaran. Lalu langsung aku kirimkan pesan singkat saat dia sedang online, beberapa detik kemudian dia menjawab. Itulah tahap pertama hubungan kami.
Dia membalasku dengan hangat dan menyenangkan, pertama memang hanya sekedar basa-basi, tapi kemudian menjadi kebiasaan dan doping baru di hidupku. Setiap bagun tidur, aku langsung meraih handphoneku dan mengecek akun medsosnya, atau sekedar mengiriminya pesan singkat sebagai pemacu semangat untuk diriku sendiri. Setelah itu, barulah aku memulai aktifitas seperti biasa. Ketika malam menjelang, pesan singkat darinya manjur untuk membuatku mimpi indah dan terbangun dengan senyum tercetak di wajah.
Satu bulan, dua bulan, enam bulan, satu tahun, aku belum berhasil mengajaknya keluar. Semakin lama dia semakin menantang untuk aku taklukkan, semakin menggebu hasratku untuk mendapatkannya. Untuk aku miliki seorang diri. Selalu saja sibuk, entah urusan cafe yang sedang dia bangun atau tentang beragam langkah dan target yang ia persiapkan ke depan. Ia selalu menolakku saat aku ingin mengajaknya makan atau nonton bersama. Padahal aku tahu jika dia tergila-gila terhadap film, atau sekedar jalan bersama menemaninya ke toko buku, tapi tak apalah, mungkin lain kali ia punya waktu longgar.
Satu tahun berlalu, kami mulai saling membuka diri. Mulai menjajaki masing-masing pribadi. Tapi satu hal yang membuatnya beda dengan banyak orang yang aku kenal. Dia terobsesi akan banyak hal, dia terobsesi akan cafenya, terobsesi akan buku, terobsesi akan fotografi, film, dan mungkin terobsesi dengan obsesi itu sendiri. Tapi yang jelas, itu yang membuatku terobsesi dengannya. Dia berfikiran terbuka dan berwawasan luas, jadi kita tak pernah kehabisan topik untuk dibahas. Terlebih aku suka dengan sudut pandangnya.
Satu tahun lebih menjalin komunikasi, dia mulai membuka diri dan aku baru tahu jika dia banyak menyembunyikan luka. Ternyata dia menyibukan diri untuk menutupi banyak hal di masa lalunya. Dia membuat dirinya terobsesi akan banyak hal karena masa lalunya. Aku baru tahu kalau dia membuang diri dari keluarganya setelah mengakui sebagai gay. Dia juga mempersalahkan tentang sudut padang orang tuanya akan Tuhan. Bagaimana dia di jadikan objek pelampiasan keinginan keluarganya akan banyak hal hingga akhirnya dia muak dan meledak pada satu malam.
Malam itu, aku melihat sosok rapuh yang hadir di dirinya. Sosok yang membuatnya nampak seperti bait lagu yang belum usai. Seseorang yang menyibak kabut di masalalunya dengan suara bercamput tangis di ujung sambungan telefon.
. . . . # # # . . . ...
Beberapa hari setelah hari sakral itu. Aku mempunyai kebiasaan baru. Aku sengaja mengintai sosoknya dari seberang jalan, walau sudah lebih satu tahun kami saling kenal. Dia masih belum mau bertatap muka, jadi aku nekat ingin melihatnya walau dari kejauhan. Di bawah tenda warung kopi di depan cafenya, aku puaskan hasratku melihatnya.
Aku perhatikan benar-benar bagaimana dia turun dari motor matic warna putihnya, cara berjalan menuju cafe, ekspresi wajahnya saat bertemu dengan kariyawannya. Saat dia membantu kariyawannya menata kursi dan meja kayu di teras depan cafe. Bahkan dia membantu kariyawannya mengelap meja dan kursi di teras cafenya. Ia nampak ceria, membuat sekitarnya bahagia, dan aku juga bahagia melihatnya. Dia terlihat begitu hidup. Aku bahagia melihatnya bahagia.
Sebelum terlelap, aku biasakan diri untuk intropeksi diri, kebiasaan itu berubah sejak aku terobsesi satu orang. Aku mendadak menjadi manusia konyol karena satu orang. Pernah nggak kamu ngerasa kaya gini? Satu tahun menjalin hubungan di dunia maya hanya bertukar sapa, menghormati keputusannya untuk tidak membaurkan dua dunia dan kau hanya bisa menatapnya dari kejauhan, melihatnya tersenyum, dan nampak bahagia, membuat dadamu terdera rasa bunggah hingga ingin meledak? Lalu berjingkrak-jingkrak kegirangan? Dan merasa seakan-akan kau tak mengingikan apa-apa lagi. Dia, hanya dengan sebuah senyuman yang aku tatap dari kejauhan, berhasil mencuri detak jantungku. Tak pernah aku merasa seperti ini sebelumnya.