Sinar matahari pagi hari itu tak terlampau terik saat hinggap di kulit polos kami, tanpa sehelai benang dan selimut, kami menumpuk tubuh diatas ranjang. Subuh itu kami sengaja bangun pagi, sengaja kami menyambut mentari dengan serangan fajar. Dua kali aku dibuat Willy kelonjotan mengeluarkan sperma sambil mengerang-erang kenikmatan karena beragam tingkah dan gerakan yang ia praktekan kepadaku, di ronde ketiga, aku yang sudah lemas dan tak terlalu sensitif harus menghadapi sisi buasnya yang tak henti-hentinya memaksaku terus mendesah minta ampun dan mengerang penuh kenikmatan.
Keringat yang membanjir di tubuh kami kini mulai lenyap satu-persatu di lumat waktu. Sengaja tak kami lap banjir keringat itu hanya agar nampak menggairahkan usai berpadu dalam satu. Setelah mengganti selimut dan seprai saksi bercinta kami subuh tadi. Kami berdua mandi bersama, saat ia kembali merangsangku dan menggodaku dengan gerakan-gerakan binal, kembali kita lakukan hal itu di kamar mandi.
Usai mandi bersama, aku dan Willy sengaja sarapan di kamar berdua. Dengan tangkupan roti bakar dan segelas besar susu dan gelas kecil air putih kami penuhi lambung yang kering kerontang akibat bercinta sedari subuh.
Aku buka lebar jendala kamarku, memberi ruang untuk sirkulasi udara. Pagi itu kami hanya ingin bermalas-malasan bersama, seperti biasa ia tak mengenakan sehelai bajupun saat merebahkan diri di atas ranjangku. Aku rebahkan kepalaku diantara lengan dan dada kanannya yang kenyal dan nyaman, hari itu aku tak ingin jauh-jauh dari Willy yang sedang sibuk browsing lewat hape dan aku yang menyibukan membaca buku di sampingnya. Sayup-sayup ia menyenandungkan musik yang menyumbat lubang telinganya lewat headset.
Setelah usai membaca beberapa bab, novel berjudul Norwegian Wood itu aku tutup dan aku letakkan di meja samping tempat tidur. Kurebahkan kembali kepalaku di antara lengan dan dadanya, aku sanggat suka sekali merebahkan kepalaku seperti itu. Ada sensasi damai dan nyaman yang aku rasakan saat aku melakukan hal itu, apalagi sambil memejamkan mata dan memeluknya.
Kuhela nafas panjang, perasaan puas dan sensasi lapang berdesir lama di dalam rongga dadaku. Nikmat rasanya membunuh waktu bersama orang yang kita cinta. Apalagi suasana pagi itu yang begitu intim, membuatku terus-terusan ingin bersemayam dalam pelukannya. Semilir angin dari daun jendela yang terbuka, udara dingin yang terasa begitu istimewa dan sensasi pagi hari yang begitu mempesona membuatku berterimakasih kepada semesta.
“Will” bisikku manja, berusaha menarik perhatiannya. Ia lepas headset yang meggantung di kedua daun telinganya, mengerutkan dahi tanpa berkata. Menungguku berbicara. Saat aku sudah dapat apa yang aku inginkan. Lalu aku lanjutkan kalimatku, “suatu hari, ketika halaman-halaman hidupku berakhir. Aku ingin kamu tahu, kalau kamu adalah bab paling indah yang pernah ada di hidupku. Makasih buat semuanya ya Will, aku sayang banget sama kamu,”
Lama ia tak langsung merespon kalimatku baru saja aku ucapkan, “Tumben kamu ngomong kaya gitu Bell,” sahut Willy tanpa ekspresi berarti, ia lalu membetulkan posisi tubuhnya. Ia raih gelas berisi air putih di ujung meja dengan lengan kirinya yang panjang dan besar, ia tenggak air di gelas itu sampai tak tersisa, “biasanya aku terus yang ngerayu kamu. Habis dapet kata-kata itu dari buku ya?” tambahnya sambil mengembalikan gelas itu ke posisi semula.
“Hahaha, kok bisa kamu ngomong kaya gitu?”
“Ya ini cuma sekedar analisis kecil-kecilanku tentang kamu aja sih Bell,” jawabnya santai.
“Sok gaya kamu, pakai analisis aku segala, emang gimana analisisnya?” kataku penasaran dengan analisisnya tentangku.
“Kalau menurut analisisku ya,” ucapnya pelan berusaha menjelaskan, “kamu itu tipe orang yang sanggat mudah terinspirasi, walaupun terstimulus satu hal kecil sekalipun, kamu bakal langsung memberikan balasan atas stimulus yang kamu terima,”