Untuk pertama kalinya, aku menginap di rumah Willy, saat itu ibunya sedang tak ada di rumah, ia sedang ke jawa timur selama empat hari. Saat aku datang, hanya ada Willy dan kakak perempuannya, Sandra. Aku kenal Sandra sudah lama, kita kenalan di club tempat Willy kerja dan dia merayakan ulang tahunnya disana.
Saat Willy mengenalkanku sebagai pacarnya, tak ada ekspresi tak wajar di wajahnya, ia biasa saja menerimaku sebagai pacar adiknya. Kesan pertama yang aku suka dari dia adalah, dia sama sekali tak mempermasalahkan orientasi seksual seseorang, dia juga bilang “Nak seneng yo seneng wae, ra enek urusan rep bedo kasta, kelamin, po agama,”
Sandra adalah party goers-nya Solo, di club apapun, di ulang tahun anak gaul manapun, selalu ada dia. Selalu berpakaian seminimal mungkin, dari kaus dan celana. Memiliki tato kupu-kupu dari belakang telinga hingga pungung, hobby memakai high heels minimum sepuluh senti, wajib menor di malam hari dan natural di siang hari, rambut tergerai hingga punggung dengan ujung warna-warni.
Willy beranjak ke arah dapur dan menyuruhku duduk di ruang tamu bersama kakak perempuannya.
“Ko ngendi wae?” tanya Sandra santai saat aku masuk rumah, hari itu hampir petang dan Sandra dalam proses memenorkan wajah, ia sedang mengoleskan gincu merah darah saat aku duduk di depannya.
“Di jemput Willy dari cafe,” jawabku seadanya. Berusaha sesantai mungkin di depannya. Saat duduk berhadapan dengannya, ada sensasi intimidasi yang aku rasakan. Seakan-akan duduk dengan ratu singa yang siap menerkam kapanpun.
“Wes marai ngaceng po rung tho susuku iki?” tanya Sandra membuatku shock, ini kali kedua kami bertemu dan dia sudah segeblek ini.Asem, mbakyu adhi kok podo wae sifate, batinku dalam hati.
“Wes kok, wes mantep banget,” jawabku kikuk sambil memberinya jempol dua, aku risih melihatnya membenarkan posisi payudara di depanku. Seakan-akan aku tidak terlihat.
“Sayange koe ora iso ngaceng yo delok susuku koyo ngene,” lanjutnya membuatku semakin shock, mataku membelalak mendengar kalimatnya barusan, “jane koe ki ganteng lho Bell, tapi sayange ra iso nafsu karo aku,” tambahnya dengan tawa terbahak.
“Wes, ra sah kakean omong,” kata Willy menyelamatkanku, ia datang membawa dua gelas berisi minuman bersoda, “sorry, ra enek whisky, bir po anggur,”
“Nak enek yo wes di obong ro bue,” sambar Sandra lagi, “jaluk duit Will,”
“Koe arep nek endi neh?” tanya Willy sambil merogoh dompet dari saku celana belakangnya, mengambil lima lembar uang seratus ribu rupiah dan memberikannya kepada Sandra.
Dari arah depan rumah terdengar suara klakson mobil beberapa kali, Sandra lalu beranjak dari sofa, menghampiriku mengecup pipiku dan mengerling nakal kepadaku, “Ojo ML nek kene yo, kawine nek kamar wae,” katanya dengan nada sensual, membuatku shock yang ketiga kali.
“Ojo bali esuk, nak bali awan po sore sisan,” kata Willy mengingatkan. “sa’ake bue, wong-wong kene ki rewel,”
“Siap bose!” sahut Sadra lepas sambil menutup pintu depan.
“Ra sah kaget, Sandra pancen koyo ngono,” jelas Willy sambil memberiku tisu untuk menghapus bekas gincu di pipiku.
“Ojo lali gowo kondom lho!” teriak Sandra tiba-tiba, “safety can be fun!” tambahnya sambil terbahak-bahak, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkanku berduaan dengan Willy.
“Wah koyone Sandra luwih edan soko kowe Will,” kataku sungguh-sungguh, “fulgar banget bos omongane,”
“Kui we koe gek ketemu peng pindo Bell, piye nak koe ketemu pendhak dino? Bakal lancar kosakata selakanganmu,”