42

192 8 1
                                    


Air mataku merembes di masker yang aku pakai untuk menutupi wajahku. Saat aku dalam perjalanan pulang dari Selo, beberapa kali aku harus menepikan motorku dan menangis sejadi-jadinya di pinggir jalan. Beludak rasa di dalam hatiku begitu hebat memicu kembali air mataku untuk keluar. Aku merasa begitu rapuh. Berulang kali punggung tanganku mengusap air mata yang terus membuncah keluar, tapi air mataku seakan-akan tak kehabisan stok untuk kembali tumpah saat kelebat kenangan di masa lalu membebat dada. Aku kembali mengingat semuanya, seakan-akan semua itu baru terjadi kemarin sore.

Gumpalan emosi mentah menghantam dadaku, membuatku gelagapan, kesulitan bernafas. Tubuhku bergetar hebat, emosi kembali membabat tubuhku. Ada satu hal yang kini aku pahami, dan kenyataan itu menghantam keras batinku, memberinya pukulan telak. Selama lebih dari empat tahun ini, ternyata aku memanipulasi perasaanku sendiri, aku membohongi diriku sendiri, sosok itu masih ada, nyata dan bersemayam di relung jantungku. Aku benci hal ini, tapi aku juga tak bisa menghindar lagi.

Ternyata diriku sendiri yang menciptakan ruang khusus untuknya.

Ruang khusus dimana semua kenangan, ingatan, mimpi dan peristiwa tentangku dan dia tersimpan rapih. Terarsip seiring berjalannya waktu, dan menunggu untuk diobrak-abrik. Menunggu untuk diamini. Menunggu untuk dibuka kembali sosok yang ternyata masih kunanti.

Aku mengingat jelas pertemuan tadi seperti sedang memegang selembar foto, matanya yang sayu, rambutnya yang koyak karena tak lagi terurus, cambang kehijauan di sekitar bibir merah tipisnya dan wajahnya yang seakan-akan bicara padaku jika dia juga tak baik-baik saja empat tahun belakangan ini. Dan pelukannya, aku ingin merasakan pelukan itu lagi, aku merindukan pelukan yang sudah lama absen di hidupku. Dia terluka dan aku tak berdaya melihatnya seperti itu, andai semuanya bisa baik-baik saja.

Perjalan Solo-Selo yang biasanya memanjakan mataku dengan pemandangan perpaduan hijau dan biru yang indah dan hawa sejuk, kali ini menjadi beban berat. Aku ingin menghubungi Sobey, tapi aku tak ingin tampil seperti ini di depannya. Ada tanggung jawab untuk menjaga perasaannya setelah kejadian di pantai itu. Aku tak ingin membuatnya kecewa.

Saat aku berhenti di tikungan Irung Petruk, kaca mata membalut mata merahku, hidungku seperti tersumbat saat membeli kopi panas dan satu bungkus rokok sebelum akhirnya kutinggalkan motorku di samping warung dan aku berjalan menjauh. Mencoba menenangkan diri setelah beberapa kali dihajar air mata sialan. Emosi masih membebat diriku setelah setengah jam aku duduk sendirian di tepi jalan, kulempar jaring mataku kesegala penjuru, sambil berharap pemandangan yang terhampar di mataku dapat meminimalisir duka di dalam hatiku. Tapi aku salah, langit Selo yang murung malah menimbulkan awan mendung di hatiku, saat air mataku kembali terpacu, kukirmkan pesan singkat untuk Sobey setelah mempertimbangkan banyak hal.

Kurang lebih empat puluh menit kemudian Sobey datang dengan tatapan nanar, ia menggengam jemariku lama. Kita berdua sama-sama diam, tak memutuskan untuk berucap kata, dan menatap lurus ke depan, melihat pemandangan hijau dan biru yang menjauh menjadi kelabu. Nafasku perlahan melantun rapih, tak ada lagi gelombang emosi yang datang silih berganti, aku berhasil menguasai diri. Puntung rokok di tanganku padam dengan sekali injakan kaki, bergabung bersama belasan putung yang sedari tadi mengisi waktuku, dan Sobey masih diam, belum menguntai kata sedikitpun untukku. Ia ingin aku yang memulai.

“Ternyata, aku masih cinta sama Willy,” ungkapku menggilas sepi. Sebisa mungkin aku jujur padanya, aku tak ingin menipu diri sendiri. Tak ingin pula membohonginya.

Ada kilatan duka di matanya yang menyentil hatiku, membuatku menyesal mengatakan itu. Tapi bagaimana lagi? Memang itu yang ada di dalam hatiku. Fakta yang baru saja aku tahu.

“Aku tahu kok Bell,” jawab Sobey membuatku kaget. Hampir satu tahun aku bersamanya dan sering kali aku masih main tebak-tebakan dengan apa yang akan ia ucapkan.

Abel & WillyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang