“Kamu masih inget nggak sih Bell pertanyaan pertamaku pas dateng ke rumahmu?” tanya Willy dengan suara bergetar.
“Pertanyaan yang mana sih Will?”
“Tentang agamamu itu lho sayang,” katanya gemas.
“Oh, tentang itu,” kataku simpul, aku masih ingat ekspresi Willy pertama kali saat keliling rumahku, “kenapa emangnya? Masih penasaran ya?” godaku.
“Ya bingunglah sayang, dalam sau rumah aku bisa lihat beragam simbol keagamaan. Kalau satu mah wajar, lhah ini banyak lho. Ada kepala Budha, ada kaligrafi sama Al-Quran, ada Injil. Di kamarmu ada salip, terus kamu terobsesi banget sama barang-barang yahudi, sebenernya apa sih yang kamu cari sama barang-barang keagamaan itu? Nggak mungkin kan kamu semata-mata cuma koleksi doang?”
“Koleksi sih enggak, tapi aku suka aja sama barang-barang sakral keagamaan kaya gitu. Kayak Al-Quran, bagiku Al-Quran itu kumpulan puisi yang indah, salah satu sumber pengetahuan tertua di dunia dan isinya nggak pernah berubah dari dulu sampai sekarang karena banyak yang hafalin. Aku suka Budha karena filosofinya, dimana kita akan diantar ke nirwana. Aku juga suka sama meditasi, yoga, gaya hidup vegetarian, semua itu ngasih efek yang baik buat tubuh kita. Banyaklah pokoknya, aku nggak memaknai itu cuma sebatas atribut keagamaan aja kok Will,”
“Kamu belum jawab pertanyaanku lho sayang,”
“Jadi apa ya agamaku sekarang?” tanyaku pada diri sendiri, “bakal kompleks sih kalau kita ngomongin agama apa yang aku percayai, karena kita harus sama-sama berfikiran terbuka kalau mau ngobrolin ini, biar nggak sensi atau tersingung. Soalnyakan ini masih jadi isu sensitif buat banyak orang, apalagi di negara kita tercinta ini. Dimana presentasi orang berfikiran terbuka nggak sampe lima persen dan sisanya diisi orang bebal dan apatis,”
“Setuju kalau sama hal itu,” kata Willy menanggapi.
“Apa yang aku yakini adalah sebenarnya itu agama berasal dari satu kotak pandora yang sama, cuma beda waktu sama peristiwa aja yang buat agama itu semakin berbeda. Banyak yang bilang kalau agama itu hadir untuk menyempurnakan satu sama lain, tapi bagiku sama saja. Nah, kalau aku balik pertanyaanmu gimana jawabanmu? Kamu juga bukan orang yang terlahir dengan agama yang wajar lho. Ayahmu Kristen dan ibumu Islam, dan kamu hidup di tengah-tengahnya, mana yang lebih nggak wajar? Aku apa kamu? Aku yang hidup di banyak pilihan tapi memutuskan untuk nggak milih dan kamu yang hidup diantara dua pilihan dan membaurkan keduanya,”
“Bener juga sih omonganmu Bell, aku juga sering kok dikomentarin sama anak-anak soalnya kadang aku sholat sama temen-temenku yang muslim dan minggu juga ke gereja sama anak-anak nasrani,”
“Lebih sedeng siapa coba kalau kaya gini? Aku apa kamu?”
“Kita sama-sama sedeng sayang, pasangan sesasama seng podo edane,”
Aku terbahak lepas, “Kalau kamu disuruh milih sekarang, kamu bakal milih Islam apa Kristen?” tanyaku sungguh.
“Budha,” jawabnya enteng. Aku sama sekali tak kepikiran jika ia bakal menjawab itu. Sampai sekarang aku masih sulit untuk menebak-nebak apa yang ada di dalam kepalanya.
“Lho kok bisa? Gimana ceritanya?” tanyaku kebingungan.
“Dari dulu sih aku emang respeknya sama agama Budha Bell. Bukan karena mau milih aman antara dua agama besar di keluargaku, tapi aku memang nggak suka sama konsep agama yang diturunkan di silsilah keluarga. Aku, adalah orang yang nggak bisa terima begitu aja sama agama yang harus aku pelajari karena orang tua. Bagiku, agama itu adalah proses pencarian, penetapan dan tujuan akhir kita dengan tuhan. Proses eksklusif dimana ada ruang khusus hanya untuk aku dan tuhanku. Banyak yang protes sama pilihanku ini, tapi emang aku peduli? Gagasmen, iki urusanku kok. Udu urusane mereka. Lagian dari dulu aku juga sudah yakin kalau pada saatnya nanti aku bakal milih agama Budha, karena sudah lama hati, jiwa dan fikiranku berlabuh disana,”
“Jadi sekarang kamu udah resmi jadi Budha?”
“Belum,“ jawabnya cengengesan, “untuk saat ini, hidup jadi pendosa lebih nikmat,”
“Wah, setan banget dong kita kayaknya. Pasangan sesama yang suka menjadi pendosa,” seruku lantang, “aku yakin kalau kamu belum pernah bikin gara-gara di kelas agama pas sekolah dulu,”
“Lha emangnya kamu bikin gara-gara gimana?”
“Sebenernya sih aku dulu pas SMP pendiem, nggak suka interaksi sama banyak orang, tapi nggak tahu sih dulu kenapa. Mungkin karena lagi puber ya, jadi ada keinginan untuk show off dan jadi pusat perhatian soalnya ada konsep keagamaan yang nggak bisa aku terima,”
“Dan itu dikelas agama Islam?”
“Iya. Waktu itu gurunya lagi jelasin sejarah manusia pertama, dia jelasin soal adam dan hawa. Dari kecil aku emang kritis soal apapun ya Will, lagian aku juga bukan tipe orang yang suka didikte gitu aja, jadi aku mempelajari banyak literatur agama dan jelasin semuanya yang aku tahu setelah gurunya selesai. Aku jelasin tentang beberapa versi legenda manusia pertama, ada yang dari planet nibiru, ada yang dari ras Nefilim, ada yang dari evolusi orang hutan dan lain-lain. Semuanya aku jelasin secara ringkas dan ringan,”
“Tenane koe jelaske koyo ngono nek kelas agama Islam Bell?”
“Ngapain juga sih harus bohong sama kamu?”
“Iya, aku jelasin kaya gitu di depan kelas malah. Pas aku selesai jelasin dia langsung marah-marah sama aku, dia nyeret aku sampe ruang kepala sekolah dan marahin aku di depannya. Hasilnya aku di skors seminggu, plus diomelin guru agama satu SMP sampe kupingku panas. Besoknya aku bawa ayahku ke sekolahan dan bikin heboh lagi pas aku tanya gini sama mereka, ‘Tuhan kan maha segalanya, bisa enggak sih Tuhan itu buat pedang atau senjata ampuh buat bunuh dirinya sendiri biar mati? Kalau nggak bisa buat senjata ampuh buat ngebunuh dirinya sendiri berarti dia bukan maha segalanya dong? Nah, kalau dia bisa mati berarti dia juga bukan maha segalanya juga dong?’
Willy shock mendengar apa yang baru saja aku katakan, ia gregetan mendengar ceritaku, “Beneran kamu ngomong kaya gitu?’
“Iya beneran, mereka juga shock kok pas aku bilang kaya gitu. Terus akhirnya mereka mutusin buat masukin aku di pesantren selama tiga minggu pas liburan. Hidupku jadi makin ribet. Sejak saat itu aku males buat ngutarain fikiranku lagi,”
“Hidup kamu beneran kontroversial deh Bell, heboh banget kayaknya. Tapi menurutku kamu memang tipe orang yang nggak bisa hidup kalau nggak ada masalah. Jadi kalau nggak ada masalah ya kamu yang cari-cari masalah,”
Aku hanya bisa manggut-manggut menyetujui ucapannya, “Emang sih, aku emang pusing kalau nggak ada masalah. Tapi kejadian pas SMP itu yang bikin aku sadar sih Will kalau pencarianku baru saja mulai. Sejak saat itu aku mulai mempelajari lebih banyak agama-agama di dunia, dari Kristen, Katolik, Budha, Islam, Britwi, Yahudi, Kejawen, semuanya aku pelajari dengan fikiran terbuka hingga aku kuliah dan akhirnya memiliki pemahaman kalau sebenernya cuma ada dua Tuhan di dunia ini. Tuhan yang menciptakan kita dan Tuhan yang kita ciptakan,”
“Dan pemuka agama yang membuat banyak alirannya,”
“Itu juga maksutku,”
“Mandi dulu ah, biar seger. Mau ikutan nggak?”
“Nggaklah kamu duluan aja, aku mau beres-beres terus ke Reve,”
“Inikan masih pagi?”
“Ada rapat bulanan nanti, jadi emang sengaja rada pagian ke cafenya,”
“Jangan lupa lho, nanti kamu nemenin aku futsal,”
“Jam berapa emangnya?”
“Udah, ntar aku jemput kamu de Reve,”
“Oke deh,”
Bersambung...