23

261 7 0
                                    

Kami langsung memacu sepeda dengan kecepatan tinggi setelah mengeluarkannya dari garasi, kami balapan menyusuri jalan keluar dari kompleks rumahnya menuju petak persawahan luas yang masih terbentang di pinggiran Solo. Aku berteriak lantang saat roda sepedaku menghantam gundukan dan melayang belasan senti dari tanah, di sampingku Willy berulang melemparkan senyumnya, antara senang dan risih melihat tingkah kekanakanku.

Laju sepeda kami mulai mengendur saat jalanan semen menggantikan aspal membelah bentangan sawah. Langit belum benar-benar benderang, semburat malam masih sedikit membayang, dan sinar matahari masih timbul seadanya, belum perkasa. Kabut masih hadir, walau samar dan dinginnya udara pagi tak lagi jadi soal karena sekarang telah menjadi embun di balik dedaunan. Yang paling aku sukai pada pagi hari itu adalah sawah yang rimbun, hijau dan luas. Membuat hati dan mata begitu segar dan nyaman, damai menyeruak begitu saja, tanpa pertanda atau aba-aba.

Suara gemericik air di kedua sisi jalanan terasa begitu melengkapi indahnya pagi itu, semilir angin menghempas butir-butir padi yang masih berwarna semu kuning, roda sepeda yang berderit dengan hening, membuat hatiku bersorak dan berteriak lantang sambil merentangkan tangan lebar-lebar, menandaskan udara segar ke dalam kerongkongan.

Di sebuah jembatan setinggi dua meter yang terbuat antara beton dan jalinan besi panjang yang mencuat tak beraturan, kami memarkirkan sepeda. Lalu duduk di bahu jembatan sambil menunggu timbul secara penuh dan memancarkan sinarnya dengan perkasa.

“Segerkan?”

“Iya seger banget,” sahutku setuju, “bikin keinget pas di Bali dulu,”

“Terakhir ke Bali kapan?”

“Seminggu setelah di usir dari rumah,” jawabku mantap, kelamaan tak ada lagi pedih saat kenangan itu membayang, “nggak sampai tiga minggu dulu aku tinggal disana buat nenangin diri, aku punya temen satu kostan yang asalnya dari sana. Orangnya baik, cakep, tenang dan luwes banget, namanya Banyu,”

“Ngapain aja kamu disana?”

“Backpakeran Will, tiga hari pertama aku tinggal di rumahnya Banyu, setelah itu aku langsung jalan kemanapun yang aku mau. Tidur di pinggir pantai, surfing, latihan meditasi, ketemu banyak orang, ngrobrol sama banyak orang, halaman pertamaku saat ngebuka lembaran hidup yang baru dimulai disana. Ada satu hal yang sampai sekarang aku ingat dengan baik detail kejadian itu, seakan-akan hal itu diukir di dalam kepalaku,”

“Kejadian apa Bell?”

“Kejadiannya sore hari, pas aku lagi duduk nunggu sunset di pinggir pantai, ada orang tua yang cerita sama aku kalau dia udah ngabisin semua hidupnya buat mikir tentang pekerjaan, karir, asuransi dan akhirnya dia mikir dia nggak pernah ngasih apapun untuk dirinya sendiri. Hidupnya bukan untuk siapa-siapa dan bukan untuk apa-apa. Dia hampir nangis pas cerita hal itu sama aku, akupun juga hampir nangis pas denger dia cerita hal itu,” jelasku dengan tatapan mengawang, ”entah kenapa sampai sekarang aku masih inget banget kejadian itu, raut wajahnya, ekpresinya, gerak tubuhnya yang penuh penyesalan, semua hal itu ganggu aku selama beberapa hari,”

Willy hanya diam mendengar ceritaku, membayangkan apa yang aku kisahkan.

“Orang tua itu namanya Nicolas, dari perancis. Dia nggak punya keluarga, nggak punya anak atau teman dekat, setelah dia mikir hal itu, dia jual rumahnya dan memutuskan untuk sedikit melihat dunia sebelum akhirnya dia menghabiskan waktu di panti jompo. Obrolan kami sore itu bener-bener ngremukin hatiku Will,” jelasku sendu, rasa sakit yang kurasakan saat itu tiba-tiba terulang pagi ini, “kita berdua ngobrolin tentang pilihan, penyesalan dan kehidupan. Apa yang aku sesali tentang pengakuanku sama keluarga adalah pilihan kata-kata yang aku gunain waktu itu emang terlalu kasar buat mereka. Aku juga sadar kalau aku berhak dapet gamparan dari ayahku. Tapi intinya itu bukan cara berpisah yang baik.”

“Kalau aku tanya gini gimana Bell? Jika jalan yang kamu pilih ini salah dan akan kamu sesali pas tua nanti gimana?” tanya Willy sambil memandangku mantap.

“Penyesalan nggak bikin kita kemana-mana Will, cuma bakal buat kita stcuk di satu tempat aja. Entah nanti pas tua aku bakalan nyesel apa enggak milih jalan ini, itu nggak lagi jadi soal. Ada yang bilang hidup itu semata-mata cuma tentang pilihan benar dan salah dengan segala konsekwensinya, termasuk resiko, keberuntungan, dan lain-lain di dalamnya. Itu semua sudah sistematis, tinggal jalanin saja,”

“Mengalir bersama takdir gitu maksutmu?”

“Ya kurang lebih seperti itu sih Will. Tapi aku yakin kelak aku nggak bakal nyesel udah milih jalan ini, dengan semua pengorbanan, rasa sakit dan banyak peristiwa yang udah aku jalani. Pengalaman ini bakal jadi pembelajaran yang sangat hebat di hidupku,”

“Kamu percaya takdir Bell?”

“Percaya nggak percaya sih, tapi satu hal yang pasti adalah kalau emang udah saatnya terjadi ya bakal terjadi. Mau sial atau beruntung itu udah kaya mata uang yang nggak bisa dipisahkan gitu aja. Simpelnya gini, kita nggak bakal tahu gimana rasanya beruntung kalau belum kejeblos sial dan sebaliknya,”

Beberapa kali petani dan ibu-ibu yang hendak kepasar menyapa ramah Willy, ternyata ia cukup dikenal di sekitar tempat itu. Batang rokok kedua tersulut saat aku akan kembali meneruskan ceritaku.

“Sama Banyu aku belajar meditasi di Bali,” terusku berkisah, “dia tahu aku gay pas kita kuliah. Di rumahnya aku belajar tentang kehidupan, relasi manusia dengan manusia, manusia dengan sekitar dan manusia dengan alam. Tapi yang paling dia tekankan pada saat itu adalah proses penerimaan diri sendiri dan menjadi manusia yang baru,”

“Kamu kok nggak pernah sih cerita tentang Banyu sama aku?” tanya Willy dengan nada familiar yang membuatku sebal.

“Belum sempet tepatnya,” jawabku berusaha menetralisir perasaan posesifnya.

“Bikin was-was aja kalau gini,” lanjutnya sambil memberenggut.

“Santailah Will, kita cuma sebatas sahabat,” tukasku jengkel melihat sikap cemburuannya yang lagi kumat.

“Sahabat juga bisa jadi cinta kali,” celetuknya jengkel. Mematikan batang rokoknya yang belum habis dengan pijakan kaki.

“Itu kalau cewek sama cowok! Nah, kalau cowok straight sama gay? Ya nggak segampang itu juga kali hubungannya,” jawabku sebal, “udah deh nggak usah posesif gitu, lanjut nggak nih ceritanya?”

“Yaudah lanjutin aja,”

“Sebenernya satu hal lagi sih yang bikin aku mantap milih jalan ini pas habis ngaku dulu,” lanjutku lagi, “aku punya temen chat dari jawa timur, dia gay. Tapi dia nikah sama orang yang dijodohin sama dia. Seminggu sekali dia keluar rumah, kumpul sama sesama terus pulang pagi. Hingga satu malam dia kena razia pas lagi mesum sama anak SMA, terus mereka di arak kekantor polisi dalam kondisi telanjang. Masuk koran lokal pagi harinya. Bikin heboh satu kecamatan. Pada akhirnya dia ngecewain banyak orang. Orang tuanya, keluarganya, istrinya, anak-anaknya, masyarakat sekitarnya. Orang-orang kaget pas tahu dia ternyata kaya gitu.”

“Terus?”

“Ya serapi apapun kita nyimpen sesuatu pada akhirnya bakal kebongkar juga, entah dengan cara yang elegan atau bobrok jati diri kita bakal kebuka juga ntar. Satu persatu faktor membuatku yakin sama keputusan ini, selama di Bali aku makin mantap sama langkah yang aku pilih. Aku ingin bahagia karena diriku sendiri, bukan bahagia karena menjadi orang lain atau sekedar memenuhi obsesi orang lain. Aku ingin bahagia karena aku bahagia.”

Setelah belasan anak SMP dan SMA bersepeda ontel melewati kami, sinar matahari mulai terik, kami putuskan untuk melanjutkan sepedaan menuju tempat sarapan sebelum akhirnya pulang.

Bersambung...

Abel & WillyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang