“Enek masalah opo bos? Kok dengarenmen ngajak ketemu wong loro thok, enek seng penting po?” sapa Willy sumringah seperti biasa. Menyambut Andi yang baru saja datang.
Tapi Andi hanya membalasnya dengan senyum kecut, menatapnya lama dengan sorot mata mengambang. Makanan yang sedari tadi ia pesan sama sekali belum tersentuh, hanya air minum dan putung rokok yang bergantian mengisi bibirnya.
Dua pengamen baru saja berlalu tapi Andi masih belum mengatakan alasan mengajaknya bertemu empat mata, “Sebenernya ada apa sih Ndi?” tanya Willy lagi, sejak notifikasi pesan dari Andi masuk ke handphonenya, ia paham jika ada hal mendesak yang harus mereka bicarakan. Tapi, saat mereka bertemu, Andi tak lekas berkata-kata.
“Ini tentang Abell Will,” ucap Andi seperti orang malas. Asap rokok berdesis pelan dari rongga bibirnya.
“Abell kenapa lagi?” tanya Willy dengan ekpresi jenaka. Setahu dia, tak ada masalah sama sekali dengan kekasihnya itu.
Tapi, malam itu Andi sepertinya sedang tak berselera dengan candanya. Membuat kening Willy berkerut, bertanya-tanya sebenarnya ada masalah apa.
“Sakdurunge Sorry yo Will,” kata Andi memulai dengan penekanan yang menarik seluruh perhatiannya,, “jane aku yo ra gelem, tapi yo rep piye neh? Deknen mekso terus soale. Ngasi aku ora iso nolak, Ibunya Abell maksa buat ketemu sama kamu,” tambahnya dengan parau.
Ada jeda lama dimana Willy hanya diam, bingung ingin menangapi bagaimana. Ia merasa jika baru saja di siram air es saat sedang nyenyak-nyenyaknya tidur. Ia tahu sejarah pahit antara Abell dan keluarganya. Sekilas tahu bagaimana karakter orang tua kekasihnya walau hanya dari satu sudut pandang.
“Kita sama-sama tahu kalau kalian bertemu akan berakhir bagaimana,” lanjut Andi pelan, “ibunya Abell itu sedikit konservatif dan kolot, dia minta ketemu sama kamu dua hari lagi, nanti alamatnya aku kirim. Tapi kalau kamu nolak-“
“-aku bisa kok,” jawab Willy pasti.
“Kamu serius?” tanya Andi memastikan. Dia sama sekali tak menyangka kalau Willy akan mengiyakan permintaan gila itu.
“Aku sadar kok Ndi kalau hari ini pasti datang,” aku Willy dengan sorot mata menerawang, menatap lalu lalang kendaraan di depannya, “nggak mungkin keluarganya bakal nglepas Abell gitu aja, di jalan seperti ini lagi,” tambahnya dengan senyum pahit, “aku tahu kalau Abell itu tumpuan harapan seluruh keluarganya, dia pinter, ganteng, sukses, dan mandiri sekarang. Aku sadar kalau keluarganya pasti bakal bawa Abell balik lagi kesana,”
“Kita bakal debat lama kalau bahas tentang semua itu Will, tapi kalau itu keputusanmu, aku hargai,” kata Andi mantap. Ia tahu jika drama baru akan di mulai, seakan-akan ia tahu jalan cerita yang akan digelar oleh takdir, “tapi atu hal yang aku minta ya Will, tolong pikirin perasaan Abell dengan segala perjuangan dia di jalan ini,”
Willy mengangguk mantap.
“Semua aku lakuin buat dia kok,”
Tiga hari kemudian berlalu cepat. Willy datang ke Reve tepat saat Abell tak ada disana. Dengan tatapan bingung Andi menghampiri Willy yang nampak tak seperti biasa. Ia kalut.
“Aku butuh bantuanmu,” ucap Willy sungguh.
Andi terkisap, hari itu segera tiba.