Bab 47

2.2K 118 2
                                    


Sekujur badan Rina terasa bergetar karena terharu melihat banyaknya tepuk tangan para tamu pada saat dia selesai menunjukkan kemampuannya bermain piano. Sepuluh tahun lebih sudah dia kehilangan piano kesayangannya untuk membayar utang ayahnya. Jangankan memainkan tuts-tuts piano, menyentuh saja dia enggan setelah hari itu. Dia takut detik dia menyentuh piano, dia akan tergiur untuk bermain piano terus dan melupakan kalau dia harus menyibukkan diri untuk mencari nafkah daripada menghabiskan waktu untuk menghibur diri terus-menerus.

Sam menggenggam tangan sahabatnya itu saat melihat wajah tak percaya diri Rina dan tangannya yang gemetaran. Dia mengaitkan tangan itu pada lengannya dan menuntunnya kembali ke arah meja minuman dan membiarkan wanita itu meminum dua gelas cairan yang berwarna hijau itu lagi.

“Wow… anda mainnya bagus sekali! Kalau boleh saya tahu… apakah anda juga bisa mengajar piano ke anak kecil?” tanya seorang tamu wanita paruh baya yang tampaknya mengagumi permainan piano Rina dan kemudian menghampiri dengan antusias.

Rina merasa bingung bagaimana untuk menjawab. Sam maju ke depannya dan membisikkan sesuatu pada tamu wanita itu dengan lembut. Wanita itu tersenyum sambil mengangguk dan segera pergi.

“Kau bilang apa pada dia?” tanya Rina bingung.

“Aku bilang kau sedang sibuk dengan pesta ulang tahunku minggu depan dan sementara waktu tak melayani permintaan mengajar.” Sam tau sejak dulu Rina tak pernah percaya diri dengan kemampuannya bermain piano. Terlebih lagi kalau disuruh mengajarkannya. Bisa-bisa dia melarikan diri sebelum jam mengajar dimulai.

Rina mengangguk berterimakasih dan berkata, “Aku ke toilet sebentar ya! Kepalaku agak pusing.”

“Perlu aku antar?” tanya Sam agak kuatir dan Rina pun menggeleng.

Dengan agak terhuyung-huyung, Rina berusaha mencari toilet di dalam rumah sebesar itu. Setelah berputar-putar mengelilingi area rumah, Rina akhirnya menemukan deretan dua ruang toilet mewah. Dia masuk saja ke dalam dan mencari bilik toilet yang kosong. Setelah selesai buang air kecil, dengan kepala yang semakin terasa berputar-putar, dia membuka pintu toiletnya dan cepat-cepat mencuci tangannya.

Dia berbalik… dan tiba-tiba melihat… Adit yang sedang mencuci tangan juga di sampingnya.

“Gila! Ngapain kamu masuk ke toilet cowok!” Hardik Adit seketika dan membuat Rina memandang ke sekelilingnya.

“Oh… aku nggak tau… aku tadi kebelet jadi langsung aja masuk!” jawab Rina merasa malu.

Terdengar suara tawa Pak Jimmy dari luar dan sepertinya akan memasuki toilet yang sama. Adit dengan tangkas menutup mulut Rina agar tidak bersuara dan mendorongnya ke dalam bilik toilet yang dimasuki Rina tadi. “Kalau pria tua itu melihat kau dan kita di sini bersama-sama, dia pasti akan mencurigai macam-macam. Jadi kalau kau tak mau ketahuan, jangan bersuara dulu!” Adit memperingatkan Rina dan setelah wanita itu mengangguk mengerti, Adit melepaskan tangannya dari mulut wanita itu.

“Ponakan anda kayaknya membawa calon istrinya ya kali ini!” seru seseorang yang masuk ke toilet bersama Pak Jimmy tadi.

“Kayaknya sih dia memang serius. Mudah-mudahan kali ini sungguh bisa sampai ke depan altar pernikahan. Saya dan papa Sam sudah tua dan tak bisa bertahan lama lagi memimpin perusahaan ini. Kalau Sam menikah, semuanya jadi lengkap dan bisa mengepalai dua perusahaan sekaligus dengan dibantu oleh istrinya!” jawab Jimmy panjang lebar.

“Kamu mau menikah? Sungguhan?!” bisik Adit menuntut jawaban dari Rina.

Tapi Rina terlalu bingung dan pusing untuk menjawab. Dia hanya menggeleng dan berkata, “Nggak taulah! Aku pusing banget. Kenapa semua berputar-putar?!”

“Bau apa ini? Kok bau alkohol? Kamu mabuk ya?!” tanya Adit sambil berusaha menopang tubuh Rina yang berkali-kali melorot ke bawah.

“Nggak kok! Aku cuma minum sirup tadi. Satu warna merah dan tiga gelas warna hijau.” Suara Rina terdengar agak mengigau, tipikal suara orang yang mabuk.

“Sirup Apa! Jangan-jangan yang kau minum cocktail di meja besar tadi ya?!”

“Dibilangin sirup kok! Kamu selalu dibilangin nggak pernah percaya!” protes Rina emosi dengan nada meninggi.

Takut orang di luar mendengar, Adit menutup mulut wanita itu sekali lagi dan memperingatkannya untuk diam.

Tapi Rina tetap saja tak mau mendengar dan terus saja meronta-ronta serta memukul-mukul lengan Adit berkali-kali.

Bukannya memanfaatkan kesempatan sebenarnya. Adit hanya ingin membungkam mulut pengasuhnya itu. Dia melepaskan tangannya dan menutup mulut Rina dengan bibirnya.

Bingung, Rina tetap melotot pada Adit pada saat bibir pria itu mendarat pada bibirnya. Dia memarahi Adit di tengah-tengah gumamannya. “Pinggirkan bibirmu… aku tak butuh nafas buatan sekarang! Minggir!”

Bibir Adit tetap tak bergerak seinchi pun dari bibir Rina. Dia menahan nafas untuk tidak memperdalam gerakan bibirnya. Dia tidak seharusnya memanfaatkan wanita yang sedang mabuk.

Karena itu, Adit memajukan badannya dan menghimpit Rina dengan badannya. Kedua tangan Rina juga dipegangnya agar berhenti memukuli lengannya.

Seakan waktu seabad lamanya berlalu dan Rina mulai bosan. Adit juga sudah berusaha semampunya untuk tidak menggerakkan bibirnya sedikit pun. “Semua dilakukan untuk menghormati Rina,” serunya dalam benaknya, mencoba untuk membela diri.

Dan tanpa disadari Rina mulai bergerak dan memutar kepalanya. Badannya ditumpukannya ke badan Adit dan bibirnya mulai bergerak sedikit di atas bibir Adit.

Adit yang bingung atas gerakan yang tiba-tiba itu, mencoba memundurkan kepalanya sedikit untuk melihat, jangan-jangan Rina sedang tak sadarkan diri.

Baru saja dia memalingkan kepalanya sedikit. Kedua tangan Rina yang sudah terlepas, mencengkram kepala Adit kembali mendekati wajahnya. Dengan berjinjing sedikit, Rina menggiring bibir Adit menuju ke arah bibirnya dan menempelkannya kuat.

Adit terkesiap dan mengangkat tangannya, tak tau harus berbuat apa.

Bibir Rina terus saja bergerak lembut dan manis di bawah bibir Adit yang masih membeku di tempat. Bibir Rina bergerak ke arah sudut bibir Adit dan mengulumnya serta menggoda bibir Adit untuk ikut bergerak menyambutnya.

Segenap sel tubuh Adit ikut menari-nari seiring gerakan bibir Rina yang semakin panas menyapu bibirnya. Badannya pun ikut gemetar menahan gairah yang berkali-kali mengalirinya dengan kejam.

Tak tahan lagi… Adit meletakkan tangannya ke dinding bilik toilet untuk berpegangan. Karna kalau tidak, dia bisa pingsan karena gairah yang sudah ditahannya tadi.

Sambil mengeram di sela-sela bibirnya, kepalanya bergerak mencari bibir Rina dan memperdalam serangan bibirnya pada mulut wanita itu.
Adit merengkuh Rina ke tubuhnya dengan sebelah tangannya yang keras di punggung Rina dan mulutnya membuka bibir Rina yang lembap, penuh, merekah dengan kekuatan yang tak bisa ditahannya lagi.

Sedikitpun dia tak merencanakan ini terjadi. Sesungguhnya dia bermaksud untuk menahan diri dan tak merespon bibir wanita di pelukannya ini. Namun cita rasa Rina di bibirnya menimbulkan gairah hebat di sekujur tubuhnya. Adit langsung saja terjun tanpa memikirkan akibatnya.

***

MENIKAH KARNA DENDAM (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang