Bab 18

4.3K 197 7
                                    

Sepanjang lima jam menunggu Moza selesai sekolah, Rina akhirnya berhasil mengusir pikiran-pikiran terlarangnya tentang Adit. Dia menyibukkan diri menyusun jadwalnya sendiri dan anak asuhnya, kemudian menulis apa saja yang perlu diajarkannya pada Moza selama seminggu ke depan. Intinya, selama jam-jam itu, pemikiran tentang Adit tak muncul sedikitpun di benaknya.

Namun, tampaknya itu takkan berlangsung lama, karena saat sang sopir menjemput, sialnya sopir itu  menyampaikan bahwa bosnya akan mengajak dia dan Moza makan siang bersama di café dekat kantor bosnya.

Detik mendengar undangan yang tak diharapkannya itu, Rina langsung menjadi gusar. Dia ragu bisa menahan diri jika berada satu ruangan lagi dengan bosnya. Masalahnya, dia baru saja memulihkan kewarasannya dari hal-hal yang terlarang, tapi jika secepat ini dia harus kembali berdekatan dengan bosnya lagi, dia tak bisa menjamin penyakit ‘mesumnya’ tak akan kembali lagi.

Adit menyambut mereka dengan sumringah saat mereka masuk. Seketika itu juga pipi Rina merona karna kege-eran. Dia mengira bosnya itu tersenyum karena senang melihat kehadirannya. Dia tak sadar kalau itu mungkin hanya bagian dari sopan santun belaka. Mata wanita itu pun berbinar-binar dan dengan seriusnya mendengar penjelasan pria itu tentang semua menu di café itu satu-satu, seakan-akan dia sedang mendengar hal yang paling penting di dunia ini, yang akan bisa menyelamatkan hidupnya.

Tanpa pikir panjang, Rina langsung memilih sandwich dan susu strawberry sebagai menu makanan siang pilihannya. Adit yang melihat itu, tergelitik untuk bertanya, “Kok cuma sandwich aja Miss?”

“Oh… tadi sempat makan jajan di sekolah Moza, jadi tidak terlalu lapar.”

“Miss  ini mirip teman saya waktu SMA dulu… selalu saja membawa sandwich dan susu ke sekolah.”

“Itu aku!” pikir Rina.

“Mungkin aja dia memang suka sandwich, pak,” bela Rina tanpa sadar.

“Masak sampai tiap hari gitu Miss makannya?! Anaknya sih… pinter, tapi yah… mungkin karena terlalu kepinteran, jadi tingkahnya aneh-aneh.” Perkataan Adit itu terasa tajam dan menyakiti hati Rina. Dia tak menyangka Adit sama seperti orang lain, yang gampang sekali menggelarinya dengan kata ‘aneh’.

“Masih lebih baik terlalu pintar pak daripada terlalu bodoh! Lagian dia makan sandwich dan susu tiap hari juga tidak merugikan orang lain. Yang aneh itu, bukan seorang manusia yang makan makanan yang sama berhari-hari, tapi manusia yang sudah tau bukan urusannya, masih saja sibuk nyinyirin seakan-akan dia orang yang paling normal di dunia ini!” Rina menumpahkan kekesalannya tanpa sadar.

“Lho bukan itu maksud saya. Tunggu… tunggu… kok jadi gini? Apa perkataan saya tadi menyinggung perasaan Miss? Maaf tapi saya nggak tau kalau hal ini termasuk topik yang sensitif bagi Miss. Jujur saya bukannya mau nyinyirin teman saya itu, saya hanya… yah… cuman ngobrol biasa. Tapi sungguh kalau saya salah, saya minta maaf!” jawab Adit gelagapan dan bingung kenapa pengasuh barunya ini tiba-tiba saja emosional saat membicarakan topik yang sebenarnya cuma ditujukan untuk sekedar basa-basi.

Rina langsung menyadari kesalahannya dan segera meralat, “Oh maaf pak… saya nggak bermaksud. Maaf pak…. saya terlalu terbawa emosi tadi. Masalahnya kan nggak enak juga dengar orang dikata-katain aneh, hanya karena makanan yang dia makan.”

“Hmm… yah saya mengerti!” jawab Adit singkat dan setelah itu diam tak lagi mengajak ngobrol pengasuhnya itu. Hanya sesekali saja dia berbicara pada anaknya, saat menyuapi makanan.

Tiba-tiba saja Rina merasa seperti sudah membuat masalah yang besar. Akibat obrolan tadi, kini dia harus terduduk kaku di kursinya sambil memasukkan sandwich yang dipesannya tadi ke dalam mulut. Sandwich itu tak lagi terasa nikmat di mulut Rina. Gara-gara aura ketegangan antara dia dan bosnya, gairahnya untuk makan jadi hilang tiba-tiba.

MENIKAH KARNA DENDAM (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang