Bab 31

3.3K 167 1
                                    

Adit menutup telinganya untuk kesekian kalinya demi melindungi alat pendengarannya itu dari teriakan keras nan melengking anaknya. Total tiga jam sudah anak itu berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Sejak dia memberitakan kepergian pengasuhnya, anaknya itu tiba-tiba saja berubah menjadi brutal dan tak bisa ditenangkan.

Kamarnya penuh dengan boneka dan mainan yang dilempar kesana kemari... Baju-baju di lemari pun ditariknya paksa keluar sampai mematahkan gantungan baju yang menahan baju-baju itu. Semua sudah mencoba membujuk dan menenangkan anak itu. Semua termasuk Pak Slamet, Mbak Saroh dan bahkan wali kelasnya, Miss Betty. Wanita itu terlihat terkejut melihat perubahan sikap anak didiknya yang terkenal pendiam dan lemah lembut itu. Mereka semua akhirnya menyerah membujuk Moza, karena melihat amarah anak itu yang makin menjadi-jadi saat mereka mencoba melakukannya. Semua akhirnya pada berpulangan meninggalkan Moza yang masih histeris tak terkendalikan. Hanya Mbak Saroh yang ada di situ bersama Adit, menunggu sampai Moza selesai menangis.

.

Tepat jam setengah satu malam, teriakan dan tangisan anaknya itu tiba-tiba saja berhenti. Dia terlihat terdiam di ranjangnya sedang termenung, sambil masih terisak-isak pelan. Adit yang kasihan melihat keadaan anaknya itu, membelai rambut anaknya dan menyeka bekas-bekas air mata anaknya itu dengan telapak tangannya.

Moza menepis tangan papanya dengan wajah kesal.  Dengan suara seraknya dia berkata,"Dulu Moza mau ketemu mama, nggak boleh. Trus abis itu papa juga usir Sus Meli dan sekarang Miss Rina juga! Kapan sih papa mengalah? Kenapa Moza terus yang ngalah?!"

Adit tak mempercayai pendengarannya. Baru kali ini dia mendengar Moza bicara dengan nada suara menguliahi, bak orang dewasa saja. Belum-belum anaknya sudah tertular sifat suka mendebat dari mantan pengasuhnya itu, pikirnya.

"Miss Rina itu bukan contoh yang baik buat Moza... ntar papa carikan pengasuh yang lebih berpengalaman untuk ngurus Moza ya," bujuk papanya.

"Kalau papa nggak bisa bawa mama ke tempat ini, Moza cuma mau Miss Rina yang jadi pengasuh Moza! Jadi pilih bawa mama atau Miss Rina kesini!"

Setelah mengatakan itu, Moza membaringkan badannya dan menutupi badannya sampai kepala dengan selimut tebalnya.

Tinggallah Adit yang bengong mendengar ultimatum anaknya itu. Anaknya yang pendiam dan terbiasa memendam perasaan dan opininya, bisa begitu tegas dan pandai saat mengancamnya. Anak itu bahkan tak memberi kesempatan dirinya menjelaskan dan langsung tidur begitu saja. Tingkahnya... sungguh-sungguh terlihat mirip sekali dengan mantan pengasuh yang baru dipecatnya itu. Jelas-jelas Adit tak suka perubahan ini. Dia adalah kepala keluarga di rumah ini. Setiap keputusannya harus dihormati dan ditaati!

.

Adit seharusnya tidak boleh menganggap enteng ancaman anak semata wayangnya itu.

Karena apa yang akan dilakukan oleh anaknya berikutnya adalah sesuatu yang akan susah untuk ditanganinya. Keras kepala anaknya itu ternyata sudah melebihi dirinya dan hanya akan bisa ditenangkan kalau sudah dituruti keinginannya.

Dari pagi anak itu sudah menolak untuk sarapan. Dia hanya menegak setengah gelas air putih dan pergi sekolah dalam diam. Dua jam kemudian, Adit ditelpon wali kelasnya Moza kalau anaknya pingsan dan muntah-muntah sehabis upacara.

Adit langsung menelepon Pak Slamet dan menyuruhnya untuk menjemput Moza. Setelah dia rapat, dia pun langsung pulang untuk melihat keadaan Moza. Adit membuka pintu kamar anaknya dan melihat wajah anaknya yang pucat pasi.

"Saya sudah buatkan bubur, pak, tapi anaknya nggak mau makan. Mual katanya!" seru Mbak Saroh kuatir.

"Bilang Pak Slamet suruh keluarin mobil, kita mau ke rumah sakit." Setelah mengatakan itu, dia memakaikan jaket ke anaknya, memasukkan benda-benda yang diperlukan ke dalam tas kecil, siapa tau anaknya harus rawat inap setelah diperiksa. Melihat keadaan anaknya, dia takut sakit lambung anaknya kumat. Dengan cekatan dia menggendong Moza di tangan kanan dan membawa tas kecil itu di tangan satunya.

Sesampainya di rumah sakit, dia berlari ke ruang gawat darurat supaya anaknya bisa langsung diperiksa. Untungnya sakit lambungnya masih termasuk ringan dan langsung diperbolehkan pulang setelah di suntik untuk meredakan asam lambung tersebut.

Hal-hal seperti inilah yang sangat ditakutinya setelah bertahun-tahun menjadi orang tua tunggal. Melihat anaknya sakit atau terluka, sungguh membuatnya panik dan deg-degan.

Syukurlah... setelah sampai di rumah, Moza mau menyantap bubur yang dibuat
Mbak Saroh sampai habis dan setelah itu meminum obatnya tanpa protes sedikitpun. Adit merasa lega melihat itu. Apalagi secara cepat anaknya itu kembali pulih keesokan harinya.

Namun masalah kembali muncul saat anak itu kembali lagi ke sekolah dua hari setelahnya. Melihat supirnya pergi, Moza tak jadi masuk ke dalam sekolah, dia malah menyewa kendaraan online dan pergi pulang kembali ke rumah.

Adit yang diberitahu soal kenakalan anaknya oleh Pak Slamet, kontan saja langsung marah-marah sesampainya di rumah. Karena kenakalan anaknya ini, dia sampai harus berkali-kali meninggalkan pekerjaannya, bahkan janji dengan klien pun jadi terpaksa beberapa kali dibatalkan.

Sialnya kemarahannya itu malah dibalas kemarahan yang jauh lebih besar dari anaknya. Anaknya terus merengek menyuruhnya menghubungi Rina. Anak itu bahkan mengancam tak mau sekolah kalau Miss Rina tidak kembali bekerja. Rupanya anaknya itu sudah menjadi fans fanatik mantan pengasuhnya, pikirnya.

"Arghhhh... stressss!!!" Adit ingin sekali membenturkan kepalanya ke tembok saking frustasinya. Wanita itu benar-benar sudah merasuki otak anaknya dan sekarang dia harus jadi imbas dari taktik busuk mantan pengasuhnya itu pada anaknya.

Bodohnya Adit tetap saja berkeras dan memaksa anaknya sekolah. Dia bahkan sudah menyediakan pengasuh baru untuk anaknya itu. Namun bukannya menyerah, Moza yang tak kalah keras kepalanya itu, malah melempari si pengasuh baru dengan mainan dan alat-alat tulisnya. Terlebih lagi, anak itu selalu melarikan diri dan tak mau disentuh oleh si pengasuh baru. Alhasil, hanya dua hari saja si pengasuh itu bertahan dan minta keluar setelahnya, karna nggak kuat dengan kelakuan Moza.

Namun yang paling membuatnya kuatir dan sedih adalah saat melihat anaknya itu berkali-kali menolak makan. Dia hanya makan sedikit dan hanya meneguk setengah gelas susu setelahnya. Badannya mengurus dan terlihat lemas. Adit mencoba memberinya vitamin, tapi anak itu malah membuang isi vitamin itu ke dalam toilet.

Tepat seminggu sudah Adit menghadapi kebengalan anaknya. Sadar sudah tak mempunyai cara lain lagi, Adit pun mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Dia menuruti kemauan anaknya. Setelah sarapan pagi, dia memakai baju terbaiknya dan melatih ekspresi aku-tidak-bisa-ditolak miliknya.

Dia tahu benar kemungkinan besar dia akan ditolak. Setelah apa yang dikatakannya pada wanita itu, sedikit kemungkinannya Rina akan menerima tawarannya. Ini memang sudah resikonya dan dia tak bisa mundur begitu saja. Kebahagiaan anaknya terletak pada kesuksesannya membujuk Miss Rina untuk kembali bekerja lagi untuknya.

Dan benar saja... bukannya senang, wanita itu malah terlihat marah melihat kedatangannya. Rupanya setelan jas baru dan wajah tampannya tak cukup untuk membuat wanita itu melembek saat melihatnya.

"Kalau begitu... saya bayar dobel gaji anda yang baru. tinggalkan pekerjaan itu dan kembalilah bekerja dengan saya! Kalau bisa hari ini. Soalnya Moza sudah menunggu di rumah." Adit merasa sudah banyak mengalah dan rugi banyak dalam masalah ini. Kalau sampai wanita itu menolak tawarannya, dia pasti termasuk orang yang tak tahu berterima kasih.

"Kembali kerja??? Di rumah bapak maksudnya?!" tanya Rina merasa aneh. Bukannya baru seminggu lalu, lelaki ini dengan kasarnya memecat dan mengusirnya.

"Iya... memangnya di rumah siapa lagi?! Ayo cepat Miss kalau mau siap-siap! Saya nggak punya banyak waktu!" tambahnya sambil melihat ke arah jam tangannya.

"Dasar wong (orang) aneh!!!" Rina menarik tangannya berdiri dan mendorong badannya keluar dari rumahnya. Dengan kasar pula wanita itu menutup pintu rumahnya di depan hidungnya.

"Lho memangnya apa salahku?! Bilang saja kalau sampeyan mau bayaran yang jauh lebih banyak, nggak usah malu-malu!" seru Adit berteriak melalui celah pintu supaya didengar wanita itu. Sialnya... tak ada jawaban apapun.

Sinar matahari begitu terik saat itu dan kemejanya mulai  basah oleh keringat. Sialnya... kayaknya dia harus berjemur di luar rumah Rina beberapa waktu sampai wanita itu mau membuka pintu dan mempersilahkannya masuk lagi.

"Ya Tuhan... beri aku kesabaran agar tak emosi dan mendobrak pintu rumah ini!" doanya dalam hati.

***

MENIKAH KARNA DENDAM (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang