Bab 19

3.9K 218 3
                                    

Rina bagaikan ditampar saat mendengar serangan-serangan kata-kata kasar majikannya. Dia tak menyangka, dia harus mendapatkan perlakuan merendahkan seperti ini, hanya karena sempat ceroboh memperlihatkan sedikit 'ketertarikannya' pada pria yang kini memamerkan ekspresi merendahkan secara terang-terangan ke arahnya.

"Maaf pak... tapi apa kurangnya saya sampai harus mengincar duda beranak satu seperti anda!" balas Rina dengan ekspresi mencemooh dan dingin. Dia ingin manusia sombong di hadapannya ini juga merasakan bagaimana rasanya dihina. Bagaimana rasanya direndahkan hanya gara-gara masalah sepele.

"Maksudnya?" Adit hampir tak mempercayai pendengarannya. Dia tak menyangka pengasuhnya ini berani menjawab balik dan menggunakan statusnya sebagai duda untuk menghinanya.

"Saya memang tidak cantik dan background pendidikan saya juga tidak secemerlang wanita-wanita yang pernah bapak kencani, tapi maaf sekali lagi pak, selera saya cukup tinggi jika menyangkut lawan jenis. Sekaya apapun bapak, di mata saya bapak hanyalah seorang duda, yang nilainya sudah berkurang, karena sudah pernah digunakan orang lain sebelumnya. Lagipula... kalau saya tertarik pada bapak dan ingin mendapatkan bapak, dari hari pertama saya sudah berada di ranjang bapak dan bukan seharian menyibukkan diri dengan urusan anak bapak. Karena itu tolong... sebelum menuduh saya tertarik pada bapak, harusnya bapak periksa diri bapak dulu, apa bapak sungguh-sungguh pantas untuk saya sukai!" Emosi sudah menguasai Rina hingga dia tak bisa lagi mengontrol lidahnya.

"Lho kok jadi balik menghina saya!" hardik Adit dengan wajah merah padam penuh kemarahan seraya menggebrak meja di depannya. Tak sedikitpun dia menyangka pengasuhnya ini mempunyai lidah yang tajam dan benar-benar tak memandang posisinya sebagai bos.

"Bapak duluan yang menghina saya. Seingat saya bapak juga mengatakan kata-kata yang kasar tentang saya tadi! Saya sadar betul apa posisi saya di rumah ini dan bagaimana saya harusnya memperlakukan bapak. Kalau bapak tidak percaya saya bisa bekerja secara profesional, ya lebih baik pecat saja saya. Kalau belum apa-apa sudah dicurigai naksir sama bapak, gimana saya betah kerja disini nantinya.

Rina hanya menggertak, tentu saja. Dia berharap Adit berhenti mencurigainya dan melupakan masalah ini selamanya.

Adit menarik nafas panjang dan mempelajari mimik wajah pengasuhnya setelah semburan kata-katanya yang terdengar meyakinkan itu. Tak sedikitpun terlihat perempuan itu panik ataupun seperti orang yang sedang berbohong. Tatapannya lurus ke depan dan memandang bosnya itu dengan tak gentar sedikitpun.

Adit tak punya pilihan lain selain menyudahi masalah ini. Dia tak punya bukti yang kuat dan jika dia meneruskan tuduh-menuduh ini, takutnya justru pengasuhnya ini bisa menggugatnya karena tuduhan tanpa bukti dan perlakuan yang tidak menyenangkan. Lagipula, dia masih membutuhkan jasa Rina untuk menjaga dan mengasuh anaknya.

"Baiklah kalau begitu, saya terpaksa percaya sama Miss. Toh saya memang nggak ada bukti. Tapi bukan berarti saya sudah percaya seratus persen ya Miss. Saya minta Miss kalau kerja juga profesional, jadi saya nggak curiga-curiga lagi. Ya sudah kalau gitu... sampeyan bisa kembali bekerja!" seru Adit seraya melambaikan tangannya, memberi tanda supaya Rina bisa keluar ruangan secepatnya.

"Bapak masih berhutang permintaan maaf pada saya!" protes Rina dengan tatapan menuntut.

"Saya minta maaf sudah menuduh Miss tanpa bukti... tapi ingat kalau Miss sekali lagi-"

"Terima kasih atas permintaan maafnya. Kalau begitu, saya permisi dulu mau menidurkan Moza!" Rina tak membiarkan bosnya untuk menyelesaikan kata-katanya. Dia memotong kata-kata yang kemungkinan besar berisi peringatan itu dan segera meninggalkan tempat duduknya.

.

Beberapa hari setelah itu, Adit tidak terlihat sedikitpun berada satu ruangan dengan Rina. Keduanya tampak saling menghindari satu sama lain setelah kejadian itu.

Perkataan kasar keduanya benar-benar membuat mereka menjadi canggung dan tak tahan jika bertemu satu sama lain. Jarak diantara mereka tak ayal menjadi semakin jauh setiap harinya.

Hal itu berlangsung lebih dari sebulan. Terlebih lagi Adit, yang beberapa kali ada kerjaan di luar kota, jadi selama itu juga mereka tak sekalipun bertemu. Komunikasi merekapun hanya melalui pesan singkat yang dikirimkan seperlunya.

Sampai suatu hari, Adit tiba-tiba pulang dari tempat kerjanya jauh lebih awal. Rina baru saja selesai memandikan Moza dan bergegas untuk makan malam bersama anak asuhnya itu seperti biasa.

Betapa kagetnya Rina saat melihat bosnya itu sedang duduk di ruang makan dengan wajah yang dingin seperti biasanya. Sebulan lebih dia tak melihat bosnya. Ajaibnya, wajah pria yang sangat susah senyum itu, masih saja terlihat tampan di mata Rina. Hanya hatinya masih sakit, mengingat perkataan Adit yang dirasanya sangat merendahkan dirinya sebulan yang lalu itu. Itulah yang membuat perempuan yang sibuk menuntun anak asuhnya menuruni tangga itu, menutup rapat mulutnya dan menolak menyapa bosnya yang baru datang itu.

Adit juga bertingkah sama. Dia hanya menyapa Moza, menggandengnya ke arah ruang makan dan duduk di sampingnya.

Tidak ada satupun dari mereka berdua yang saling bertegur sapa. Keduanya diam saja dan hanya berkonsentrasi pada makanan mereka masing-masing. Begitu seterusnya sampai waktu Moza harus ditidurkan. Selama waktu itu, Adit selalu berada di dekat Rina dan Moza, namun masih saja tak ada percakapan sedikitpun yang tercipta diantara mereka.

Setelah selesai mengganti baju Moza dengan baju tidur, Rina menemani anak asuhnya itu di kamarnya sampai dia tertidur. Setelah itu, Rina turun ke dapur untuk mengambil minuman, yang biasanya dibawanya ke kamarnya supaya jika dia haus, dia tak perlu turun ke dapur lagi untuk mengambilnya. Namun, baru saja dia membuka lemari es, listrik tiba-tiba mati.

Rina mengambil botol air dari lemari es dan menutup pintunya cepat-cepat. Sebenarnya beberapa kali memang dia pernah diganggu rasa takut saat harus berada di rumah bosnya itu sendirian. Dia memang tak pernah melihat hantu sebelumnya di rumah Adit, tapi besarnya rumah dan sepinya area tempat tinggal bosnya itu, tak ayal membuatnya berpikir yang tidak-tidak.

Apalagi saat ini, semua ruangan di rumah itu gelap gulita. Dia merasa merinding saat mengingat Pak sopir pernah bercerita bahwa rumah besar itu dulu sebenarnya bekas kuburan orang belanda di jaman penjajahan. Ketakutannya pun makin menjadi-jadi. Dia ingin segera pergi dari tempat itu dan berlari ke kamarnya.

Dengan cepat dia menaruh botol minum yang dikeluarkannya dari kulkas ke meja di sampingnya dan mulai meraba sekitar meja itu untuk mencari gelas. Namun saat hendak mengambil botol air itu kembali, dia menyenggol botol sirup yang berada di sebelahnya dan membuat botol itu jatuh tepat di atas kaki kirinya dan pecah di sana.

Rina memekik kesakitan saat botol itu menghantam kakinya. Cairan berwarna hijau yang keluar dari botol yang pecah itu mengalir dan bercampur dengan darah yang keluar deras dari kaki Rina. Beberapa bagian botol yang pecah itu, menancap di kaki dan jarinya. Namun pecahan yang paling besar, yang tampak menyobek kulitnya lebar, menancap di bagian tengah kakinya.

Saat itu Rina ingin sekali menangis dan meminta tolong pada siapa saja yang ada di situ. Tapi dia sadar kalau dia melakukan itu, dia akan membangunkan bos dan anak asuhnya. Dia bukanlah anak orang kaya seperti dulu yang bisa berbuat seenaknya, yang bisa memerintah siapapun untuk membantunya. Takutnya jika dia meminta bantuan dari siapapun di rumah bosnya itu, dia akan dianggap merepotkan saja.

Menyadari itu, dia menghapus air matanya dan menenangkan diri. Dia mau tak mau harus menangani ini sendiri. Maka, dia menggigit bibirnya untuk menahan sakit dan mencabuti perlahan pecahan botol yang menancap di kakinya.

***

Author's note:

Tinggalin like, comments dan kalau perlu follow akun saya supaya tidak ketinggalan cerita-cerita yang baru.

MENIKAH KARNA DENDAM (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang