Bab 49

2.1K 111 0
                                    

Rina duduk dengan tegang. Firasatnya nggak enak. Seakan-akan ada berita buruk yang akan diterimanya. Bahkan teh dan beberapa kue yang dihidangkan di depannya, tak bisa menghilangkan perasaan terintimidasi yang dialaminya.
 
Tante Sam memandang Rina seksama dari atas kepala sampai bawah kakinya. Wanita tua itu seakan ingin mengetahui karakter Rina dari apa yang dikenakannya di tubuhnya. Baginya, calon pasangan hidup keponakannya pastilah nanti jadi bagian dari keluarganya juga. Jadi bagaimana pun juga, dia harus memperhatikan apakah calon istri keponakannya itu cocok bersanding dengan keponakannya atau tidak.
 
Dari apa yang dilihatnya, dia suka dengan cara Rina membawa diri. Dia tidak terlihat urakan dan tidak juga terlihat kuno. Wanita itu bahkan bisa menjawab dengan baik pertanyaan apapun yang diajukan Jimmy kepadanya. Kesopanannya pun menjadi nilai tambah yang penting. Calon istri keponakannya itu terlihat terus menjaga sikap serta cara duduknya di depannya dan suaminya. Rina bahkan mengambil bantal kursi untuk menutupi pahanya saat dia hendak duduk dan selalu menerima dengan dua tangan setiap benda yang diberikan kepadanya.
 
Dia juga mendengar bahwa pacar keponakannya itu terkenal jenius dan cekatan dalam banyak hal. Sebenarnya, tante Sam, yang bernama Lidya Berry itu, langsung jatuh cinta pada wanita itu saat melihatnya piawai dalam bermain piano. Sebagai penggemar musik klasik, dia senang mendapati kesamaan dalam diri pacar keponakannya itu. Dia bahkan berencana mengundang wanita itu lagi untuk menonton konser musik klasik bersamanya suatu saat nanti.
 
“Rina sudah berapa lama kenal dengan keponakan saya Sam?” tanya Jimmy serius sambil menghisap cerutunya dalam-dalam.
 
“Sudah sepuluh tahun, Om. Sejak dulu di Singapura,” jawab Rina kaku. Dia takut pertanyaan itu akan melebar dan bisa membongkar jati dirinya sebenarnya.
 
“Sudah lama ya kenalnya. Kalau gitu kapan rencananya kalian akan menikah?!” tanya Jimmy tanpa tedeng aling-aling.
 
Rina jadi gelagapan dan kikuk. Dia bingung kenapa tiba-tiba ditanya soal menikah dengan Sam. Masak baru dibawa sekali ke pesta keluarga, dia langsung harus menikahi Sam. “Ehm… kami masih mau berpacaran lebih lama lagi. Belum ada pikiran ke sana.”
 
Sam pun ikutan membantu dengan berkata, “Kami mau menikah nanti kalau kami sudah yakin satu sama lain. Lagipula kami juga masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing.”
 
“Lho… sudah sepuluh tahun saling mengenal satu sama lain, memangnya mau nunggu apa lagi? Ingat Sam, orang tuamu dan kami tidaklah muda lagi. Hanya kamu satu-satunya pewaris kami. Kamu tau sendiri om dan tante tak punya keturunan sama sekali!” tegas Lidya tak mengerti dengan cara berpikir keponakannya.
 
“Lagian kalau memang belum serius, kenapa kalian kemarin bercumbu di depan para tamu seperti itu?! Semua yang menyaksikan itu adalah para investor dan kolega penting bisnis kita. Semuanya pada menyebarkan rumor bahwa kalian akan menikah dalam waktu dekat ini. Lalu kalau kenyataannya begini… gimana nanti om dan tante menjawab mereka semua? Bagaimana kalau ini jadi berakibat fatal pada bisnis kita nanti? Kalian sanggup bertanggung jawab?!” desak Jimmy dengan suara agak membentak.
 
Bercumbu? Rina bingung mendengar kata itu. Dia tak mengerti apa yang dikatakan paman Sam ini. Seingatnya sehabis bermain piano, dia berpamitan ke toilet, trus… dia bertemu seseorang. Seingatnya…
 
Rina berusaha mengingat apa yang terjadi di dalam toilet itu. Dia ingat betul dia bertemu seseorang, tapi tak ingat siapa orang itu. Betapa kerasnya pun dia berusaha, yang ada hanya ingatan buram tentang toilet dan seseorang pria yang seingatnya kelihatan marah-marah.
 
Tiba-tiba terdengar gedoran di pintu ruang kerja Jimmy. Seorang pelayan masuk dan berkata, “Pak… di bawah lagi ada keributan besar. Pak Adit terlibat cekcok dengan salah satu tamu pria dan sekarang mereka saling baku hantam di bawah pak!”
 
Adit? Saat itulah dia mengingat semuanya. Dari apa yang telah dilakukan pria itu padanya di toilet, sampai tingkah bodohnya yang mengecup bibir Sam di depan semua orang di pesta tersebut. Dengan malu dia menangkupkan kedua telapak tangannya menutupi wajah.
 
Di saat yang sama, Sam, paman dan tantenya langsung beranjak dari tempat duduk mereka, selesai mendengar kata-kata pelayan tadi dan segera turun ke bawah, untuk melihat apa yang terjadi.
 
Rina juga mengekor di belakang mereka beberapa menit kemudian. Dia menyelinap di antara para tamu yang sedang menonton saat sudah sampai di bawah.
Yang dilihat sungguh membuatnya ngeri. Wajah Adit terlihat berdarah dan tampak sedang sibuk memukuli pria lain yang wajahnya juga dipenuhi lebam-lebam. Beberapa pelayan berusaha melerai dan menarik badan Adit menjauh dari pria yang sedang dipukulinya, tapi dengan geram, kakinya terus saja menendangi lawannya yang sudah terkapar di tanah.
 
Jimmy memerintahkan pelayannya untuk membawa pria yang terkapar itu ke rumah sakit, sedangkan Adit disuruhnya masuk ke dalam ruang kerja untuk diobati seperlunya dan juga diinterogasi oleh Jimmy.
 
Baru kali ini ada yang berani merusak pestanya dengan memukuli salah satu tamu, pikirnya heran. Setahunya Adit terkenal sebagai orang yang dingin, cuek dan selalu menjauhi masalah. Oleh karena itu, sikap brutal yang ditunjukkan teman bisnisnya itu sangatlah tak sesuai dengan karakternya.
 
Pintu ditutup dan Adit mulai mengeluarkan sumpah serapahnya. “Harusnya anda tak memisahkan kami tadi! Pria kurang ajar seperti itu harus dihabisi sebelum merugikan orang lain lagi!” protesnya marah sambil mengepalkan tinjunya. Rina yang menyaksikan itu dari sudut ruangan tempat dia berdiri, merasa Adit seperti kembali ke masa-masa SMA dulu. Liar dan sangat menyukai kekerasan.
 
“Ini rumah saya! Saya rasa saya berhak melakukan apa saja untuk mencegah terjadinya keributan di rumah saya! Lagian, anda ini kenapa? Apa salahnya orang itu sampai anda pukuli seperti itu?!” tegas Jimmy tak senang dengan sikap perlawanan yang diberikan Adit.
 
“Saya sedang membela seseorang yang dihina orang itu!” jawabnya singkat dan mengelap darah yang jatuh dari bibirnya dengan tisu.
 
“Siapa memangnya yang anda bela? Susan Li?” tuntut Jimmy
 
Adit menggeleng dan melihat ke arah Rina, yang memandangnya dengan raut wajah tak suka. “Saya tak bisa bilang siapa orangnya!”
 
“Waduh… kalau begini, gimana saya mau bela anda di depan polisi nanti. Anda tau sendiri kan perkara ini bisa jadi urusan polisi kalau sampai keluarganya melaporkan kejadian ini!” Jimmy melipat tangannya di depan dada sambil mengamati ekspresi teman bisnisnya itu.
 
“Emangnya kalau saya kasih tau orang yang saya bela, anda yakin hal itu tak akan mengganggu anda nantinya!” jawab Adit sinis seraya membuang tisu yang berdarah-darah tadi ke tempat sampah di bawahnya.
 
“Maksudnya? Siapa memangnya? Apakah dia orang saya kenal?”
 
“Pokoknya… rahasia lah! Kalau semua tau malah berabe. Untuk urusan polisi, biar saya nanti yang hadapi. Toh bukan pertama kalinya saya berurusan dengan polisi. Sekarang tolong biarkan saya pulang. Anak saya sudah menunggu dari semalam.”

Dengan tak memperdulikan apa reaksi Jimmy setelah dia berkata demikian, Adit beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar. Saat dia melewati Rina, dia sempat melemparkan pandangan dingin ke arah wanita itu.

Jimmy yang melihat tingkah Adit itu jadi bingung dan tak habis pikir. Biasanya, jika terjadi sesuatu, teman bisnisnya yang lain justru mendatanginya untuk mencari bantuan. Tapi Adit malah terlihat tak suka dia mencampuri urusan pria itu. Padahal jelas-jelas kejadian itu terjadi tepat di dalam rumahnya sendiri.

.

Karena melihat suaminya terlihat lelah dan emosi setelah kejadian pertengkaran tadi, Lidya mengisyaratkan keponakannya itu untuk membawa Rina keluar dan segera mengantarkannya pulang. Dia tak ingin suasana hati suaminya jadi membuat Rina tak nyaman.

"Kalian pulang dulu aja. Tapi tolong pikirkan lah dulu tentang pembicaraan kita tadi. Nggak perlu tunggu lama-lama sih menurut tante. Toh kalian sudah saling mengenal lama. Berpikirlah seminggu ini dan setelah itu kabari kami. Pernikahan kalian penting buat kelangsungan keluarga kita!" seru Lidya menasehati Sam dan Rina saat mengantarkan mereka keluar dari ruangan kerja suaminya.

Rina mencolek tangan Sam dan memandangnya khawatir.

'Kelihatannya masalah keluarga Sam dan pernikahan yang direncanakan mereka akan menghantuiku selama seminggu ini!'keluh Rina dalam hati.

***

MENIKAH KARNA DENDAM (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang