Chapter DCCXCVII

1.5K 401 26
                                    

Aku duduk di bangku taman, sambil menatapi anak-anak yang tengah bermain dengan beberapa pelayan yang menjaga di sekitar mereka. Tubuhku membungkuk, diikuti kedua tangan yang menjulur ke depan … Menyambut Anka yang tertatih berjalan mendekat.

Berkali-kali dia jatuh ke rumput, masih dengan tangan yang tak bisa lepas ia isap. Aku mengangkatnya ke pangkuan, dikala matanya itu telah sembab menatapku. Selama aku menepuk-nepuk punggungnya yang memeluk, pandanganku kadang kala terjatuh pada Sema yang tak berhenti tertawa oleh Ihsan dan Huri yang mengajaknya bermain.

Tatapanku berpaling pada sosok laki-laki yang berjalan mendekat. Sosok itu berhenti di samping lalu membungkuk, memberikan hormat. “Ada apa, Ekrem?” tanyaku, kepada wakil kapten Yadgar yang ditunjuk Zeki untuk melayaniku.

“Semua perintah yang Ratu berikan, telah diselesaikan. Esok hari, kita bisa mulai berangkat.”

“Kalian pergilah terlebih dahulu!” perintahku sambil menoleh padanya, “aku akan menyusul karena harus menunggu Yang Mulia kembali. Saat di perjalanan, mampirlah dahulu ke sekolah yang baru saja dibangun di pusat kota-”

“Sekolah yang aku buat khusus untuk seluruh anak-anak miskin di Yadgar,” tuturku dikala dia terlihat sedikit kebingungan, “Tsubaru ada di sana, dan kau harus membawa beberapa berkas yang diberikan Tsubaru. Setelah kau melakukannya, aku ingin kau menyeret penasihat raja terdahulu untuk ikut melakukan perjalanan!”

“Kenapa kita harus melakukannya, Ratu? Sudah lama sekali, keluarga penasihat terdahulu tidak bersentuhan dengan Yang Mulia … Maksud Saya, mereka sangatlah mengutuk pemberontakan yang dilakukan Yang Mulia-”

“Aku tahu,” sahutku menimpali ucapannya, “tapi dari kabar yang aku dengar, Beliau merupakan seorang paling bijak di Yadgar. Aku ingin bertemu dengannya dan kau harus mewujudkan semua itu.”

“Atau kau bisa katakan ini kepadanya, Ratu memiliki sesuatu penting yang harus didiskusikan … Kau, akan takjub setelah mengetahuinya,” lanjutku dengan mengangkat Anka, hingga dia berdiri di pangkuanku.

_____________.

Aku yang berjongkok itu, meraih dan menggenggam tangan Huri berserta Ihsan, “selama Ibu pergi, jangan membuat Ayah dan yang lainnya kesusahan. Jadilah anak yang baik! Jadilah contoh yang bagus untuk Sema dan juga Anka! Kalian harus saling menjaga satu dengan lainnya! Apa kalian mengerti?” tuturku kepada mereka berdua yang berdiri di hadapan.

“Ibu jangan pergi terlalu lama,” sahut Huri, dia segera memeluk erat sesaat kepalaku mengangguk akan pertanyaannya.

“Lihatlah! Berapa usiamu saat ini, kau masih terlalu manja pada Ibu,” ungkapku sambil mengusap punggungnya, “Ibu titipkan mereka semua kepadamu, Huri. Belajarlah untuk menjadi seorang putri yang tidak akan diremehkan oleh siapa pun.”

“Aku sudah melakukannya,” jawabnya setelah melepaskan pelukan, “Huri akan menjadi perempuan memukau seperti Ibu,” sambungnya disertai gelak tawa dikala tanganku menggosok kepalanya.

Aku mencium pipi mereka berdua bergantian, lalu beranjak dengan mengecup pipi Sema berserta Anka yang tengah digendong oleh masing-masing pelayan mereka. “Aku berangkat,” ucapku setelah berdiri di depan Zeki. Kedua kakiku melangkah semakin mendekatinya tatkala dia mengangkat kedua tangan, “jaga dirimu! Jangan bersikap bodoh lagi dengan tejatuh oleh perangkap perempuan lain,” tuturku membalas pelukannya.

“Sema dan Anka, mungkin akan semakin merepotkanmu, tapi sebagai Ayah kau harus tetap menjadi contoh yang baik untuk mereka. Jika mereka bertanya tentangku, katakan pada mereka bahwa aku perempuan yang hebat hingga membuat mereka kagum … Apa kau paham?!”

Dia mengecup keningku, “aku akan melakukannya,” ucapnya sambil melepaskan pelukan. Zeki lama menatapku, “berhati-hatilah! Segera beri kabar jika terjadi sesuatu! Aku akan menjaga dan mendidik anak-anak dengan baik, jadi kau tidak perlu khawatir,” ungkapnya, memegang pipiku, diikuti wajahnya yang mendekat … Mengecup kembali kening.

Tubuhku berbalik, disaat sihir milik kakek kurasakan muncul. Aku masih menunggu kehadirannya … Disaat sihir itu kembali menghilang, kakek tidak muncul. Sosok tiga orang perempuan dan seorang anak laki-laki di antara mereka yang justru muncul.

“Bibi Ebe! Bibi Bernice! Bibi Sabra!” seru Huri yang segera berlari menyambut mereka.

“Lama tidak melihatmu, kau justru sudah besar sekarang, Huri,” ungkap Ebe yang tak berhenti memeluk dan mencium Huri.

“Kalian berdua memenuhi panggilanku,” tuturku sambil menatap Bernice dan Sabra. Aku tersenyum lalu berjalan memeluk mereka, “bagaimana kabar kalian? Bagaimana kabar Ratu Alelah?” ungkapku sesaat melepaskan pelukan pada Bernice.

“Ibuku baik-baik saja. Setelah meninggalkan pulau, kesehatannya justru semakin membaik. Terima kasih, ini semua berkatmu, Sachi,” jawab Bernice yang aku balas dengan tepukan di lengannya.

“Sachi, aku akan menitipkan Takumi di sini selama menemanimu. Izumi dan Tsutomu pergi ke Tao … Karena dia baru diangkat menjadi Raja di sana, pekerjaannya sangatlah banyak. Dan Takumi mengatakan, aku ingin mengetahui seperti apa pangeran bersikap.”

Setelah Ebe mengatakannya, aku beralih menatap Takumi yang berdiri diam di sampingnya, “kau sudah besar sekarang Takumi,” ungkapku sambil mengusap kepalanya, “Ihsan akan membantumu di sini. Jika kau membutuhkan sesuatu, hanya katakan saja kepada pelayan yang melayanimu nanti,” sambungku yang tersenyum membalas tatapannya.

Aku berpaling pada perempuan tua yang berdiri di ujung paling kanan dari deretan pelayan, “Beyza, perintahkan beberapa pelayan untuk melayani Pangeran Takaoka Takumi di sini! Penuhi seluruh kebutuhannya, sama persis seperti kau memenuhi kebutuhan Pangeran dan juga Putri!” perintahku kepada kepala pelayan yang melayaniku itu.

“Baiklah Ratu, akan saya laksanakan,” ungkap Beyza sambil membungkuk mengatakannya.

“Lama tidak bertemu, Ihsan! Lama juga tidak bertemu Paman Zeki, Bibi Sachi!” Takumi membuka suaranya dikala Ihsan dan Zeki sudah berdiri di sampingku.

“Berikan salam dengan benar seperti yang ayahmu ajarkan, Takumi!”

Zeki mengangkat tangannya ke arah Ebe, “tidak perlu,” ungkap Zeki sambil berjongkok di depan Takumi, “kau datang ke sini untuk belajar menjadi Pangeran, bukan?”

“Itu berarti kau harus belajar tata krama layaknya seorang pangeran,” sambung Zeki setelah Takumi menyahuti ucapannya dengan anggukan, “akan ada banyak bangsawan yang berusaha menjatuhkan ayahmu. Terlebih, Tao merupakan kerajaan yang dirampas paksa oleh Ayah, Paman dan Bibimu. Jika kau ingin mendukung Ayahmu … Kau tidak boleh menjadi kelemahannya! Pamanmu ini, dan juga Ihsan … Akan mengajarkanmu seperti apa melakukannya.”

“Apa kau bersedia?”

Takumi dengan segera membungkukkan tubuhnya, “Pangeran Takaoka Takumi, memohon bantuanmu, Paman!” serunya hingga membuat senyuman mengembang di bibir Zeki.

“Sachi, aku hampir lupa … Kakek menitipkan ini untukmu!” sahut Ebe yang membuatku berpaling padanya.

Ebe melangkah, meraih tanganku lalu merekatkan gelang akar di sana, “kakek memintamu untuk menggunakannya jika berada dalam bahaya. Dia juga mengatakan, untuk meminta Zeki ataupun dirimu agar sering-sering mengunjunginya dengan membawa anak-anak.”

Aku tertunduk menatap lilitan akar dengan bunga-bunga kecil yang menjadi gelang di tangan, “terima kasih Ebe, sudah menyampaikannya kepada kami,” tuturku sambil menggenggam erat gelang tadi.

Our Queen : Memento Mori (II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang