Chapter DCCXCIX

1.4K 390 27
                                    

"Kau ingin menghancurkan semua bangsawan?"

Bibirku hanya tersenyum menjawab pertanyaannya, "bukan hanya para bangsawan di Yadgar ... Aku pun memiliki niat untuk menghancurkan Kekaisaran," tuturku yang sontak membuat matanya terbelalak.

Aku menoleh pada Ekrem yang telah berdiri di samping, "berikan aku beberapa koin!" pintaku sambil menjulurkan tangan kepadanya.

Ekrem mendekat, dia merogoh ke dalam pakaiannya lalu mengeluarkan kantung kecil terbuat dari kain berwarna kecokelatan. "Ini Ratu," sahutnya, setelah meletakkan kantung kecil tadi di telapak tanganku.

Kubuka ikatan pada kantung tadi, lalu kubalik hingga puluhan koin jatuh di meja ... bahkan, beberapa di antara mereka menggelinding tak tahu arah. "Koin-koin ini, mereka semua terbuat dari emas dan juga perak. Tickla, sebutan untuk koin emas, sedang untuk koin perak ... kita menyebutnya, Loui. Sebenarnya, aku tidak perlu menjelaskan hal ini, bukan?"

Aku mengambil masing-masing satu koin emas dan perak, lalu meletakkannya di depan Ajnur yang terlihat semakin gugup, "aku ingin, kau merampas semua koin emas dan perak ini dari seluruh manusia yang hidup bahkan yang sudah mati pun kalau bisa!" tuturku, hingga wajahnya dipenuhi oleh raut ketidakpercayaan.

"Perhatikan baik-baik, tiap lembaran kertas yang aku berikan!" lanjutku memerintah. "Di antara mereka, terdapat sebuah gambaran ... Aku ingin kau membuat salinan dari gambaran tersebut sebanyak mungkin! Letakkan semua salinan tersebut di Bank, lalu perintahkan orang-orangmu untuk menyebarkan salinan kertas-kertas tadi ke seluruh dunia!"

"Tipu mereka untuk menukarkan seluruh koin emas dan perak yang mereka miliki dengan kertas-kertas tadi. Aku menyebut kertas-kertas tersebut dengan uang ... Jika kau berhasil melakukannya, kita dapat dengan mudah menguasai dunia," sambungku yang kembali tersenyum menatapnya.

"Jika kau mengalami kesulitan dalam melaksanakan perintahku. Kirim sebagian uang tadi ke Sora, Tao, Il, Balawijaya dan Metin! Aku akan memerintahkan mereka untuk membantu kita menyebarkannya. Tentu saja, aku tidak akan memberikan semua uang itu secara percuma pada mereka. Aku akan tetap mencari keuntungan dari semua itu."

"Selain itu, aku juga memerintahkanmu untuk memberikan bantuan pada kerajaan lain dengan membangun sebuah bank di kerajaan mereka! Buatlah bank sebanyak mungkin, lalu rayu mereka untuk menukarkan seluruh koin emas dan perak yang tersisa dari rumah mereka untuk uang tadi-"

"Tapi, untuk apa melakukan semua itu? Apa keuntungan kita membuat semua itu?"

Aku terdiam, menatapnya yang terlihat antusias hingga memotong ucapanku, "kertas dapat mudah terbakar oleh api. Kertas, dapat dengan mudah hancur jika terkena air. Kertas tidak bisa bertahan lama dan bahkan mudah lapuk jika tidak disimpan dengan benar ... Kertas, akan kekurangan nilainya jika dia robek hingga tak berwujud."

"Kita menukarkan sebuah benda yang dapat digunakan untuk menyambung hidup. Benda yang dapat dibawa mudah untuk berpergian. Benda yang tidak terlalu memakan banyak tempat untuk menyimpannya ... Benda yang akan kita sebut dengan uang, yang dapat hancur kapan pun disaat kita menginginkannya. Aku ingin benda tersebut memenuhi dunia ... Aku ingin membuat dunia ini berada dalam genggamanku, karena itulah-"

"Aku benar-benar menyeleksi setiap orang yang ingin aku berikan kepercayaan besar ini," sambungku dengan kembali mengukir senyuman.

Dia tertunduk, menatap lama tumpukan kertas di genggaman, "saya hanya ingin dia mendapatkan kehidupan yang layak. Dia memilih untuk tinggal bersama saya, disaat Ayah dan saudara-saudaranya yang lain pergi setelah saya memutuskan untuk tidak pernah lagi menginjakkan kaki di istana," celoteh Ajnur sambil memandangi cucunya.

Matanya terangkat, membalas tatapan mataku padanya, "jika Yadgar memiliki Ratu sepertimu. Maka saya, Ajnur, rela memberikan seluruh hidup untuk melayanimu, Ratu."

Aku menyandarkan punggung, dengan kedua tangan saling bersilang membuatku melemparkan senyum setelah mendengar ucapannya, "kau memanglah bijak. Persis seperti kabar yang aku dengar," ungkapku yang bergeming membalas tatapannya.

___________.

Aku menarik napas dalam, sebelum menggerakkan tangan untuk membuka pintu di hadapan. Langkahku yang yang tiba-tiba berhenti, kini berlanjut kembali dengan lirikan yang terus jatuh pada Ekrem. "Kau berjaga di luar kamar?" tanyaku sambil berlalu melewatinya.

Langkah yang mengikuti, terdengar dari belakang setelah sebelumnya ikut terdengar suara deritan pintu. "Ingin pergi ke mana Ratu di malam hari seperti sekarang? Angin di luar cukup kencang, dan itu tidaklah baik untuk kesehatan Ratu," tuturnya seraya terus mengikuti.

"Aku sudah sering tidur beralaskan tanah. Aku pun sudah pernah menghabiskan satu bulan lebih di dalam lautan. Aku juga telah terbiasa disapu angin kala terbang di udara. Jadi hal yang kau ucapkan tadi, tidak akan berpengaruh padaku," sahutku tanpa berbalik.

Aku lagi-lagi menarik napas panjang, diikuti kedua kaki yang terus saja melangkah hingga membawa kami keluar. Aku kembali sempat berhenti, sesaat mataku itu terjatuh pada seorang laki-laki paruh baya yang berdiri ... membuang pandangannya ke laut.

"Tidak perlu memberikan hormat!" pintaku, kepada Ajnur yang membungkuk ketika dia sadar akan kedatanganku.

Aku yang berhenti di sampingnya itu, hanya terdiam dengan kedua tangan yang saling bertangkup. "Yang Mulia, maksud saya Raja terdahulu ... tidak pernah membenci putranya," ungkapnya, yang tiba-tiba bersuara disaat aku tengah meniupkan udara ke telapak tangan.

"Pelayan tersebut, maksud saya Ibu dari pangeran keempat ... Dia kehilangan nyawanya ketika Raja terdahulu berusaha menyelamatkan putranya yang hendak dibunuh oleh ibunya sendiri. Pelayan tersebut mengancam Raja dengan berniat membunuh putranya jika dia sendiri tidak diangkat menjadi selir. Sebab itu juga, yang membuat pangeran keempat dipandang rendah oleh mereka-mereka di Istana."

"Saya memang masih belum memaafkan perbuatan pangeran keempat yang merebut paksa takhta. Namun, seperti yang Ratu katakan sebelumnya ... Di antara para pangeran, hanya dia yang paling pantas menyandang status sebagai Raja."

"Dia kuat. Dia memiliki tekad yang sama kuatnya, hingga berhasil menjadi Kapten tanpa bantuan Raja sama sekali. Penyesalan terkuat Raja terdahulu mungkin hanya ... disaat dia mengurungmu," sambungnya, yang kali ini benar-benar mengatup bibir.

Kuturunkan tangan, lalu menyilangkan kedua tanganku tadi ke dada. "Aku tidak tahu, apa tujuanmu menceritakan hal ini sekarang. Bagiku, kehidupan saat inilah yang harus kami jalani. Apa yang telah berlalu, tidak perlu untuk diinggat lagi-"

"Terutama, saat Yadgar diserang kutukan kemarin ... Yang Mulia telah membinasakan seluruh saudaranya hingga Ratu terdahulu," sambungku, melanjutkan kata-kata yang sempat terhenti sambil memalingkan wajah menatapnya, "aku, tanpa kau beritahu pun, juga telah merasakan kasih sayang seorang Ayah dari Ayah Mertuaku sejak lama."

"Suamiku, masih membiarkan Ayahnya hidup sampai sekarang ... mungkin karena alasan yang sama. Aku telah memintanya untuk mengunjungi Istana, mengunjungi cucu-cucunya," tuturku yang lagi-lagi berhenti dengan tarikan napas panjang, "ajaklah dia bersamamu untuk ke Istana nanti! Aku tidak ingin, anak-anakku menganggap kakeknya seperti orang asing ketika mereka bertemu, jikalau kami sebagai orangtua tidak menjembatani mereka untuk saling mengenal."

Our Queen : Memento Mori (II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang