“Berbalik, Eneas!” teriakku kepadanya yang baru saja keluar dari lubang di pohon.
“Eh? Berbalik?” tuturnya yang serta-merta kebingungan.
Aku kembali tertunduk lalu menampar mata berserta hidung Bardiani yang ikut menoleh, “aku tidak memberikanmu izin untuk menatap adik-adikku!” geramku, sambil menampar untuk kedua kalinya.
Tubuhku beranjak oleh pelukan yang menarikku ke belakag, “terlalu lama di sini, justru akan mengundang bahaya,” bisik Ryuzaki, dia baru melepaskan pelukannya setelah aku sendiri telah berdiri di sampingnya.
“Eneas, ajak mereka bertiga pergi!” pinta Ryuzaki, dia kembali menarikku menjauh ketika kakiku lagi-lagi menginjak punggung Bandiani, “tinggalkan saja dia!”
Lidahku berdecak, sebelum aku berbalik mengikuti Ryuzaki. Saat kami sudah berada tepat di depan pohon, Ryuzaki menghentikan langkahnya, “kembalilah ke sukumu! Dia masih berbaik hati karena tidak membunuhmu,” ucapan dari Ryuzaki membuatku turut menoleh ke belakang.
Mataku menatap sinis pada Bardiani yang setengah membungkuk, memandang kami dengan wajah penuh lelah. “Aku ingin hidup tanpa diatur oleh siapa pun! Termasuk oleh mereka yang ada di pulau ini!” tukasnya, sembari berjalan tergopoh mendekati kami.
“Tidak ada kebebasan yang sempurna!” sahutku singkat sambil menarik Ryuzaki agar kembali berjalan.
Suara tangis, terdengar dikala kami sudah melewati pohon, “mereka akan membunuhku. Mereka memaksaku menjadi pemimpin. Namun di saat perempuan cantik lain tumbuh dewasa, mereka akan langsung membunuh pemimpin yang lama untuk menggantikannya.”
“Apa kau tidak ingin menolongnya?”
Aku menggeleng oleh ucapan Ryuzaki, “aku tidak peduli! Bagaimana kau bisa langsung percaya? Kita bahkan tidak tahu, dia berbohong ataupun tidak,” cibirku sambil membuang pandangan pada mereka berempat yang telah menunggu.
“Baiklah. Namun, jika kau berubah pikiran, aku akan selalu membantumu,” ucap Ryuzaki, diikuti tangan kanannya yang terangkat.
Mataku menoleh, pada pohon di belakang kami yang telah menutup kembali. Aku berbalik, mendekati Eneas, Ebe, Bernice berserta Sabra yang masih berdiri menunggu. “Kau sudah membunuh perempuan tadi?” tukas Bernice, disaat aku sudah berdiri di depan mereka.
“Aku membiarkannya hidup. Aku tidak memiliki alasan kuat untuk tiba-tiba membunuhnya,” sahutku sebelum menoleh pada Eneas.
“Kau sudah terlihat semakin dewasa. Bagaimana keadaanmu?”
Eneas balas tersenyum, “aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu sendiri, nee-chan?”
Kepalaku mengangguk, “aku pun sama baiknya. Tolong bantu aku untuk meminta pelayan menyiapkan kamar bagi kami, Eneas! Kamarku tidak ada yang menempatinya, kan? Kalau benar, kami akan menunggu di sana.”
“Baiklah, aku akan meminta pelayan untuk melakukannya.”
Aku menoleh, mengikuti lirikan matanya yang terjatuh pada Sabra, sebelum dia berjalan meninggalkan kami. “Kenapa kau menatap Sabra seperti itu?” sahutan Bernice membuatku seketika berpaling padanya.
“Tidak apa-apa. Ikutlah denganku untuk beristirahat!”
“Bagaimana denganmu, Ryu?” lanjutku, kali ini kepada Ryuzaki yang telah berjalan.
“Aku akan beristirahat di kamarku, sebelum pergi menemui Ayah dan juga Ibu,” sahutnya dengan terus melangkah.
________________.
Aku berjalan sambil menutup mulut yang menguap lebar. Ayah, Ibu, dan Haruki pergi ke gunung untuk menghadiri festival … Eneas sendiri tidak ikut, karena sebelumnya dia baru kembali dari perbatasan. Begitulah penjelasan yang aku dengar dari beberapa Kesatria yang menghampiri.
“Sabra? Pantas saja dia tidak ada di kamar, ternyata ada di sini.” Aku bergumam pada diri sendiri, dikala mataku tak sengaja menangkap sosok Sabra yang tengah berlatih di Taman.
Sabra yang mungkin mendengar perkataanku, segera menurunkan pedang di tangannya. “Kata mereka, salju mungkin akan turun malam ini. Apa yang kau lakukan di sini sendirian?” tanyaku, ketika langkah kaki telah berhenti di hadapannya.
“Aku tidak bisa tidur, karena itu aku di sini-”
“Apa kau masih terganggu dengan perempuan tadi yang sanggup melarikan diri darimu?” sahutku sambil berjalan melewatinya.
“Bernice dan Ebe pun bersama denganmu saat itu, jadi jangan terlalu memikirkannya,” sambungku dikala dia diam tak menyahut.
“Aku sama sekali tidak terganggu dengan semua itu. Masih banyak yang lebih kuat dibandingkanku, jadi bukanlah masalah besar jika ada yang berhasil mengalahkanku.”
“Kau terlalu seius menanggapi semua masalah. Wajahmu akan berubah lebih tua dibanding usiamu!” ucapku menanggapi perkataannya.
Aku mendongak, menikmati langit malam dengan helaan napas yang beberapa kali keluar. “Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya,” gerutuku sambil terus mendongak.
“Kau merindukan keluargamu?”
“Aku memang merindukan mereka, tapi bukan itu masalahnya. Kau tahu, Sabra!” tuturku seraya menoleh padanya, “tadi, perempuan bernama Bardiani itu berkata, kalau dia akan dibunuh oleh penduduk suku tersebut. Mereka akan memilih pemimpin baru, lalu membunuh pemimpin yang lama sebagai gantinya.”
“Lalu? Apa kau ingin menolongnya?”
Aku menggaruk kuat kepala, “aku tidak ingin menolongnya! Terlebih, siapa dia yang harus aku tolong! Sampai sekarang pun, aku masihlah kesal dengan apa yang ia lakukan tadi.”
“Aku tidak tahu, seperti apa rasanya dikhianati jadi aku tidak bisa menjawabnya! Namun, tidak ada salahnya untuk menolong seseorang kalau kau memang ingin menolongnya. Lagi pula, aku pikir dia tidak akan sanggup untuk melukaimu.”
“Aku tahu, tapi apa untungnya untukku menolongnya? Aku bisa saja membawanya ke sini, lalu meninggalkannya ke sebuah tempat, di mana dia akan bisa menjalani hidup yang baru. Namun, apa untungnya untukku melakukan semua itu?”
“Kau akan lebih tenang. Bukankah itu keuntungan yang besar?”
Aku memalingkan wajah setelah Sabra menyahut seperti itu. “Aku akan memikirkannya lagi. Aku ingin beristirahat dulu. Kau jangan lupa untuk beristirahat nanti!” perintahku sambil berlalu melewatinya.
“Tunggu! Kita pergi bersama. Aku juga sudah selesai berlatih.”
____________.
“Istana kalian luas sekali,” tutur Ebe, yang berjalan di samping.
“Ini juga Istanamu. Apa kau lupa? Kau istri kakakku,” ungkapku sambil menerima pisau kecil dari Sabra, “kau yakin ingin memberikannya kepadaku?” tanyaku kepada Sabra, setelah pisau tersebut telah berpindah ke tanganku.
“Pisau tersebut sangat tajam di kedua sisinya. Itu akan sangat berguna jika kau bertarung satu lawan satu dengan musuhmu.”
“Tapi ini … Aku dengar kalau pisau ini merupakan pisau peninggalan dari Nenekmu. Apa tidak apa-apa?”
“Itu benar, tapi tidak apa-apa. Kurasa, kau lebih membutuhkannya dibandingkan aku,” sahutnya, yang membuatku tidak bisa lagi menolak.
Aku berhenti, diikuti mereka bertiga yang turut berhenti. Ryuzaki yang muncul dari belokan di lorong Istana, segera menghentikan langkah kakinya lalu menoleh padaku. “Kalian ingin pergi ke ruang makan? Ingin pergi bersama?” tanya Ryuzaki, setelah langkahku berlanjut mendekatinya.
“Padahal pelayan sudah menyiapkan masing-masing kamar untuk kalian.”
“Mau bagaimana lagi, jika mereka memilih untuk tidur di kamar yang sama denganku,” balasku berbisik pada Ryuzaki.
“Aku mendengar percakapan kalian semalam. Apa kau ingin aku membantumu?”
Aku segera menoleh padanya, “kenapa kau begitu ingin aku membantunya? Kau membuatku seketika curiga.”
“Aku tidak terlalu tahu kenapa hal itu bisa terjadi. Akan tetapi, dia salah satu teman baikmu dulu. Dia kehilangan nyawa, karena ingin melindungimu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasiaSambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...