Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya, “apa kalian yang di belakang baik-baik saja?” tanyaku sambil terus membuang pandangan ke depan.
“Aku dan Sabra baik-baik saja, tapi dia sepertinya jatuh sakit.”
Mendengar kata-kata Bernice, membuatku seketika berusaha menoleh ke belakang, “siapa? Bardiani?” tanyaku, yang masih berusaha untuk melihat mereka.
“Kou, apa kita masih jauh dari tempat tersebut?”
“Tidak terlalu jauh kalau kau terbang bersamaku, My Lord.”
Tidak terlalu jauh kalau terbang bersamanya, itu berarti tempat itu lumayan jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki.
“Bagaimana keadaannya?” Aku kembali bertanya kepada salah satu dari mereka bertiga di belakang.
“Dia tertidur setelah Sabra memberikannya air mata Uki. Lanjutkan saja perjalanan, jangan berhenti!”
“Apa kau yakin?” Lagi-lagi sebuah pertanyaan kuberikan.
“Lanjutkan saja. Dia mungkin tidak terbiasa dengan perubahan cuaca yang mendadak di udara. Aku akan menjaganya! Jadi, lanjutkan saja perjalanan seperti yang Bernice ucapkan,” sahut Sabra yang menjawab pertanyaanku.
“Baiklah! Aku menyerahkannya pada kalian berdua.”
“Kou, turunkan kami di hutan yang paling dekat dengan kerajaan tersebut! Kau bisa kembali setelah mengantar kami!” perintahku dengan kembali mengusap lehernya.
______________.
“My Lord, ada hutan di sebelah sana. Kau ingin aku turunkan di sana sekarang juga atau tunggu hingga pagi datang?”
Wajahku bergerak, mencoba mencari hutan yang Kou maksudkan di kegelapan malam, “Sabra, Kou bertanya, di sana ada hutan … Ingin kita turun di sana saat ini juga atau pagi nanti saja?”
“Pagi masih lama datangnya, dan itu justru berbahaya bagi kita kalau sampai ada yang melihatnya. Tidak apa-apa! Kalau itu hutan, kalian bisa serahkan kepadaku,” jawab Sabra di belakang.
Bibirku tersenyum simpul mendengar ucapannya, “jawaban yang ingin sekali kudengar.”
“Kou, turunkan kami di sana saat ini juga! Pastikan, kau menuruni kami di tempat yang aman!”
“Baik, My Lord!”
Tubuhku bergerak maju dengan sendirinya, disaat Kou menyelesaikan ucapannya. Aku mendongak, menatap bulan di atas kami yang perlahan mengecil, ketika Kou membawa kami semua untuk turun. Setelah cukup lama bergumul dengan udara dingin yang menyelimuti. Suara seperti benda jatuh, terdengar keras memasuki telinga.
“Sepertinya kita sudah mendarat,” gumam Bernice di belakang.
“Aku akan turun terlebih dahulu! Setelah aku memastikan aman, kalian boleh baru turun!” perintah Sabra yang ikut terdengar di keheningan malam.
_____________.
Mataku terbuka dengan aroma menggiurkan yang menerobos hidung. Aku beranjak, memperhatikan dengan seksama Sabra dan Bernice yang duduk di depan sebuah api unggun. “Api unggun? Kapan kalian membuatnya?” tanyaku sambil merangkak mendekati mereka.
Hidungku mendengus aroma lezat dari beberapa potong ikan yang mereka bakar, sesaat aku sendiri sudah duduk di dekat mereka berdua. “Kapan kalian menangkap ikan? Kenapa tidak membangunkanku?” tanyaku sekali lagi pada mereka.
“Pagi-pagi sekali tadi. Sabra yang menyiapkan semua ini, aku pun baru bangun sama sepertimu,” sahut Bernice, menjawab pertanyaanku.
“Kalian pasti lelah, karena itu aku menyiapkan ini semua sendiri.”
Aku meraih sepotong ikan bakar yang ia berikan, “memangnya kau tidak lelah? Kita sama-sama lelah,” ucapku, menanggapi perkataannya itu.
Kupegang ranting yang menusuk ikan tadi dengan tangan kiri, sedang tangan kananku bergerak mencubit daging ikan bakar tersebut. “Lezatnya. Hanya memakan buah selama di udara membuatku lapar,” gumamku sambil menelan daging ikan bakar di tangan.
Wajahku menoleh, mengikuti Bernice yang juga sudah berpaling oleh suara gemerasak di belakang kami. “Kenapa denganmu, Bardiani?” tanyaku, kepadanya yang tiba-tiba beranjak lalu melucuti celana yang ia kenakan.
“Lakukan jauh di sana!” bentak Bernice, ketika Bardiani berjongkok di bawah pohon yang sebelumnya ia tiduri.
“Aku sudah tidak tahan la-”
“Sialan!” sahutku menggerutu, dengan beranjak ketika mataku tak sengaja jatuh pada tumpukan kuning yang ia keluarkan.
“Nafsu makanku seketika hilang oleh apa yang ia lakukan!” sambungku lagi, sambil jalan menjauh meninggalkan mereka.
“Aku akan membunuhmu, Bardiani! Benar-benar akan membunuhmu kali ini!” Ikut terdengar bentakan dari Bernice ketika aku sudah semakin jauh berjalan.
Langkahku terus berlanjut, menuju suara gemericik air yang terdengar di kejauhan. Bukan suara air yang menarikku ke sana, melainkan suara lainnya yang terdengar dari sana. Tubuhku segera bersembunyi di balik pepohonan, sesaat aku tak sengaja menangkap segerombolan pemuda di tepi sungai.
Aku masih terdiam, memperhatikan mereka yang tengah mengelilingi seorang perempuan. Beberapa di antara mereka juga ada yang berjongkok, meraih dengan senyum lebar beberapa perhiasan di dekat perempuan tersebut. “Apa mereka perampok?” bisikku pelan pada diri sendiri.
Mataku terus memperhatikan mereka. Aku tetap berdiam diri, tidak melakukan apa pun walau perempuan di sana tak berhenti untuk mengatakan, tolong bebaskan aku!
“Apa kau ingin kita membantunya?”
Tubuhku segera membatu, aku sangatlah terkejut dengan suara Sabra yang tetiba memasuki telinga, “kau benar-benar menakutkan! Aku bahkan tidak bisa mendengar langkah kakimu,” bisikku saat memandangnya.
“Kita tidak memiliki alasan untuk membantunya. Lagi pun, pedangku tertinggal di sana. Aku tidak ingin, membahayakan diri sendiri hanya untuk seseorang yang tak kukenal,” ketusku setengah berbisik, saat aku kembali menatapi mereka yang ada di sana.
“Aku bisa mengalahkan mere-”
“Jangan bertindak sesuka hatimu tanpa aku perintahkan! Aku bisa melihat raut kelelahan di wajahmu, jadi jangan memaksakan diri!” tuturku dengan sigap memotong ucapannya.
Kedua mataku berpaling, pada seorang laki-laki yang menjauhi rombongan itu. Saat laki-laki itu menjauh, salah satu pria di rombongan tersebut mendorong perempuan tadi lalu menindih tubuhnya. Aku masih diam menyaksikan, perempuan tadi yang mencoba berontak dan menjerit, kala laki-laki lainnya membantu pria sebelumnya untuk menahan tubuh perempuan tersebut.
Aku menghela napas sambil beranjak dengan meletakkan ikan bakar yang masih aku pegang ke pohon. “Berikan pedangmu, Sabra! Dan, bantu aku untuk memancing beberapa pria itu agar menjauh!”
Sabra menatapku lama, sebelum dia menyerahkan pedang di tangannya, “aku mengerti! Akan aku laksanakan,” ucapnya ikut beranjak, lalu berjalan mendekati rombongan itu.
Aku baru melangkah ke arah yang sama, ketika Sabra telah berlari dengan beberapa laki-laki yang mengejarnya. Segera kukeluarkan pedang yang aku pegang dari sarungnya … Kuayunkan pedang tersebut, menahan pedang yang diarahkan salah seorang laki-laki yang lari, hendak menyerangku.
Kaki kananku terangkat, menerjang pinggang laki-laki tadi. Ketika aku hendak menebas pundaknya … Pedang yang laki-laki itu pegang segera menghentikan apa yang kulakukan. Aku mengangkat lagi pedang di tangan ke atas, lalu memukulkannya ke pedang pria tersebut hingga darah menetes oleh pedang miliknya itu yang membelah telapak tangannya.
Aku sempat terhenyak sejenak, ketika sekelebat bayangan begitu cepat melewati. Melihat pria di depanku yang juga terkejut oleh bayangan tadi, membuat tanganku dengan cepat mencengkeram kepalanya … Lalu, kuhantamkan wajahnya ke dengkul kaki kananku. Sebelum pedangku itu, membelah belakang tengkuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasiaSambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...