“Ratu, mereka telah menunggu di luar.”
“Perintahkan mereka untuk masuk!” sahutku menjawab ucapan Tsubaru.
Aku meletakkan semua kertas di tangan, lalu beralih menatap Tsubaru yang telah membukakan pintu. Aku terus memandangi mereka dengan kedua tangan yang memangku wajah, “tidak perlu memberikan hormat!” cetusku kepada mereka bertiga.
Bibirku terkatup seraya menatap secara seksama mereka bergantian. “Apa begitu sulit menjaga seorang anak?” tuturku membuka pembicaraan, “Chandini, apa kau tahu alasanku memilihmu dibandingkan Amithi?” sambungku dengan kali ini mengalihkan pandangan kepadanya yang tertunduk di samping Akash.
“Aku berbaik hati membawamu ke sini, karena aku tahu bahwa diantara kalian memiliki hubungan spesial,” ungkapku sembari beranjak dari kursi lalu berjalan mendekatinya, “apa aku, masih kurang baik melakukannya?” Aku melanjutkan lagi kata-kata dengan telapak tangan yang aku letakkan di pundak Chandini.
“Bagaimana mungkin, kau membiarkan Putriku mendengar hasutan dari mereka? Apa kau, merupakan salah satu di antara mereka, Chandini?”
Chandini segera bersujud menyentuh kakiku, dikala kata-kata sebelumnya aku bisikkan kepadanya. “Ampuni Saya yang telah lengah, Ratu. Saya bersumpah, ini semua tidak akan terulang,” ucapnya gemetar.
Aku mengabaikan perkataan Chandini, dengan lirikan mata yang berpaling pada Akash, “apa menjaga martabat seorang pangeran, menambah pekerjaanmu, Akash?”
“Apa seluruh kekuatan di tubuhmu itu, tidak mampu untuk menutup mulut-mulut mereka yang menggunjingkan Pangeran dan juga Putri?”
“Tugas kami menjaga Yadgar, jauh lebih besar dari ini-”
“Apa kau pikir, serangan hanya berasal dari luar?” Dia menoleh padaku sesaat aku menyergah ucapannya, “jika kalian hanya fokus melindungi Yadgar dari serangan luar … Kalian akan binasa oleh serangan yang berasal dari dalam kerajaan itu sendiri. Haruskah, aku mengingatkan kalian kembali … Siapa, yang telah menyelamatkan kalian semua?”
Aku berpaling pada Khabir, disaat Akash terdiam, tak menjawab, “apa menurutmu, aku terlalu baik karena telah memberikan kesempatan kedua pada istri dan anakmu, Khabir?”
Bibirku tersenyum, ketika dia menoleh padaku dengan raut wajah yang terlihat putus asa, “kau sangat ingin melindungi anakmu, kan? Begitu juga yang aku rasakan. Jadi jangan terlalu lama menunda semua perintahku! Kau beruntung, karena aku masih cukup bersabar saat ini.”
Aku berjalan mundur, menyandarkan bokong pada meja kerja, “apa karena aku terlihat selalu bersikap baik, jadi kalian meremehkanku? Nyawa yang sudah aku hilangkan, lebih banyak dari yang pernah kalian hilangkan … Apa aku, masih terlihat baik setelah kalian mendengarkannya?”
“Kalian pasti ingat, alasan dibalik kita bisa bertemu,” tuturku sambil menatap ujung jari-jari tangan, “tujuanku lebih besar dibanding hanya berkutat di Yadgar. Jika kalian tidak bisa diandalkan untuk membantuku melindungi Yadgar … Melindungi keluargaku yang hidup di Yadgar. Maka menghilanglah!”
“Kalian ingin mati dengan cara apa … Aku akan mewujudkan semua itu, karena langit, tanah dan bahkan laut … Semuanya berpihak padaku,” ungkapku yang kembali tersenyum memandang mereka.
________________.
Aku berjalan dengan Tsubaru yang mengikuti di belakang. Dia terus mengikutiku memasuki sebuah ruangan … Langkahku terus berlanjut melewati semua orang yang berdiri di dalam ruangan itu. Bisikan demi bisikan, terdengar mengusik dikala aku sendiri sudah menduduki kursi yang menjadi singgasana di sana.
“Jika kalian mencari suamiku … Yang Mulia sedang berpergian memeriksa perbatasan ibukota,” tuturku sambil memangku wajah dengan tangan yang bersender pada lengan singgasana.
“Terima kasih, karena telah memenuhi undanganku,” sambungku seraya mengetuk pipi menggunakan jari-jemari tatkala mereka semua terlihat heran menatapku.
“Apa yang diinginkan seorang Ratu memanggil kami semua?”
Lirikan mataku terjatuh pada seorang laki-laki yang menyahut. “Duke, apa semua bangsawan tidak diajarkan tata krama? Apa aku perlu mengajarkan kalian, bagaimana caranya menghormati seorang Ratu?”
Laki-laki yang dipilih menjadi Duke itu segera bersujud, “salam Ratu. Semoga kebahagiaan, selalu menyertaimu,” tuturnya memberikan hormat.
Beberapa laki-laki lainnya turut bersujud menghormatiku, sedang sisanya justru tak acuh, mengabaikanku. Bibirku mengembangkan senyuman, hingga membuat mereka saling pandang, “masuklah, Kei!” perintahku, dikala sihir milik Kei kurasakan mendekat.
Laki-laki yang masih berdiri kecuali Tsubaru, segera menyingkir ketakutan sesaat Kei melenggang masuk melewati mereka. “Hewan Agungku,” ucapku sambil menggaruk pelan kepalanya. Kei mendongak, hingga garukan tanganku bisa leluasa berpindah ke lehernya, “apa kau datang ke sini karena Tsubaru belum sempat memberikanmu makanan?”
“Beruntung sekali, karena di sini terdapat banyak sekali daging yang masih segar,” sambungku dengan lirikan yang kubuang kepada mereka semua yang ada di dalam ruangan.
Mendengar ucapanku … Mereka bergegas, tergopoh-gopoh memberikan hormat. “Tsubaru, berikan semua kertas yang kau bawa pada mereka!” perintahku yang segera dibalas oleh anggukan dari kesatriaku itu.
Tsubaru berjalan, membagikan kertas demi kertas di tangannya kepada mereka semua yang telah beranjak. “Tanda tangani kertas tersebut saat ini juga!” perintahku kembali, tapi kali ini justru dibalas oleh tatapan mereka yang terlihat enggan untuk melakukannya.
“Perintah pertamaku di kertas tersebut, setiap dari kalian harus menyerahkan setengah dari pasukan pribadi kalian untuk diberikan kepada kerajaan-”
“Kenapa kami harus melakukannya? Kami membutuhkan pasukan untuk menjaga wilayah!”
“Kenapa?” sahutku kepada seorang laki-laki yang memotong ucapanku, “karena mereka tidak akan berguna jika berada di tangan kalian,” ungkapku, dengan lagi-lagi tersenyum setelah mataku menangkap rasa jengkel di wajahnya.
“Perintah keduaku, kalian diharuskan membagi setengah dari kekayaan kalian pada kerajaan-”
“Saya menolak semua ini!”
Aku terdiam, mataku tak berpaling untuk saling bertatap dengan laki-laki yang baru saja menentang perintah. “Kenapa kami harus melakukan semua ini? Seorang Ratu tidak pantas memberikan kami sebuah perin-”
Belum sempat laki-laki tadi melanjutkan kata-katanya. Dia tiba-tiba jatuh tersungkur dengan wajah yang tampak membiru. “Kau datang, Lux?” tuturku sambil mengangkat telapak tangan ke arahnya yang terbang mendekat.
“Kenapa kau justru melayani mereka? Habisi saja semuanya dan buat pemerintahan baru, karena menurutku mereka semua tidak berguna kecuali laki-laki yang ada di sana,” ungkap Lux dengan menunjuk ke arah Duke, sesaat dia sendiri sudah berdiri di telapak tanganku.
Setelah Lux menyelesaikan ucapannya. Para Bangsawan itu serempak tersungkur menyentuh lantai. Kei yang awalnya tenang di sampingku, kini berjalan maju lalu menginjak kepala dari salah seorang bangsawan. Aku menutup mulut tanpa melakukan apa pun, dikala bangsawan yang diinjak kepalanya oleh Kei berteriak penuh ketakutan.
Aku beranjak dari singgasana ketika Lux kembali terbang, “perintah ketigaku … Jangan pernah menyentuh keluarga kerajaan, terlebih lagi jika itu adalah para pangeran dan juga putri,” ungkapku yang menghentikan langkah di tengah-tengah mereka.
Lirikan mataku terus bergerak, memerhatikan satu per satu bola angin yang menahan punggung para bangsawan agar tak bisa beranjak. “Kalau nantinya aku mendengar lagi kabar bohong mengenai anak-anakku. Walau kalian berlari ke ujung dunia pun … Kalian akan tetap mati di tanganku. Jadi menyerah saja dan laksanakan perintahku … Itu pun, jika kalian menginginkan hidup yang tenang.”
Aku kembali berjalan mendekati pintu yang masih sengaja dibiarkan terbuka, “Tsubaru, kuserahkan sisanya kepadamu! Jika mereka masih menolak menandatangi surat perjanjian tersebut … Singkirkan langsung di ruangan ini!” sambungku yang kali ini benar-benar meninggalkan ruangan setelah mengucapkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...