Aku berdiri sambil menggandeng lengan Ebe. Kakiku mulai melangkah sedikit maju, ketika Kesatria yang berbaris di depan kami mengabarkan bahwa Ayah dan yang lainnya telah kembali. “Ayah! Ibu!” panggilku, kulepaskan rangkulan di lengan Ebe, sebelum aku berlari mendekati mereka yang baru turun dari kereta.
“Kau mengunjungi Sora?” tanyanya, sesaat aku sudah memeluk erat dirinya.
Kuangkat wajahku lalu mengangguk, untuk menjawab keterkejutan di wajahnya. “Aku merindukan kalian, karena itu aku ke sini,” ucapku, sesaat tangannya membelai kepala hingga berakhir di pipi.
“Apa kau baik-baik saja? Ayah sangat mengkhawatirkanmu saat tahu kau menghilang tiba-tiba.”
“Maafkan Sachi, Ayah. Maaf, karena telah membuat kalian semua khawatir. Bagaimana keadaan Ayah?" ungkapku balas bertanya kepadanya.
Ayah menyentuh pipiku menggunakan kedua tangannya. Matanya memandangku cukup lama, sebelum bibirnya menyentuh lembut keningku, “Ayah baik-baik saja. Syukurlah, tidak terjadi apa-apa denganmu,” tuturnya sambil memperlihatkan senyum di balik jenggotnya yang terlihat mulai memutih.
Aku menoleh pada Ibu yang terdiam menatap kami berdua. “Bagaimana keadaanmu, Ibu?” tanyaku, sebelum akhirnya bibirku terkatup karenanya yang begitu saja melenggang pergi.
“Ibumu mungkin hanya sedikit kesal karena kau tiba-tiba menghilang dulu. Tidak apa-apa, nanti Ayah akan berbicara padanya.”
Mataku mengikuti tatapan Ayah yang ternyata jatuh pada Ebe di belakang. “Hormat untukmu, Ayah!” seru Ebe dengan membungkukkan punggungnya.
“Kemarilah!”
Aku mengangguk sesaat mata Ebe melirik padaku. Dia berjalan mendekat, lalu seketika menunduk kala Ayah menyentuh kepalanya, “bagaimana keadaanmu dan juga Takumi?” tanya Ayah hingga membuat Ebe mengangkat pandangan.
“Kami baik-baik saja, Ayah. Tolong maafkan perbuatanku yang lalu.”
“Tidak apa-apa. Ayah mengerti dan paham kenapa kalian sampai melakukannya.”
“Yang Mulia, silakan beristirahat. Tidak baik untuk berlama-lama di luar,” sahut seorang laki-laki paruh baya yang baru kali ini terlihat oleh mataku.
“Baiklah,” sambut Ayah sebelum dia sedikit mundur ke belakang, “kita lanjutkan pembicaraan ini nanti. Haruki berada di kereta selanjutnya, kau bisa menemuinya,” sambung Ayah seraya melangkah melewati kami berdua, dengan laki-laki tadi di belakangnya.
Aku masih berdiri di tempat yang sama, sambil terus menunggu kereta lain yang membawa kakakku, Haruki. Kutarik segera napas yang sangat panjang, tatkala sebuah kereta kuda berwarna hitam memasuki kawasan Istana dan berhenti tepat di belakang kereta yang sebelumnya ditumpangi Ayah.
Laki-laki yang baru turun dari kereta tersebut seketika berhenti sekejap saat matanya jatuh menatapku, “apa sosok yang aku lihat di depan itu adalah kenyataan, Tatsuya?”
“Haru-nii!” sahutku, tatkala dia menoleh pada Tatsuya yang berjalan di belakangnya.
Dia berjalan mendekat dengan senyum yang turut ia lempar, “apa yang membuatmu datang ke sini, Ratu Sachi?” ungkapnya dikala dia sudah berhenti tepat di hadapanku.
“Apa yang kau maksudkan, Kakak?” tuturku sambil memeluknya, “apa kau lelah? Apa kau ingin beristirahat terlebih dahulu? Haruskah aku memasakkanmu makanan yang lezat?” sambungku dengan telapak tangan mengusap samping kiri dari keningnya.
Dia kembali tersenyum, “ikuti aku ke ruangan tersebut! Bagaimana aku bisa merasa lelah, kalau adikku datang berkunjung,” ungkapnya, sambil menggerakkan sedikit wajahnya sebagai ajakan untukku menjauh dari tempat yang sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...