“Apa kau tahu di mana kami bisa menemukan pemimpinnya?” Sabra yang berdiri di samping Bernice ikut menyahut.
“Jika kalian menemukan perempuan yang dikelilingi beberapa laki-laki, maka dialah pemimpinnya. Namun, apa kalian perlu melakukan ini? Aku bisa membawa kalian ke daratan. Maksudku, benar-benar daratan dan bukan hanya sebuah pulau di tengah lautan seperti ini,” jawab Ryuzaki sambil terus menatapku.
Lirikanku bergerak kepada Bernice yang menggelengkan kepalanya, “kami sangatlah penasaran dengan pulau ini. Bukankah pulau ini menarik? Yang aku maksudkan, pulau ini berbeda dengan pulau yang dihuni para perempuan. Pulau ini terdapat laki-laki, dan pemimpinnya adalah perempuan. Aku sangatlah penasaran,” tuturku menjawab ucapan adik kembarku itu.
Ryuzaki beranjak, “baiklah, aku mengerti. Kalian bisa beristirahat! Biar aku yang menjaga kalian,” ungkapnya seraya berbalik.
“Ryu!” panggilku hingga langkahnya berhenti, “selamat! Segera beri aku kabar kalau keponakanku akan segera lahir,” ucapku yang segera disambut oleh senyum darinya.
“Apa Kak Ebe yang memberitahumu?” Kepalaku mengangguk atas pertanyaannya.
“Aku akan melakukannya. Sarnai juga selalu bertanya, kapan kau akan berkunjung, begitu juga dengan kakek.”
“Aku mengerti. Aku akan ke sana sesegera mungkin. Katakan pada Kakek! Untuk selalu menjaga kesehatannya!” tuturku, yang dengan segera mendapatkan balasan anggukan kepala darinya.
Ryuzaki kembali berbalik lalu berjalan pergi meninggalkan kami berempat. “Dia bahkan tidak bisa menyembunyikan raut kegembiraan di wajahnya,” suara Ebe tiba-tiba terdengar mengusik keheningan.
“Kau sudah bangun?” tanyaku, ketika dia beranjak duduk.
“Kalian berdiskusi di dekatku, bagaimana aku bisa tidur? Syukurlah, bukan? Penantian mereka akhirnya terbayar.”
“Kau benar,” sahutku untuk perkataannya, “aku saja sangat bahagia saat menerima kabar tersebut, apa lagi mereka,” sambungku, terus menatap sosok Ryuzaki yang kian lama kian menghilang di tengah kegelapan malam.
_______________.
Aku mengangkat tangan, menutup mulut yang menguap lebar. Aku kembali mengencangkan ikatan rambut yang hampir terlepas, ketika aku sendiri telah beranjak. “Ryu tidak muncul, berarti kita sudah aman untuk bergerak,” ucapku sambil mengusap kedua ujung mata menggunakan jari-jari tangan.
“Kita bergerak sepagi ini?” Ebe menyahut, dengan telapak tangan yang turut menutupi mulutnya.
“Kalau terlalu siang, itu justru mengundang kematian kita sendiri,” balasku, sebelum berbalik dengan menggerakkan kaki mengikuti Bernice yang telah berjalan.
“Tetaplah waspada Bernice! Kau sangatlah mudah terpancing suasana, dan itu salah satu kelemahan terbesarmu!”
Bernice yang melangkah di depanku, mengusap belakang kepalanya. Hingga, rambutnya yang sangat pendek itu sedikit bergoyang. “Katakan itu kepada dirimu sendiri, Sabra! Kelemahan terbesarmu … Adalah sikapmu tersebut, yang ingin menyelesaikan semuanya sendiri!” Bernice balas menegur Sabra yang berada di dekatnya.
“Karena itulah kita berempat di sini. Bisa untuk saling menutup kekurangan satu sama lain,” sahutan dariku membuat mereka seketika menoleh.
Kepalaku tertunduk, ketika sihir dari Ryuzaki terasa mengalir di tanah yang kami pijak. “Ikuti aku!” sambungku memerintah, sambil mulai berlari mengikuti sihir tadi yang kian terasa bergerak menjauhi kami.
Aku mulai merangkak, berusaha untuk tak membuat suara sekecil apa pun ketika sebuah pemukiman terlihat di depan mata. Semua rumah di sini berbentuk setengah lingkaran, dengan dinding dan atap yang terbuat dari dedaunan kering. Langkahku segera berhenti, aku segera berjongkok untuk menyembunyikan diri di balik salah satu rumah sesaat mataku itu tak sengaja menangkap dua sosok pria yang mendekat.
Kulirik Bernice dan Sabra, yang mengendap-endap ke sisi lain dari rumah. Saat kedua sosok pria tadi semakin mendekatiku dan Ebe … Bernice berserta Sabra muncul dari belakang, lalu menyergap kedua laki-laki tadi dengan tangan yang menutup masing-masing mulut mereka. Aku ikut beranjak, tatkala satu pria yang ditahan Bernice itu tak sadarkan diri, “apa kau membunuhnya?” tanyaku, sambil membantunya menarik tubuh pria tadi untuk disembunyikan.
“Tentu saja tidak!” sahut Bernice, setelah kami menyembunyikan laki-laki tersebut di dekat tumpukan batok-batok kelapa.
Saat mataku menangkap Sabra yang telah melakukan hal sama dengan dibantu Ebe. Aku pun kembali mengajak mereka untuk mengikuti. Kami berempat, mulai kembali mengendap-endap, merangkak melewati beberapa rumah yang tingginya hanya sampai pinggang manusia dewasa.
Gerakku, kupercepat disaat sihir milik Ryuzaki telah berhenti di sebuah rumah yang ukurannya lebih luas dibanding rumah lainnya. Kuarahkan jari telunjuk ke arah rumah tadi, sambil mataku melirik pada Bernice dan Sabra yang mengangguk, seakan sudah mengerti dengan apa yang harus dilakukan.
Mereka berdua berpencar, Bernice ke arah kanan sedang Sabra ke kiri. Mereka berdua melakukannya dengan sangat hati-hati, mendekati dua penjaga yang berdiri di depan rumah tersebut.
Bernice berdiri dengan memukul tengkuk pemuda yang membelakanginya, disusul Sabra yang turut melakukan hal sama hingga membuat dua penjaga tadi seketika tak sadarkan diri.
Lambaian tangan Bernice membuatku segera menyusul mereka. Dengan pelan, kusibak tikar yang menjadi pintu pada rumah di depan kami. Wajahku seketika melengos tatkala bau menyengat dari dalam rumah itu tiba-tiba menyeruak. Aku dengan sigap menginjak kuat kaki Ebe yang hendak bersuara di samping, “kau akan mengundang musuh jika bersuara,” bisikku dengan mulut dan hidung yang tertutup tangan.
“Astaga! Pemandangan seperti apa yang aku lihat sekarang?”
“Ada apa?” sahut Bernice, terhadap bisikan yang Ebe keluarkan.
“Diamlah kalian!” sambungku berbisik, sambil merangkak semakin masuk ke dalam.
Aku dengan sangat dan sangat perlahan … Bergerak melewati seorang laki-laki yang tertidur lelap dengan kondisi tak mengenakan sehelai kain pun di tubuhnya. Aku berhenti sejenak, menoleh pada Bernice, Ebe dan juga Sabra yang masih mematung, “ kalian urus para laki-laki! Aku, mengurus perempuan yang ada di sana!” perintahku, dengan hanya menggunakan isyarat tangan dan bibir yang bergerak tanpa suara.
Setelah melakukannya, aku mulai melanjutkan lagi apa yang sebelumnya telah kulakukan. Kudekati seorang perempuan, di antara lima laki-laki yang mengelilinginya. Mereka semua sama! Baik perempuan tadi, dan para pria yang terlelap mengerubunginya … Tak ada satu pun dari mereka yang mengenakan selembar pakaian saja.
Aku tiba-tiba berhenti, dikala telapak tangan ada yang terasa menusuknya. Sebuah kuncup bunga tumbuh, dari tanah yang sebelumnya aku sentuh. Dengan cepat, kuraih sebuah guci kecil yang ada di dalam bunga tadi, tatkala kuncup bunga tersebut mekar di hadapanku. “Pantas saja mereka seperti seseorang yang sudah mati. Apa kau yang membuat mereka seperti ini, Ryu?” gumamku, setelah bunga tersebut kembali menguncup dan masuk lagi ke dalam tanah.
Gerakku kembali berlanjut. Kulangkahi perut salah seorang laki-laki yang terbaring di depanku itu. “Sebenarnya apa yang dilakukan perempuan ini? Apa dia membuat Harem di sini?” gumamku, setelah melangkahi laki-laki kedua.
“Kalau aku melakukan seperti apa yang ia lakukan. Mungkin Zeki, sudah membunuh semua laki-laki itu sejak lama-”
“Kenapa kau justru bergumam seperti itu?”
Aku menoleh pada Ebe yang tengah mengikat tangan salah satu laki-laki di dalam ruangan, “cita-citaku dulu adalah membuat Harem, sebelum aku memutuskan untuk memilih Zeki jadi pasangan,” tuturku membalas perkataannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...