Aku beranjak lalu berjalan mendekati pintu dan membukanya. “Nona Sakura, Yang Mulia menunggu Nona untuk makan bersama,” tutur seorang lelaki paruh baya yang berdiri di ambang pintu.
“Kau berubah banyak sekali sekarang, Gil.”
Laki-laki paruh baya itu membungkuk, “begitu juga denganmu Nona,” ucapnya setelah kembali berdiri tegap menatapku.
Gil mundur, dia mengangkat sebelah tangannya, “silakan Nona, aku akan mengantarmu,” sambungnya sembari menundukkan kepala.
Kutarik napas dalam, sebelum kakiku melangkah melewati pintu. “Lewat sini, Nona!” Gil kembali berseru sambil berbelok ke kanan dan berjalan mendahului.
Kulangkahkan kaki mengikutinya dari belakang. Semakin jauh Gil menuntunku berjalan … Semakin banyak juga tatapan mata yang aku temui. Beberapa dari pelayan yang kami lewati, bahkan terdengar suara bisik yang melintas masuk ke telinga.
Aku tidak peduli dengan apa yang sekarang kalian gunjingkan! Tujuanku sekarang hanyalah merebut Paloma dan merebut banyak perhatian mereka yang berkuasa.
Tanpa mempedulikan bisikan-bisikan tadi, aku terus saja melangkah mengikuti Gil yang membawaku ke sebuah pintu besar berdaun dua dengan dua kesatria yang berjaga di depannya. “Yang Mulia, Nona Sakura datang untuk memenuhi undanganmu!” seru Gil di depan dua kesatria tadi.
Berselang dari seruan tadi, suara derit pintu tiba-tiba muncul di permukaan diikuti terbukanya pintu besar di hadapan kami itu. Langkahku yang sempat berhenti, kini kembali berlanjut mengikuti Gil yang sudah terlebih dahulu melangkah masuk. “Salam Yang Mulia, Raja Dante Edmundo,” tuturku sambil membungkuk, memberikan hormat sesaat aku sudah memasuki ruangan tersebut.
“Angkat wajahmu dan duduklah bersama kami menikmati hidangan, Nona Sakura!”
Kata-kata perintah yang tercetus darinya, membuatku mau tak mau mengangkat wajah dan berjalan mendekati sebuah kursi yang ia tunjuk menggunakan telapak tangannya. “Aku duduk di kursi yang lain saja,” ucapku yang tertunduk di dekat kursi tadi.
“Duduklah!”
Dante kembali mengeluarkan suara, tapi kali ini diikuti dengan anggukan kepalanya. Aku menggigit bibir sambil melirik ke arah Sang Ratu yang menatapku penuh amarah dari kursinya yang tepat berhadapan dengan kursiku. “Baiklah, jika itu adalah sebuah perintah,” tuturku sembari menarik dan menduduki kursi yang ada di sebelah Dante.
Aku terdiam sejenak, dengan mata yang tak berhenti memperhatikan semua hidangan di atas meja, “semua yang terhidang … Semuanya merupakan makanan kesukaanku. Apa Yang Mulia sengaja melakukannya?” tanyaku sambil menoleh ke arah Dante yang tertunduk, “terima kasih, kalau itu memang benar, Yang Mulia,” sambungku yang kali ini ikut menunduk, dengan senyum tersipu yang tak tertinggal kuperlihatkan.
Aku lagi-lagi mengangkat wajah, dikala suara pukulan pada meja memecahkan keheningan. “Saya tidak sudi makan di meja yang sama dengan perempuan sepertinya!” Ratu di hadapanku itu murka dengan memukul meja untuk kedua kalinya, “perempuan hina yang menggoda laki-laki dengan tubuhnya, kenapa saya harus makan bersama dengannya, Yang Mulia!”
“Hentikan apa yang kau katakan itu, Ratu!”
“Yang Mulia!” Perempuan yang menjadi Ratu itu menoleh, ke arah Dante yang membentaknya.
“Duduk dan tetaplah bersikap tenang kalau kau masih ingin di sini! Atau pergi saja dan tinggalkan kami!” Dante kembali meninggikan suaranya pada perempuan yang menjadi istrinya itu.
“Yang Mulia! Yang Mulia lebih memilih perempuan hina ini dibanding saya, Istri Yang Mulia sendiri!” perempuan tersebut tak kalah meninggikan suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...