Aku meminum air yang baru saja dituangkan oleh pelayan. Meja makan terasa sangat sepi … Tak ada pembicaraan, hanya bunyi dari alat-alat makan saja yang terdengar. “Sachi!” Seketika mataku menoleh pada panggilan Ayah.
Ayah meletakkan cangkir di tangannya, dengan mata yang terus menatapku, “setelah makan malam, temui Ayah! Kau juga Eneas, pergilah bersamanya untuk menemuiku!” perintah singkat darinya terucap, sebelum Ayah beranjak dari kursi yang ia duduki.
_____________.
Eneas berhenti di depan pintu sambil mata yang terus terjatuh padaku. “Buka pintunya!” pintaku pada dua penjaga. Aku menepuk pundak Eneas, tatkala kedua kakiku berjalan melewati mereka.
“Hormat untuk kalian!” seruku sambil membungkuk di hadapannya yang tengah duduk di salah satu kursi.
“Duduklah kalian berdua!”
Aku berjalan, lalu duduk di kursi yang berseberangan dengannya dan juga Haruki. “Ada apa Ayah memanggil kami?” tanya Eneas dikala dia sendiri telah duduk di sebelahku.
Mataku melirik pada Ibu yang juga ikut berada di ruangan ini. Dan sama seperti sebelumnya, dia masih belum ingin berbicara padaku walau aku sudah beberapa kali menoba untuk menyapanya. “Apa ada sesuatu yang penting, Ayah?” Aku balas menimpali pertanyaan Eneas.
“Kakakmu Haruki memberitahuku, kalau kau,” tutur Ayah sambil berbalik menatapi Eneas, “memintanya agar membatalkan pernikahan Eneas.”
Kuangkat telapak tanganku ke arah Eneas yang segera menoleh sesaat Ayah berbicara, “aku ingin menjodohkan Eneas dengan perempuan pilihanku. Karena itu, aku meminta pernikahannya dibata-”
“Semakin lama, kau semakin tidak tahu malu, Sachi! Apa seperti itu, caramu berbicara pada Ayahmu!”
“Ardella! Aku memintamu untuk beristirahat! Kau sendiri yang memaksa untuk ikut ke sini, jadi tenangkan dirimu!” sahut Ayah atas bentakan Ibu yang memotong ucapanku.
Aku menarik napas lalu mengembuskannya. Kuangkat tangan kananku menepuk dada beberapa kali, agar rasa sesak yang tiba-tiba menyeruak segera menghilang. “Aku memang tidak tahu malu, sudah tak terhitung berapa kali aku merendahkan diri … Menggoda laki-laki, agar Sora bisa seperti sekarang.”
“Sachi!”
Aku seketika tertunduk, sambil kugigit kuat bibirku sendiri ketika Ayah meninggikan suaranya dengan menyebut namaku. “Adikku tidak ingin menikah dengan gadis pilihan kalian, dan aku ingin menolongnya … Apa yang aku lakukan ini sebuah kesalahan?” ucapku dengan nada gemetar.
“Saat Haru-nii atau Izu-nii, menyisihkan makanannya agar aku selalu kenyang. Aku sendiri justru menyisihkan makananku untuknya, seperti itulah bentuk sayangku padanya. Saat aku tahu, dia mungkin saja tidak akan bahagia dengan pernikahan yang kalian rencanakan … Apa aku salah, untuk tidak berdiam diri?”
Kutarik napas yang sangat dalam, lalu kuembuskan lagi sambil mengangkat wajah yang sempat tertunduk. “Dia berada di sini baru beberapa tahun terakhir, tapi aku sudah merawatnya sejak dia masihlah anak laki-laki yang bahkan tidak bisa membaca sebuah kertas di tangannya,” sambungku, membalas lirikan Ibu.
Bibirku tersenyum kecil, sebelum mata kembali berpaling pada Haruki, “aku sangatlah menyayangi keluarga ini. Walau kematian di depan mata pun, aku akan tetap berjuang asal kalian bahagia. Tapi tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dipandang rendah oleh seseorang,” lanjutku dengan kali ini memandang kosong ke depan.
“Semua tergantung padamu sekarang, Eneas! Mereka akan sulit mengerti, kalau kau saja tidak ingin berkata jujur.”
Mataku terus saja menatap lurus ke depan. Mengabaikan Eneas yang memanggilku beberapa kali, dengan tatapan yang begitu kosong. “Aku sendiri yang meminta tolong Sachi nee-chan, untuk membatalkan pernikahan. Aku tidak ingin menikah dengan perempuan yang bukan pilihanku sendiri. Aku ingin, mencari kebahagiaanku sendiri,” tuturnya, hingga membuatku menoleh.
“Sachi nee-chan, bukan hanya kuanggap sebagai Kakak. Dia sudah seperti Ibuku sendiri,” sambungnya yang turut menoleh, membalas tatapanku, “Dia, orang yang paling aku percayai di Dunia ini. Karena hal itu juga, aku memintanya untuk menolongku. Nee-chan, aku tidak ingin menikah … Kumohon, tolong aku!” lanjutnya dengan mata yang tak berpaling menatapku.
“Bukan dia yang harus disalahkan, tapi aku!” Eneas kembali berkata tatkala pandangannya berpaling pada Ayah, “jika ada yang harus dihukum karena hal ini! Orang tersebut adalah aku, Yang Mulia.”
Lirikanku beralih pada Haruki yang tiba-tiba menghela napasnya, “aku akan mengirim utusan, agar memberitahu mereka bahwa pernikahan tersebut dibatalkan. Pernikahan ini adalah tanggung-jawabku, jadi kupikir Ayah atau Ibu tidak memiliki hak untuk ikut campur didalamnya.”
Aku seketika mematung, bibirku dengan sekejap menciut setelah mendengar Haruki yang begitu berani mengucapkannya. Aku tiba-tiba terkesiap, tatkala Haruki melemparkan senyumannya kala menatapku. “Bagaimana kami bisa menolak permintaan seseorang yang begitu berjasa pada Sora, dan pada keluarga ini. Aku bahkan masih mengingat dengan sangat jelas, bagaimana kesalnya aku dan Izumi saat dia menghilang tiba-tiba, tapi ternyata dia justru membawa kembali seseorang yang begitu kami rindukan dahulu.”
“Aku dan Izumi, berjuang begitu keras untuk membesarkan mereka kala kami jauh dari rumah. Membagi makanan yang seharusnya cukup untuk satu orang, menjadi makanan yang harus dimakan berlima, saat koin yang kami bawa kehabisan di tengah jalan.”
“Karena itulah, saat aku ataupun Izumi memiliki harta yang berlebih … Kami tidak akan berpikir dua kali untuk membagi semua itu kepadanya. Dia menyerahkan semua perhiasan yang dimilikinya, hanya agar kami bisa makan dan tidur di tempat yang layak. Jadi Ibu, aku berharap kata-kata tidak pantas sebelumnya, tidak lagi kau katakan kepadanya,” sambung Haruki, yang kali ini mengalihkan matanya pada Ibu.
“Jika Sachi merupakan perempuan yang tidak tahu malu, maka aku yang telah membesarkannya lebih tidak tahu malu!” tuturnya yang dengan seketika membuat mataku memanas, “jangankan manusia! Bahkan nyamuk pun, tidak akan kubiarkan menyakitinya, saat dia berada dalam pengawasanku.”
“Pembicaraan ini telah berakhir! Kalian berdua, ikutlah bersamaku keluar!” perintahnya, sesaat dia beranjak lalu berjalan mendekati penjaga yang berdiri di depan pintu.
Ayah mengangguk, ketika mataku berpapasan dengan matanya. Aku segera beranjak, dan berjalan meninggalkan mereka, menyusul Kakakku yang kian menjauh. “Haru-nii!” panggilku, langkah kakiku bergerak cepat ketika dia berhenti oleh panggilanku tadi.
“Nii-chan,” tuturku gemetar, seraya memeluk dirinya yang berdiri di hadapan, “terima kasih,” sambungku singkat, dengan wajah yang kian terbenam di dada bidangnya.
Aku semakin tidak ingin menjauh, kala usapan lembut kurasakan menyentuh belakang kepala. “Walau kau telah berpindah nama menjadi Bechir. Namun saat aku melihatmu murung oleh perkataan seseorang, masih saja membuatku sulit menahan amarah,” ucapnya sambil terus menepuk-nepuk pelan belakang kepalaku.
“Ayah tadi hanya ingin mengajak kalian berbicara. Dia sebenarnya telah menyetujui pembatalan pernikahan, saat aku mencoba berdiskusi padanya sore tadi. Jangan terlalu dipikirkan perkataan Ibu, karena seperti yang Ayah ucapkan dia hanya masih sedikit kesal oleh apa yang terjadi tempo lalu … Dan itu bukan berarti dia membencimu.”
Tangan Haruki yang sebelumnya membelai kepalaku, kini turun merangkul pundak, “sama sepertimu, aku pun sangatlah ingin keluarga kita bahagia,” sambungnya singkat dengan tepukan beberapa kali yang ia lakukan di pundak kiriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...