Aku terbangun oleh sihir yang tiba-tiba kurasakan. Tubuhku beranjak, setelah pandanganku terjatuh ke arah bayangan yang jalan mendekat. “Ada apa, Ryu?” tuturku sambil mengangkat tangan, menutupi mulut yang menguap lebar.
“Banyak sekali Kesatria di sana yang berniat menghancurkan dinding penjara. Apa kau ingin aku menghabisi mereka semua?” Dia balas bertanya, sesaat langkahnya itu sudah berhenti tepat di hadapanku.
Mataku berpaling, ke arah di mana dia menoleh. “Tidak perlu,” ucapku sambil beranjak tanpa mengalihkan pandangan, “kalau kau mengeluarkan kekuatanmu untuk menghentikan mereka, itu justru akan menarik lebih banyak perhatian,” sambungku yang sudah berhenti tepat di sampingnya.
Kedua mataku sedikit membelalak, dikala sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalaku, “dibanding memikirkan mereka … Bagaimana kalau kau membantuku hal yang lain, Ryu?” tukasku dengan menoleh padanya.
Bibirku tersenyum simpul, ketika dia menoleh … membalas tatapanku itu, “mendekatlah! Aku akan memberitahukanmu rencana yang sangat bagus. Kalau kau bisa melakukannya dengan baik, nasibku yang terjebak di sini mungkin akan sedikit berubah,” ungkapku sambil terus tersenyum dengan menggerakkan jari telunjuk sebagai isyarat agar dia mendekat.
_____________.
Aku berdiri, dengan salah satu kaki menendang-nendang lantai penjara. Aku sama sekali tak bergerak, di depan dinding akar buatan Ryuzaki yang perlahan mulai menyusut … Kembali masuk ke dalam lantai yang sudah hancur. “Aku menunggu kedatanganmu Ryu,” bisikku, sembari berdiri dengan kedua tangan terlipat ke belakang.
______________.
“Kau ingin aku-”
Kepalaku segera mengangguk sebelum Ryuzaki belum sempat menyelesaikan ucapannya, “aku menginginkanmu untuk berpura-pura menjadi Sakura di hadapan Dante.”
Kubuang segera pandangan, disaat matanya hampir tak berkedip menatapku, “Ratu Sialan itu sudah memotong rambutku, sedangkan kau … Kau terlihat mirip sepertiku dengan rambut panjangmu itu. Kalau kau muncul di hadapan Dante, dia pasti mengira bahwa kau adalah aku.”
“Kau kemarin pasti mendengar ucapan perempuan itu, yang mengatakan akan gawat kalau Yang Mulia sampai tahu … Itu berarti, Dante belum tahu bahwa aku dikurung di sini, kan? Kau hanya perlu berpura-pura menjadiku dan mengiring Dante untuk datang ke sini! Kau akan melakukan hal mudah ini untuk kakakmu, kan, adikku?” lanjutku kembali dengan memperlihatkan raut wajah memohon andalanku kepadanya.
“Mungkinkah kau menginginkan aku dicelakai oleh mereka lagi? Karena aku tidak mungkin melawan mereka, disaat Zeki sendiri sedang berusaha untuk datang menjemputku. Kalau saja aku melawan mereka … Sungguh malangnya suamiku itu, karena pengorbanannya justru berakhir sia-sia.”
Bibirku merekahkan senyum dikala suara helaan napas terdengar di sebelahku, “baiklah. Aku akan melakukannya seperti yang kau inginkan … Akan kubawa laki-laki bernama Dante itu ke hadapanmu,” sekilas ucapan yang ia keluarkan, membuat mataku kembali terjatuh kepadanya.
Masih kuperhatikan dia yang telah berjalan menjauh. Lebih tepatnya tengah melangkah ke arah gerbang akar yang sebelumnya ia buat, “berjuanglah!” seruku yang hampir seperti bisikan, disaat gerbang akar tadi hendak menghilang bersamaan bayangan Ryuzaki yang baru saja melewatinya.
_____________.
Aku masih enggan untuk pergi … Salah satu kakiku, terus saja mengetuk lantai tanpa henti. Aku melirik, ke sudut paling kiri mata … memperhatikan sesosok mengenakan jubah hitam tengah berlari melintas. Bibirku tersenyum, saat menangkap wajah Ryuzaki yang sempat menoleh sebelum wujud itu kembali menghilang ketika dia berlari melewati sebuah gerbang dari lilitan akar buatannya sendiri.
Aku bergerak duduk, lalu berbaring dengan posisi menelungkup sesaat suara gemerancang besi terdengar semakin mendekat. “Yang Mulia! Kau tidak boleh berlari tanpa arah seperti ini Yang Mulia!” seruan yang terdengar, membuatku memejamkan mata saat itu juga.
“Sakura! Nona Sakura!” Aku masih menelungkup tanpa melakukan apa pun, walau seruan dari suara laki-laki itu kembali terdengar.
“Yang Mulia!”
“Gil! Apa kau tidak melihatnya? Nona Sakura … Aku baru saja melihatnya berlari ke sini!”
“Yang Mulia, tidak mungkin dia sekarang berada di penjara! Kalau saja dia mengunjungi Paloma, dia pasti sekarang sudah berada di Istana!”
Kubuka sedikit mataku, memperhatikan secara seksama beberapa laki-laki yang tengah beradu argumen di depan jeruji yang mengurungku. Aku berpura-pura batuk, “air! Berikan aku air!” tuturku dengan suara terputus-putus untuk menarik perhatian mereka yang ada di sana.
Kupejamkan kembali mata, lalu kugerakkan kepalaku sedikit miring ke kiri agar mereka yang berdiri di sana bisa melihat wajahku dengan jelas, “air! Air!” sambungku, sedikit meninggikan suara dari sebelumnya.
“Nona Sakura?” cetus suara laki-laki setelah sebelumnya sempat terselip keheningan di sekitar kami.
Mendengar panggilan tersebut, membuatku baru mulai membuka kembali mata … Tapi kali ini kulakukan dengan sangat dan sangat perlahan, seakan seperti seseorang yang tengah kehabisan tenaga. “Nona Sakura? Nona Sakura, apa itu kau?” seru suara itu lagi, setelah mataku itu terjatuh ke arah bayangan seorang laki-laki yang berdiri sambil memegang jeruji menatapku.
“Dante? Itu kau, Dante?” sahutku dengan suara yang sengaja kubuat lemas, lengkap diikuti suara batuk yang menyertainya.
Aku berpura-pura mengiris, berpura-pura seperti seseorang yang tengah menahan rasa sakit yang tiada tara ketika dia memanggil-manggil nama Sakura. “Apa yang kalian lakukan? Cepat buka pintu penjara ini!” bentakan yang ia lakukan, segera mencuat kembali memenuhi tempat ini.
Kupejamkan lagi kedua mataku, sesaat bunyi dari besi bergesekan muncul di permukaan. “Nona Sakura!” seruan itu kembali terdengar, diikuti sebuah tangan yang kurasakan memapah kepalaku.
Mataku lagi-lagi kubuka, dan dengan napas berat, “Dante! Dan … te!” panggilku sedikit tersengal-sengal, sambil berpura-pura mengatur napas kala melakukannya.
“Nona Sakura! Apa yang terjadi? Dan kena-”
“Yang Mulia!” suara laki-laki lainnya, membuat Dante menghentikan perkataannya, “lebih baik kita bawa dia terlebih dahulu keluar dari sini, setelah itu baru kita bisa bertanya kepadanya,” sambung suara itu kembali terdengar.
“Kau benar, Gil! Bantu aku untuk membawanya ke Istana! Lalu panggilkan Tabib untuk mengobatinya!”
“Laksanakan, Yang Mulia,” suara itu kembali menyahuti permintaan Dante.
Suara batuk, dengan sengaja kukeluarkan lagi untuk kesekian kalinya ketika kurasakan sebuah tangan merangkulku lalu mengangkat tubuhku it, “air! Kumohon berikan aku air!” tuturku hampir seperti bisikan, dikala aku merasakan bahwasanya badanku ini telah dibawa pergi oleh laki-laki yang menggendongku itu.
“Nona Sakura, bertahanlah!” cetus suara laki-laki yang sebelumnya berbicara dengan Dante.
“Cari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini dan berikan laporan itu kepadaku secepat mungkin!”
“Baik, Penasihat Gil,” sahutan dari beberapa banyak suara laki-laki menimpali perintah dari laki-laki yang mengendongku itu.
Penasihat Gil? Jadi Gil yang dulunya Kapten, sekarang sudah menjadi Penasihat Raja. Pantas saja, sosok Kapten Paloma sudah digantikan dengan laki-laki sialan itu.
Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Aku harus mencari tahu semuanya sebelum Zeki akhirnya sampai ke sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...