“Ini laki-laki terakhir,” ucap Sabra, setelah dia sudah berdiri di dekatku dan juga Ebe.
Ebe melambaikan tangannya seperti seseorang yang sedang mengusir sesuatu tapi dengan lemah-gemulai. Sesaat Ebe melakukannya, gelombang di pantai menjauhi kami layaknya ditarik untuk kembali ke laut. “Aku sudah membawa mayat-mayat tadi ke tengah lautan, begitu juga dengan darah yang mengalir dari tubuh-tubuh mereka,” tutur Ebe, setelah dia melemparkan tatapan pada kami.
Aku menoleh ke belakang, “sebentar lagi malam. Lebih baik kita segera menemukan Bernice,” ungkapku, sambil menarik napas panjang sebelum berlanjut meninggalkan pantai.
Aku berhenti di tempat sebelumnya. Mataku berpaling, langkahku mulai bersambung lagi disaat Sabra melambaikan tangan untuk meminta kami membuntutinya. “Dia meninggalkan jejak di pohon ini tadi. Kita hanya perlu mengikutinya,” tutur Sabra memimpin kami berjalan.
Kami mengikuti Sabra semakin masuk ke dalam semak-semak yang kian dilewati kian meninggi. “Kalian datang!” Bernice yang berdiri di sana melemparkan tatapan ke arah kami.
Mataku segera berpaling, melirik pada laki-laki yang sudah terbaring dengan tangan dan kaki terikat. Mata laki-laki itu terlihat nanar, penuh ketakutan melihat kami. Saat aku berjalan mendekatinya, bekas tamparan di kedua pipi laki-laki tersebut semakin jelas dilihat. “Apa kau menyiksanya, Bernice?” tanyaku seraya berjongkok di depan laki-laki tadi.
Laki-laki itu seketika gelisah. Dia menggerakkan badannya sekuat mungkin untuk merayap ke belakang, “tenang saja! Kami tidak akan menyakitimu,” ungkapku sembari menyentuh dagunya.
Jari-jariku bergerak, menurunkan kain yang digunakan Bernice untuk menutup mulut laki-laki tersebut. “To….” Belum sempat laki-laki itu berteriak, pijakan kuat Bernice di wajahnya seketika membuat laki-laki di hadapanku itu mengerang kesakitan.
“Jangan bersikap lemah lembut pada mereka!”
“Aku tidak bersikap lemah lembut,” sahutku terhadap cibiran Bernice, “kalau mulutnya terikat, bagaimana aku menanyainya?” sambungku, sebelum menarik bibir ketika Bernice kembali menginjak wajah laki-laki tadi.
“Aku akan membunuhmu kalau kau tidak bisa berhenti berteriak!” ancam Bernice sambil berkali-kali menerjangnya.
“Kau akan membunuhnya sebelum kita sempat bertanya. Apa kau ingin mengabaikan ucapanku, Bernice?”
Lidah Bernice berdecak. Dia mundur setelah kata-kata sebelumnya kuucapkan. “Aku akan membebaskanmu kalau kau bisa diajak berkerja sama,” ungkapku sambil mencengkeram wajah pria di depanku itu.
Aku mengusap darah yang mengalir di ujung bibirnya, “kau hanya perlu menjawab beberapa pertanyaanku, maka kami semua akan membiarkanmu hidup.”
“Apa itu benar?” balasnya, sehingga membuat kepalaku mengangguk untuknya.
“Di mana kami sekarang? Lalu di mana kami bisa bertemu dengan pemimpin di sini? Pertanyaan yang sangat mudah, kan?”
Kupukul hidung pria tersebut, dikala dia menjawab pertanyaanku dengan ludah yang ia buang, “kau benar-benar membuatku kesal,” gerutuku sambil mengusap bekas ludah miliknya yang menempel di wajah.
“Menjijikan sekali,” sambungku, yang kini mulai menarik pedang di pinggang.
Aku berdiri dengan mengangkat pedang di tangan ke atas. Bibirku masih terdiam, menatapi pria tadi yang tak henti-hentinya berteriak meminta pertolongan. Saat dia merayap di tanah untuk menjauhiku … Kakiku ikut bergerak mengikutinya. “kau seharusnya mencuci terlebih dahulu mulutmu sebelum meludah padaku!” geramku, seraya menebas tengkuk laki-laki tadi.
Kutarik pedangku tadi hingga darah mengalir deras keluar, mengiringi jeritan kesakitan darinya. “Kau membuat wajahku dipenuhi oleh ludahmu yang tercium seperti bangkai!” sambungku, dengan menebas lehernya sekali lagi.
Aku beranjak untuk menarik kembali pedang di genggaman, “beraninya kau melakukan ini padaku! Apa kau tidak tahu? Seberapa banyak susu yang aku habiskan setiap kali mandi!”
Kutatap lama pedang milikku itu yang menancap kuat di batok kepala pria tadi. Kakiku bergerak menerjang pria tersebut hingga tubuhnya berbalik, sesaat pedangku di kepalanya kutarik kembali. Pria itu, melemparkan tatapan matanya ke atas, diikuti dengan napasnya yang tak teratur seperti seekor ikan tengah terdampar di daratan.
Kugerakkan pedangku tadi ke atas wajahnya, hingga sisa-sisa darah di pedang menetes … Membasahi wajah laki-laki itu. Dengan kuat, kuhentakkan pedangku tadi sampai merobek mulut pria di bawahku tersebut. “Sachi! Sachi!” Lamunan yang kulakukan seketika terbuyar, sesaat wajahku menoleh pada panggilan sebelumnya.
“Dia sudah tidak bernapas sepertinya. Jangan buang-buang tenagamu!” sambung Ebe dengan tangan yang ia lambaikan.
Aku kembali menatap jasad laki-laki sebelumnya. Kutarik pedangku yang menyangkut di sela-sela mulutnya. Darah tak berhenti mengalir, dari robekan di kedua sisi mulutnya yang terbelah oleh pedang milikku. Aku mengangkat lalu menggoyangkan pedang di tangan hingga darah yang masih menempel, memercik tak tahu arah.
“Jadi seperti ini Ratu Sachi Bechir yang sebenarnya?”
Sindiran dari Bernice, membuat langkah yang hendak mendekati Ebe terhenti, “apa kau pikir aku akan membuang-buang tenaga untuk bersimpati pada seseorang yang tak dikenal? Aku tidak akan melakukannya lagi! Terlebih, orang-orang tidak tahu malu yang telah aku tolong, banyak dari mereka yang justru beralih dengan mengkhianati kami.”
“Membunuh mereka semua lebih baik. Dibanding bersimpati pada orang yang salah, bukan?” Bibirku tersenyum, sebelum melanjutkan langkah meninggalkannya.
Aku terus berjalan meninggalkan mereka, sambil tangan bergerak memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya. “Kita akan meninggalkan mayatnya begitu saja?” suara Ebe menyahut di belakang.“Tentu saja tidak!” balasku menyahut tanpa menoleh, “Ryu, jika kau dapat mendengarku dari salah satu tanaman yang ada di sini. Bantu kami untuk menyingkirkan mayat di sana! Bantu kami juga untuk menyelidiki tempat ini! Lakukan segera, sebelum esok hari datang!” pintaku sambil terus berlalu.
____________.
Aku bersandar di pohon, sambil memperhatikan Bernice dan Sabra yang tengah mengatur nyala dari api unggun agar tak terlalu menarik perhatian di dalam gelapnya malam. Sesekali, mataku akan terjatuh pada Ebe yang sudah terlelap di dekatku. “Kau datang? Apa kau sudah menyelesaikan, apa yang aku pinta, Ryu?” tuturku sambil menoleh pada sosok bayangan di sana.
Sosok bayangan tersebut, bergerak semakin mendekat dan mendekat, “aku sudah melakukannya,” ungkapnya yang bergerak duduk di hadapanku.
“Bagaimana? Apa yang kau ketahui tentang tempat ini?”
“Tidak banyak yang aku ketahui karena malam cepat sekali datangnya. Kau pasti tahu, saat malam orang-orang akan memilih untuk beristirahat-”
“Jadi?” sergahku sebelum dia sempat berbicara lagi.
“Aku hanya mengetahui, bahwa tempat ini dipimpin oleh seorang perempuan. Tempat ini hanyalah sebuah pulau yang terpisah dari daratan mana pun, jadi bisa dikatakan mungkin tempat ini tidak memiliki hubungan dengan Kekaisaran.”
“Apa kau yakin? Maksudku, laki-laki yang sebelumnya kubunuh. Dia bisa memahami kata-kataku dengan baik,” sahutku menimpali ucapannya.
“Aku pun tahu hal itu, tapi ini kesimpulan sementara yang kuambil-”
“Mungkinkah, mereka sama seperti leluhur kami?” Kali ini Bernice menyahut sambil berdiri menatap kami.
“Maksudmu, sama seperti leluhur kalian yang terdampar di pulau asing?” Bernice mengangguk, menanggapi perkataanku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...