Aku melompat turun sesaat Kou mendarat pada hamparan salju di bawah, “kau bisa kembali, Kou!” perintahku sambil mengusap kepalanya yang mendekat.
“Lepaskan tanganku!” hardik Bernice, dikala Bardiani masih bergelayut padanya, “dia tidak akan menelanmu kalau perempuan yang ada di sana tidak memerintahkannya!” sambung Bernice kembali berteriak sambil menunjuk ke arahku.
Aku hanya terdiam, membalas tatapan Bardiani yang masih terlihat sangat ketakutan sejak Kou muncul menjawab panggilanku. “Jangan tarik pedang milikmu, Sabra!” pintaku, kepada Sabra yang hendak menarik pedang ketika beberapa Kesatria berlari mendekat.
Wajahku berpaling pada kesatria-kesatria tadi, yang mengelilingi kami dengan membawa masing-masing sebuah tombak hingga pedang. “Kami ingin bertemu dengan Raja Takaoka Izumi. Katakan kepadanya, Ratu dan adik kesayangannya datang berkunjung!” pintaku pada seorang kesatria di sana.
Kutarik napas yang sangat dalam, tatkala mereka terlihat bingung dengan saling memandang antara satu sama lain, “Panggil Gritav, lalu katakan kepadanya … Hime-sama datang berkunjung!” sambungku, tapi kali ini dengan raut wajah beberapa kesatria yang seketika berubah saat mendengarnya.
“Dia Adikku, menjauhlah darinya!”
Sebuah suara, membuat para kesatria tadi seketika berpaling lalu membungkuk penuh hormat. Sosok Izumi yang terlihat gagah dibalik sebuah mantel berbulu, berjalan semakin mendekati kami dengan beberapa laki-laki di belakangnya termasuk Tsutomu salah satunya.
“Astaga, laki-laki yang ini juga terlihat tampan. Dan mata-”
“Mata? Apanya yang mata? Apa kau ingin kubuat buta?” celetuk Ebe oleh gumaman yang dilakukan Bardiani, “laki-laki tersebut adalah suamiku. Aku akan menarikmu ke dalam lautan kalau sampai kau berani menyentuhnya!” ancam Ebe, yang membuatku ataupun Bernice berusaha kuat untuk menahan tawa.
Izumi berhenti di hadapan Ebe. Ditanggalkannya mantel di tubuhnya itu, lalu ia pasangkan mantel tadi kepada Ebe, “seharusnya kalian memberiku kabar jika ingin berkunjung,” ungkapnya dengan menoleh padaku, ketika dia telah selesai memastikan mantel pada Ebe sudah terpasang baik.
“Kau hanya peduli pada istrimu? Lalu bagaimana denganku?”
“Kau tidak akan mati kedinginan walau salju menimbun tubuhmu,” sahutnya dengan tawa kecil kala lidahku berdecak oleh ucapannya, “Tsutomu, perintahkan pelayan untuk menyiapkan semua keperluan mereka selama di sini!” lanjutnya, yang kali ini melemparkan pandangan pada Tsutomu di belakangnya.
“Kalian semua masuklah! Hangatkan tubuh kalian di dalam!” pintanya sambil merangkul pinggang Ebe lalu berjalan mendahului kami.
Aku sempat menoleh pada Kou, yang membentangkan sayapnya lalu terbang ke atas meninggalkan kami. “Putri, silakan!” kata-kata singkat dari bibir Tsutomu yang sedikit membungkuk, membuat kedua kakiku mulai berjalan mengikuti arah tangannya terangkat.
_____________.
Kutarik napas yang sangat dalam, menatap salju yang kembali turun dari balkon. Kujulurkan tangan kananku itu ke depan, hingga salju yang turun itu segera mencair saat menyentuh telapak tanganku tadi. “Ini sudah larut. Kakak Iparmu saja sudah terlelap, kenapa kau masih di sini sendirian?” Seketika aku menoleh oleh suara laki-laki yang memecah kesunyian.
“Nii-chan juga kenapa ada di sini? Bukannya menemani Ebe, sebelum dia kembali pergi ikut denganku,” sindirku sesaat dia sudah berhenti tepat di dekatku.
“Ada yang harus aku lakukan setelah ini. Aku ke sini, karena tidak sengaja melihatmu berdiri sendirian. Apa terjadi sesuatu?”
Kepalaku segera menggeleng, “tidak terjadi apa pun. Aku mampir ke sini, karena ingin memberitahu dan mengajak Izu-nii agar menyetujui rencanaku. Seperti pembicaraan kita tadi sore.”
“Sore tadi sudah kujelaskan akan menerimanya. Asal kau bisa sedikit menunggu sampai Tao mulai stabil dibawah kekuasanku.”
“Apa kau membutuhkan bantuanku, Izu-nii? Aku bisa membantumu, jika kau ingin,” tuturku menyahuti ucapannya.
“Tidak perlu. Kau hanya harus bersantai saja di sini. Hanya tinggal beberapa hal saja yang harus dilakukan, setelah selesai … Semuanya akan baik-baik saja,” ungkapnya dengan balas menatapku.
“Selamat hari lahir. Aneh sekali rasanya saat kau tidak meminta apa pun, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.”
Wajahku segera berpaling, kala dia tersenyum saat mengucapkannya, “terima kasih, nii-chan. Aku sengaja membebaskan kalian dari memberiku hadiah … Aku takut, jika kalian jatuh miskin karenanya,” ungkapku dengan tawa kecil, agar dia berhenti memandangku dengan tatapan penuh kekhawatiran.
Izumi yang berdiri di samping itu mengeluarkan helaan napas yang cukup kuat didengar, “terlihat jelas sekali. Ada apa? Ceritakan padaku jika kau masih menganggapku sebagai Kakakmu!” tuturnya yang mau tak mau memaksaku untuk beralih menatapnya.
“Aku tidak akan melakukannya walaupun dipaksa. Aku menganggap semua itu telah berakhir, jadi tidak perlu untuk diungkit lagi-”
“Apa ini berhubungan dengan Ibu?” Tebakan darinya, membuat bibirku seketika mengatup, “apa dia, masih suka kesal, karena kau lebih dekat dengan Bibi dibandingkan dengannya?”
“Ebe bercerita, bahwa sebelum ke sini kalian mengunjungi Sora terlebih dahulu. Di sana, kau meminta mereka untuk tiba-tiba pergi. Dia sangatlah khawatir, hingga memaksaku untuk menemuimu secepatnya. Apa yang dikatakannya itu benar?”
“Itu benar, dan aku justru tetap memilih pergi walau aku sadar kalau saat itu mereka sedang ingin merayakan hari kelahiran Sachi dan juga Ryuzaki-"
“Sachi dan juga Ryuzaki?” sergahnya dengan lirikan yang turut ia lempar padaku.
“Pertama kalinya aku bangun ke dunia ini, adalah saat Tsubaru hendak membawaku menyaksikan eksekusi Mari. Aku tidak terlahir sebagai adik kalian, tapi aku hanya mengisi raga kosong yang adik kalian tinggalkan.”
“Aku menganggap Ayah sebagai Ayahku sendiri. Aku menganggap kalian sebagai saudara kandungku, hanya karena kebersamaan yang telah kita habiskan. Namun dengannya, aku merasakan perbedaan. Aku tidak seperti kalian, yang mungkin telah menghabiskan banyak kebersamaan sebelum dia menghilang.”
“Aku menyelamatkannya, bukan karena dia Ibuku. Namun aku menyelamatkannya, hanya karena aku ingin Ayah dan saudara-saudaraku bahagia lalu berhenti menyalahkan diri mereka sendiri. Berbeda dengan Bibi yang selalu ada untukku … Apa aku salah, jika akhirnya aku lebih merasa nyaman dengan Bibi? Lebih terbuka dengan Bibi untuk segala hal?”
“Kata-katamu saat ini sudah terlalu jauh, Sachi!”
Bibirku senyum sejenak memandangnya, “apa sekarang, aku melakukan kesalahan? Apa sekarang, aku juga dipinta untuk memahami kondisi dan perasaan seseorang? Walau sikap dan perkataannya menyakitiku, apa aku tetap harus memaklumi kondisinya?!” tuturku dengan nada tinggi mengucapkannya.
“Jangan membuatku kesal. Pergilah ke kamarmu saat ini juga!”
Kugigit kuat bibir, mendengar perintahnya yang tiba-tiba terucap, “aku berharap, di kehidupan selanjutnya. Aku terlahir menjadi Adik Kandungmu, tapi di dunia yang berbeda dari dunia ini, Izumi.”
“Saat ini pun!” pungkasnya yang membuatku berhenti sejenak, ketika hendak semakin jauh meninggalkannya, “bahkan saat ini pun, kau adalah adikku. Adik, yang selalu ingin aku lindungi.”
“Aku tahu,” sahutku dengan terus menatapnya yang masih membelakangi, “bagiku saat ini, kau pun kakakku. Kakak yang selalu ingin kudukung dan kujaga senyumannya.”
“Terima kasih, dan selamat malam, Onii-chan,” sambungku yang tersenyum, kala dia berbalik menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...