Aku memperkuat ikatan di rambut yang hampir terlepas, sesaat pedang milikku itu telah aku selipkan ke ikat pinggang. “Apa kau masih ingin bersedih, Ebe? Jika iya, kita akan kembali dulu ke laut hingga kau benar-benar telah tenang. Aku tidak ingin, kesedihanmu itu justru menjadikanmu celaka,” tuturku tanpa menoleh padanya di belakang.
“Tidak perlu khawatir. Aku sudah baik-baik saja. Keluargaku masih menunggu kepulanganku … Aku, tidak boleh mati dengan mudah.”
Aku mendongak, lalu menarik napas yang sangat dalam. “Kau terlihat seksi sekali, Bernice! Pakaian putih yang kau kenakan itu, terlihat tembus pandang hingga membuat lilitan kain yang menutupi itumu,” tuturku berhenti sambil menunjuk kain yang melilit di dadanya, “terlihat,” sambungku, sampai membuatnya menunduk, menatapi bajunya yang basah tersebut.
“Jangan terlalu memperlihatkan sifat irimu, wahai dikau ratu berdada rata!” sindir Bernice yang dengan seketika disahuti oleh suara tawa Ebe.
Wajahku tertunduk sambil menatap sepasang gundukan milikku secara bergantian, “sejak memiliki anak, milikku sudah jauh lebih berkembang. Benar, kan, Ebe?” tukasku sambil menoleh padanya.
Ebe mengangguk, menahan sekuat mungkin tawa yang ingin ia keluarkan. Dia terdiam beberapa saat, lalu menarik napas dan mengembuskannya pelan, “terima kasih. Kesedihanku seketika menghilang oleh gurauan kalian,” ungkapnya yang tersenyum menatapku.
Langkahku berhenti diikuti kedua tangan yang menjulur kepadanya, “kau teman sekaligus keluargaku,” tuturku setelah menyambut pelukannya, “saat kau sedih, aku juga akan ikut sedih. Kau tenang saja, aku akan memerintahkan Kou untuk mengawasi mereka. Selama Kou kuat … Mereka juga akan kuat,” ungkapku yang menepuk punggungnya beberapa kali.
Mataku melirik pada Bernice yang mendekat, “walau kita awalnya orang asing, tapi sekarang kalian adalah temanku. Aku pun merasa sulit, kalau diantara kalian ada yang bersedih,” ucapnya sampai membuat Ebe menoleh.
“Bernice!” seru Ebe, sembari melepaskan pelukannya padaku lalu beralih memeluk Bernice, “saat nanti kita kembali lagi menemui kakekku. Aku akan memintanya memberikanmu dan Sabra masing-masing kuda laut. Kalian berdua merupakan teman terbaikku selain Sachi.”
Mataku berpaling, “apa yang kau lakukan Sabra?” tanyaku seraya berjalan ke arahnya.
Aku berjongkok, di samping Sabra yang bersujud sambil menempelkan telinganya ke tanah. Sabra sama sekali tak menjawab, dia hanya merekatkan jari telunjuk ke bibirnya seperti memintaku untuk diam. “Ada yang mendekat,” ucapnya yang akhirnya berbicara.
“Menunggangi kuda?”
Sabra menggeleng sesaat dia sudah beranjak duduk, “berjalan kaki. Ingin menghindar atau maju?” Dia balas bertanya.
Sabra lama menatapku, menunggu jawaban yang akan kuberikan, “aku ingin mengetahui di mana kita sekarang. Tentu saja maju!”
Aku berdiri, diikuti dengan Sabra yang melakukan hal sama, “Bernice, Ebe!” panggilku, “ada yang mendekat. Karena kau dan Sabra lebih kuat dibanding kami, maka bersembunyilah untuk menyergap mereka! Sedang aku dan Ebe, akan menjadi umpan!” perintahku sembari melangkah mendekati mereka berdua.
Lirikan mataku lagi-lagi bergerak mengikuti Sabra yang ternyata telah memanjat hampir setengah dari tinggi salah satu pohon yang mengelilingi kami. “Aku paham. Kalian berdua, berhati-hatilah!” ungkap Bernice sambil gerak menjauh.
“Ebe, berjongkok dan berpura-puralah kelelahan!” Kali ini aku memerintah Ebe sambil menekan pundaknya agar segera melakukan hal itu.
Setelah memastikan hilangnya sosok Bernice dan Sabra. Aku sesegera mungkin meraih dan menggenggam tangan Ebe yang telah memenuhi perintah, “apa yang kau lakukan? Cepatlah! Kita pergi dari sini!” tuturku dengan suara yang tiba-tiba kubuat meninggi.
“Apa sudah mulai?”
Ebe seketika tertunduk, setelah pertanyaannya itu kubalas dengan membesarnya kedua mataku menatapnya, “aku lelah! Kakiku sudah tidak sanggup lagi berjalan!” sahut Ebe dengan suara yang tak kalah tinggi.
Kami berdua terdiam sesaat, dikala gemerasak langkah terdengar mendekat. “Aku sudah tidak kuat lagi berjalan,” rengek Ebe kembali sambil mencuri-curi pandang ke arah belakang tubuhku.
Aku ikut duduk di hadapan Ebe, kutarik pedang milikku itu berserta sarungnya lalu kuletakkan di tengah-tengah kami berdua, “letakkan pedangmu di sini, Ebe! Tutupi pedang dengan tubuh kita! Kalau mereka melihat kita membawa pedang, mereka mungkin tidak akan mendekat,” bisikku kepadanya.
“Apa kau pikir kau saja yang lelah? Aku juga lelah, kau tahu! Aku ingin pulang!” tuturku ikut berpura-pura menangis, sambil menunggu Ebe menarik pedang di pinggangnya.
Aku menepuk mata beberapa kali secara bergantian, “Ibu, aku ingin pulang Ibu,” tangisku yang semakin kupaksakan.
“Ada yang mendekat! Enam laki-laki … Mereka membawa sesuatu seperti tombak,” balas Ebe berbisik, sebelum dia kembali melanjutkan tangisan yang sempat terhenti.
Kami terus berpura-pura menangis. Aku baru beranjak dengan meraih pedang, begitu juga dengan Ebe disaat suara gaduh terdengar. Baru saja aku hendak berbalik sambil menarik pedang … Empat orang laki-laki sudah jatuh bersimbah darah di dekat Bernice. “Aku telah menyisakan salah satu di antara mereka. Sudah kubuat tak sadarkan diri di sana,” ucap Sabra seraya menghunuskan pedang miliknya yang tertancap di leher pria kelima.
Aku bergegas mendekati mereka, “cepat sekali. Apa kau yang melakukannya, Bernice?” tanyaku sembari berjongkok lalu meletakkan telapak tangan ke depan hidung laki-laki yang terkapar.
“Sabra yang melakukannya. Dia yang melakukan ini semua sendiri sebelum aku sempat menarik pedang,” sahut Bernice yang membuatku mengikutinya menatap Sabra.
Sabra berjalan tanpa alas mendekati seorang laki-laki yang terbaring. Dia menarik laki-laki tadi ke dekat kami, sebelum dia kembali pergi meraih pedang yang ia tancapkan ke tanah berserta sepatu miliknya di belakang sebuah pohon. “Kita singkirkan terlebih dahulu mayat-mayat ini! Bernice, sembunyikan dan ikat laki-laki ini agar tak melarikan diri! Ebe, kembalilah ke pantai dan bawa air laut untuk menghilangkan jejak darah! Aku dan Sabra, akan mengurus semua mayat,” ucapku sembari kembali tegak.
“Sabra, kita hilangkan jejak dari mayat-mayat ini terlebih dahulu! Cepatlah! Sebelum ada yang datang lagi,” sambungku yang membungkuk merangkul salah satu mayat ketika Sabra telah berdiri di samping.
Aku menarik mundur mayat tadi … Terus kutarik mayat tersebut ke belakang, hingga kami berhenti, menemui Ebe yang sedang mengumpulkan air di bibir pantai. “Buang saja mereka ke laut! Aku akan memerintahkan Kuro untuk menarik mayat-mayat ini ke dasar laut,” ucapku tersengal sambil terus menatapi Sabra yang semakin mendekat.
“Kalau begitu, aku akan memanggil Aysi untuk membantu Kuro agar ini cepat selesai,” sahut Ebe yang segera aku balas dengan anggukan.
“Ebe, dorong terlebih dahulu mayat-mayat ini ke laut! Kita harus menghilangkan bukti kejahatan agar keberadaan kita tidak terendus,” tuturku sambil mendorong mayat yang sebelumnya aku tarik menggunakan kaki.
“Aku akan menarik sisa mayat yang lain,” sambungku dengan menyelipkan kembali pedang ke pinggang.
“Serahkan saja ini padaku. Aku akan mendorong mereka ke tengah lautan.” Ebe kembali menyahut ketika langkahku mulai menjauhinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasiaSambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...