“Tung-”
Aku seketika menoleh, sesaat hendak merangkak meninggalkan tempat ini, “kenapa?” tanyaku pada perempuan tadi.
“Siapa dia?” balasnya bertanya sambil mencuri lirikan ke Ryuzaki.
“Dia adik laki-lakiku. Wajah kami terlihat mirip, bukan? Bukan hanya pria tampan, tapi aku juga memiliki banyak kenalan pria dengan wajah cantik sepertinya.”
“Tu-tunggu! Lepaskan aku!”
Aku yang saat itu kembali menoleh, segera mengerutkan alis oleh perkataannya, “untuk apa aku melakukannya? Kita tidak memiliki urusan satu sama lain,” tuturku dengan mengabaikannya.
Aku menerima uluran tangan Ryuzaki, ketika aku sendiri telah merangkak dan berhenti di dekatnya. “Adikku, kau datang menjemputku?” ucapku yang tersenyum sambil menepuk-nepuk pelan pipi Ryuzaki.
“Apa kau ke sini karena mendengar perbincangan kami?” bisikku pelan kepadanya.
“Kau berhutang kepadaku,” balasnya berbisik. Bibirnya membalas senyumanku, ketika dia menangkap lirikanku padanya.
“Kalian bertiga, kita pergi sekarang! Tinggalkan saja dia!” pintaku kepada Ebe, Sabra dan Bernice yang masih duduk di dalam.
“Tunggu!” teriakan dari perempuan tadi menghentikan Sabra yang hendak merangkak, “aku akan melakukan apa yang kau pinta. Jadi lepaskan aku terlebih dahulu!” sambungnya kembali padaku.
Aku dan Ryuzaki saling lirik cukup lama, “baiklah. Kalian bawa dia menemui kami di pinggir pantai. Tutupi tubuhnya itu terlebih dahulu dengan kain! Mata dan hidungku masih terlalu suci untuk semua ini,” tuturku sambil merangkul lengan Ryuzaki lalu membawanya pergi menjauh.
“Apa yang kau lakukan pada tempat ini?” tanyaku, sembari tertunduk menatapi kaki kami yang melangkah bersamaan.
“Aku hanya membuat mereka semua tertidur. Walaupun, masih ada beberapa laki-laki yang sama sekali tidak terpengaruh.”
“Seperti para penjaga yang kami kalahkan sebelumnya?”
Kubuang pandangan ke depan, setelah mendapat jawaban dari anggukan yang ia lakukan, “terima kasih, untuk bantuanmu kali ini, Ryu.”
______________.
Aku menoleh ke belakang, memperhatikan sosok mereka berempat yang jalan mendekat. “Wajahmu menjual sekali, Ryu,” tuturku menanggapi tepukan yang sebelumnya ia lakukan di pundak.
“Wajah kita sama. Apa kau melupakannya?” sahut saudara kembarku itu.
“Duduklah!” perintahku sambil menggerakkan jari telunjuk disaat mereka sendiri telah semakin dekat.
Bibirku masih terkatup rapat, ketika perempuan tadi telah ikut duduk dengan Sabra yang menjaga di belakangnya. “Aku ingin kau memberitahukanku, siapa sebenarnya dirimu. Kalau bisa, beritahukan padaku juga, asal-usul pulau ini!” pintaku kepadanya.
“Bandiani, itu namaku,” tuturnya, yang berucap sambil melirik diam-diam Ryuzaki, “aku adalah kepala suku di sini, dan semua laki-laki yang ada di pulau ini adalah suamiku,” sambungnya kembali berbicara.
Kupandang Bernice berserta Ebe yang segera melirik pada Bandiani setelah mendengar ucapannya, “semuanya? Bagaimana dengan perempuan lain yang ada di sini?” tanyaku lagi padanya.
“Mereka hanyalah selir untuk para suamiku. Seperti itulah aturan di sini.”
Kugigit kuat bibirku, berhenti berbicara cukup lama dengan mata yang mengikuti lirikan matanya pada Ryuzaki di sebelahku, “kenapa kau dipilih sebagai pemimpin? Apa karena kau sangatlah kuat dibanding mereka semua yang ada di sini?”
“Apa kau bodoh! Apa aku harus menjawabnya! Sudah aku katakan, akulah perempuan yang terlahir paling cantik di sini,” ungkapnya, yang segera membuat bibirku terlipat.
Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya, “baiklah,” tuturku, sambil menggigit bibir kembali, “lalu, bagaimana dengan pulau ini? Apa pulau ini memiliki asal-usul? Maksudku seperti sebuah legenda-”
“Tidak ada. Kami sudah tinggal di sini selama turun-temurun,” tukasnya, hingga membuatku lagi-lagi terdiam.
Lirikanku beralih pada Ryuzaki yang menepuk pinggang, “baiklah. Kau sudah menjawab semua pertanyaanku, tapi sayangnya … Tidak ada satu pun dari jawabanmu itu memuaskanku. Kau bisa kembali menemui semua suamimu, sedang kami akan segera pergi meninggalkan tempat ini-”
“Kalian boleh pergi, tapi tinggalkan laki-laki di sebelahmu itu di sini!” ucapnya memotong cepat perkataanku.
Aku tersenyum sambil menarik tangan Ryuzaki agar mengikutiku beranjak, “tidak akan! Adikku terlalu baik untuk wanita yang tak puas dengan satu laki-laki sepertimu.”
“Kau!” bentaknya, dia yang hendak beranjak itu segera berhenti oleh pedang milik Sabra di lehernya, “kau mencoba untuk menipuku!” sambungnya kembali meninggikan suara.
“Pergilah terlebih dahulu, Ryu! Lalu buatkan kami jalan menuju Sora!”
“Kau ingin pulang ke Sora?”
Aku mengangguk, “ada yang harus aku diskusikan dengan Haru-nii dan juga Ayah.”
“Baiklah. Selesaikan ini secepatnya! Penduduk yang tertidur, mungkin akan terbangun sebentar lagi.”
Kepalaku mengangguk untuk kedua kalinya. “Aku berkata akan mempertemukanmu dengan seorang laki-laki tampan, bukan berarti aku akan memberikannya kepadamu,” ucapku setelah Ryuzaki telah pergi menjauh.
“Maka bawa aku ke sana! Aku ingin bertemu lebih banyak laki-laki! Laki-laki di sini, tidak ada yang bisa memuaskanku!”
Aku mendongak, lalu menghela napas dengan cukup kuat, “buat dia tak sadarkan diri, Sabra!” perintahku sambil berbalik lalu melangkah pergi.
Aku terus berjalan, mengikuti arah di mana kurasakan sihir milik Ryuzaki berada. Langkahku berhenti, tepat di sampingnya yang telah membelah sebuah pohon untuk menjadi jalan bagi kami nanti. “Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanyaku, ketika lirikan darinya bergeming padaku.
“Apa kau memerlukan bantuanku?”
Alisku mengerut, mendengar apa yang ia ucapkan, “apa yang kau maksudkan? Bantuan? Apa terjadi sesuatu?”
Kepala milik Ryuzaki sedikit bergoyang. Aku dengan segera menoleh ke belakang, mengikuti lirikan matanya yang mulai bergerak. Mataku, seketika membelalak tatkala perempuan bernama Bandiani itu telah muncul di hadapan kami dengan napas yang hampir terputus.
Di belakangnya, menyusul Bernice, Sabra dan Ebe yang terlihat payah setelah berhenti berlari. “Kau tidak akan bisa lari dariku. Tidak ada yang bisa menandingi kecepatanku dalam berlari!” tutur Bandiani sambil melangkah mendekati kami berdua.
Bibirku terbuka, mataku membesar tatkala dia dengan tiba-tiba memeluk Ryuzaki, “sudah kuperintahkan, kalian boleh pergi tapi tinggalkan laki-laki ini!”
Geram dengan apa yang ia lakukan. Tanganku yang sudah mengepal itu, bergerak memukul wajahnya. “Sini kau! Menjauh darinya!” amarahku, sambil melingkarkan lengan di lehernya.
Aku mundur, dengan tangan yang terus mencekik lehernya, sesaat Bardiani masih tidak melepaskan pelukannya pada Ryuzaki. “Beraninya kau menyentuh adikku dengan tubuhmu yang kotor itu!” sambungku, seraya memukul kepalanya beberapa kali ketika dia ikut terjatuh lalu menimpaku.
Aku menarik napas panjang. Kudorong tubuhnya yang menindihku itu hingga dia telungkup dengan aku yang duduk di atas punggungnya. “Aku benci sekali saat perempuan lain menyentuh pasanganku, tapi aku juga sangat benci saat perempuan tak jelas sepertimu menyentuh saudaraku! Jangan membuatku kesal, jika kau tidak ingin aku mencabuti seluruh bulu yang ada di tubuhmu!”
“Atau apa kau ingin nyawamu sekalian kucabut!” amukku, sambil terus memukul kepalanya disaat dia masih tak berhenti menjerit oleh pukulanku.
“Apa yang terjadi di sini? Sachi nee-chan, apa itu kau?” Pukulan yang sebelumnya kulakukan, tiba-tiba berhenti oleh panggilan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...