“Kenapa tidak melanjutkannya saja? Bukankah, kau tipe perempuan yang tidak ingin diatur oleh seorang laki-laki?”
Aku kembali berhenti merangkak, sesaat suara Bernice ikut menyahut, “pastikan kau mengikat kaki dan tangan mereka, Bernice! Aku takut, jika kau justru tertarik dengan bagian tubuh yang lain,” tuturku, hingga membuatnya seketika menoleh.
Aku menarik napas setelah membalik tubuh dari perempuan di depanku yang sebelumnya berbaring menyamping, “kehidupanku sudah terpuaskan dengan hanya seorang laki-laki. Lagi pula, menjadi perempuan yang sulit untuk didapatkan justru membuat banyak laki-laki akan semakin tertarik … Mungkin tidak semuanya, tapi rata-rata memang seperti itu,” ungkapku sambil mengangkat telapak tangan ke arahnya.
Bernice meraih potongan tali yang ia keluarkan dari dalam tas, dipotongnya lagi tali tadi menjadi dua sebelum diberikannya padaku. “Kau hanya mencari alasan, karena sudah dibutakan cinta kepada suamimu,” ucapnya dengan bergerak mengikat kaki laki-laki di depannya.
Aku tertunduk, sambil mengikat tangan perempuan tadi dengan tali pemberian Bernice. “Bagaimana denganmu? Kapan, kau akan mulai untuk mengenal laki-laki? Air terjun ajaib itu sudah menghilang, bukan? Jika kalian ingin memiliki keturunan, maka kalian harus mempertemukan gua yang kalian miliki dengan tombak yang dimiliki oleh para laki-laki.”
“Apa seorang Ratu, pantas mengatakan kata-kata tersebut?”
Aku tersenyum, membalas tatapan sinis yang ia berikan, “bukankah ini kali pertama kau melihat laki-laki seutuhnya? Ini bukan masalah pantas atau tidak pantas, tapi pelajaran dasar seperti ini sangatlah penting untuk diketahui,” ungkapku setelah selesai mengikat tangan perempuan di depanku itu.
“Kerajaan kalian akan musnah jika tidak ada penerus. Kalian akan segera menua, dan anak-anak di Kerajaan kalian juga begitu … Jika tidak ada penerus dan kalian masih menjauhkan diri dari laki-laki, bukankah ini seperti menghancurkan Kerajaan kalian sendiri?” sambungku, sembari lanjut bergerak mendekati kaki dari perempuan di dekatku tersebut.
“Walau cara apa pun yang akan kalian lakukan nanti, misal menculik laki-laki untuk hanya dijadikan sebagai alat penghasil keturunan … Bukankah, kalian tetap memerlukan mereka? Karena itu, aku mengajakmu untuk ikut bersamaku, Bernice. Aku ingin, kau melihat Dunia lebih luas untuk kepentingan Kerajaanmu sendiri kelak,” lanjutku seraya merapatkan kedua kaki perempuan tadi, dan mulai mengikatnya.
“Tidak semua laki-laki itu buruk. Mereka sama seperti kita, ada yang baik dan ada yang tidak. Nenek, mengajarkan kata-kata tersebut padaku,” ucap Sabra yang kali ini ikut menyahut.
“Aku tidak menyangka, jika kata-kata tersebut keluar dari bibirmu, Sabra. Apa kau sudah menemukan laki-laki yang baik?”
Sabra menoleh lalu tersenyum. Senyum yang terlihat begitu berharga, karena jarang sekali ia melakukannya, “aku tidak ingin menjawabnya,” tuturnya, yang dengan cepat membuatku dan Bernice saling lirik.
_____________.
Aku memercik air ke wajah perempuan tadi. Air yang juga kami temukan di dalam tempat ini, setelah mereka bertiga telah menggelindingkan … Membariskan beberapa laki-laki sebelumnya ke sudut ruangan. “Akhirnya kau sadar,” tuturku, yang segera disambut oleh tatapan dari perempuan tadi.
Lirikanku bergerak ke ujung mata, tatkala dia yang terkejut dengan kehadiran kami … Berusaha untuk berontak, dari ikatan di mulut, tangan dan kakinya. “Kami tidak akan menyakitimu,” sambungku, sambil duduk di sampingnya.
“Apa kau pemimpin di sini? Apa semua laki-laki di sana adalah pasanganmu?” Perempuan di dekatku itu, sontak menoleh mengikuti telunjuk yang kuarahkan ke beberapa laki-laki sebelumnya.
Aku mengusap salah satu mata, dikala perempuan di hadapanku itu memberontak … Mencoba untuk melepaskan dirinya. “Aku akan melepaskan ikatan di mulutmu, jika kau dapat berjanji untuk tidak berteriak,” ucapku dengan meletakkan telunjuk di bibirnya.
“Jika kau berteriak, maka di tempat ini, di pulau ini hanya akan menyisakan dirimu seorang. Kami, bisa masuk ke sini dan mengikat kalian semua … Itu berarti, bahwa penjaga di luar sudah berhasil kami kalahkan, bukan?” tukasku dengan sedikit bualan padanya.
Jariku bergerak perlahan, menurunkan kain yang menutup bibirnya. Mataku tak berpaling, dari menatap mata perempuan di depanku yang terlihat sembab itu. “Apa yang ingin kalian lakukan di sini?” tanyanya, penuh gemetar mengucapkannya.
“Kau mengerti bahasa kami? Aku pikir, kalian menggunakan bahasa yang tidak kami mengerti.”
Aku menghela napas, karena perempuan di hadapanku itu sama sekali tak menanggapi. “Aku berkeliling dunia, karena berniat untuk mengumpulkan banyak sekali laki-laki ... yang akan aku gunakan untuk melayaniku di kerajaan. Abaikan saja mereka bertiga! Mereka adalah pengikut setiaku!” tuturku yang tiba-tiba memutar topik pembicaraan, dikala lirikan matanya terjatuh pada mereka bertiga.
“Aku mendengar, bahwasanya di sini terdapat pemimpin yang telah terlebih dahulu melakukan hal tersebut dibandingkan aku … Jadi, yang ingin aku pertanyakan hanyalah, seperti apa rasanya memiliki banyak suami?” tanyaku penuh antusias kepadanya.
“Kau, terlalu buruk rupa untuk melakukannya,” sahutnya yang segera disambut oleh tawa kecil dari Bernice di belakang.
Aku melipat bibir, merenung dengan sangat lama untuk mengatakan semua perkataan di dalam kepala, “setidaknya, rapikan terlebih dahulu alismu! Wajahmu terlihat kusam dan tidak sehat, berbanding terbalik dengan perempuan di sana yang menertawakanku. Napasmu saat berbicara tercium seperti bangkai.”
“Sebenarnya aku tidak ingin mengucapkan ini, tapi bibirku tanpa sadar mengatakannya walau aku sendiri sudah pernah berada di posisi yang sama sepertimu. Singkatnya dari semua perkataanku, berkacalah dan lihat dirimu sendiri! Kau bahkan tidak lebih cantik dari hewan-hewan yang pernah kupelihara.” Bibirku tersenyum, ketika dia yang ada di hadapanku itu menunjukkan wajah merah penuh amarah.
“Aku pemimpin di sini! Tidak ada yang lebih cantik dibandingkan aku-”
“Memang benar. Namun itu, sebelum kami berempat datang ke sini,” sergahku yang semakin membuat wajahnya merah padam terkena bias-bias cahaya yang perlahan masuk.
“Bagaimana kalau kita bertukar keuntungan? Aku akan membawamu untuk menemui banyak laki-laki tampan yang tingkat ketampanannya jauh … Sangat jauh dibanding mereka yang ada di sana. Tugasmu, hanya memberitahuku apa yang harus dilakukan ketika berniat untuk membuat Harem!” tuturku yang tak berhenti untuk terus memancingnya.
“Jauh lebih tampan?” Kepalaku mengangguk untuk pertanyaannya.
“Selain tampan, tubuh mereka pun sangatlah kekar. Mereka pandai bertarung … Kau tidak akan kecewa,” ungkapku seraya membuang senyum padanya, “Sachi Berchir, itu namaku. Kita bisa mulai berteman sejak saat ini. Bagaimana? Apa kau tertarik?”
Dia seketika tersenyum penuh ejek memandangku, “apa kau pikir, aku akan percaya! Apa kau pikir aku akan memercayai seseorang yang menyera-”
“Sachi!”
Perempuan di depanku seketika berhenti bicara. Dia melongo, yang membuatku dengan segera menoleh ke arah yang sama. “Ryu? Apa yang kau lakukan di sini?”
“Jika urusanmu di sini telah selesai. Lebih baik kita pergi saja.”
Aku segera melipat bibir, dengan lirikan yang terjatuh pada perempuan tadi, “baiklah, adikku. Lagi pula, dia tidak percaya dengan tawaranku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...