Chapter DCCCXXVIII

1K 352 38
                                    

Aku menoleh ke arah semak yang tumbuh di samping. Lama kutatap beberapa buah stroberi yang terselip di antara beberapa daun, sebelum kupetik salah satu di antara mereka lalu memakannya. "Bagaimana keadaan di sana, Lux?" gumamku sambil meraih stroberi lainnya.

"Kami telah meninggalkan Yadgar dengan banyak sekali pasukan. Anak-anakmu, dibawa Ryuzaki ke Dunia Elf bersama para Leshy yang menjaga mereka, sedang Tsubaru sendiri tetap di Yadgar ... Menjaga semuanya bersama Kei," sahut Lux, dengan suara yang mengitari isi kepalaku.

"Dan Zeki sendiri, bagaimana keadaannya?" Aku kembali bertanya, sembari mulut terus mengunyah stroberi yang dipetik.

"Dia tidak banyak berbicara semenjak kembali dari menemuimu tempo lalu. Aku hanya merasakan perasaan gelap yang muncul darinya ... Kemarahan, perasaan ingin membunuh orang-orang di sekitarnya, begitulah yang aku rasakan saat mendekatinya tadi."

"Apa kau berada di dekatnya saat ini?" tanyaku untuk kesekian kalinya.

"Aku sekarang sedang terbang, mengawasi mereka dari kejauhan seperti perintahmu."

Wajahku mendongak setelah mendengar jawabannya, "apa kau bisa mendekatinya, Lux? Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadanya," tuturku yang tak berpaling dari langit-langit penjara.

"Baiklah. Aku akan mencobanya."

Aku kembali menunduk, sesaat keheningan lagi-lagi menemuiku. "Zeki, Sachi ingin menyampaikan sesuatu kepadamu," suara Lux tiba-tiba terdengar, setelah dia cukup lama tidak bersuara.

"Apa yang ingin kau sampaikan, Sachi?" Lagi-lagi, suaranya terdengar di dalam kepalaku.

"Jangan menjemputku kalau kau masih dipenuhi amarah," ucapku yang berhenti sesaat sambil mendengar Lux yang mengulangi perkataanku, "aku tidak ingin, saat amarah memenuhi tubuhmu, kau akan kesulitan berpikir jernih dan justru mengundangmu dalam bahaya."

"Aku masih di sini karena ingin menunggumu menuntaskan sumpah. Dan kalau kau akhirnya terluka hanya karena ingin menyelamatkanku ... Aku lebih baik tidak muncul di hadapanmu lagi."

"Zeki, aku sangatlah mempercayaimu. Saat aku terpuruk kemarin oleh sesuatu yang belum sempat kuceritakan ... Cincin berserta surat kecil yang kau berikan, dengan cepat membuatku melupakan semua itu. Aku tidak bisa hidup tanpamu, jadi tolong pastikan ... Kau akan menjemputku tanpa terluka," sambungku yang terdiam kembali sambil mendengarkan sahutan Lux yang mengulangi setiap kata dari bibirku.

"Aku mengerti." Lux bersuara lagi setelah beberapa saat menghening, "aku akan menjaga diriku. Jangan terlalu mengkhawatirkan keadaanku, disaat aku sendiri tidak bisa berhenti mengkhawatirkanmu."

"Jangan pula berucap omong kosong, dengan kata-kata bahwa kau tidak ingin muncul di hadapanku lagi! Jika kali ini aku kehilanganmu, maka aku akan membunuh diriku sendiri untuk menyusulmu. Aku tidak peduli dengan anak-anak, karena akan banyak sekali orang yang mengulurkan tangan untuk menjaga mereka."

"Aku hanya peduli padamu! Jadi jika kau ingin anak-anak merasakan kasih sayang orangtuanya ... Jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku! Aku tidak ingin hidup di dunia yang tidak ada kau di sampingku. Tidak lagi! Aku tidak ingin lagi merasakannya!"

Aku menggigit kuat bibir, setelah mendengar kata-kata yang baru saja Lux ucapkan, "aku akan menunggumu, dan selalu akan menunggumu."

"Tunggulah aku di sana!" suara Lux lagi-lagi menimpali ucapanku, "aku akan segera sampai di sana untuk menjemputmu, jadi tunggulah aku! Tolong untuk jaga dirimu baik-baik di sana! Aku sungguh-sungguh akan kehilangan akal, kalau sampai kulihat kau terluka seperti sebelumnya."

"Aku mengerti! Aku tidak akan membiarkan mereka melukaiku kali ini." jawabku lemah, sambil memperlihatkan senyum tipis yang sebelumnya sempat kusembunyikan.

"Aku mencintaimu."

Kepalaku mengangguk oleh kata-kata singkat yang Lux ucapkan, "aku pun, sangatlah mencintaimu," tuturku, dengan lagi-lagi tersenyum sebelum beranjak.

Aku berjalan mendekati akar-akar berduri yang Ryuzaki tumbuhkan menjadi dinding untuk melindungiku dari ancaman orang-orang di luar jeruji. Bibirku terdiam dengan masih berdiri di depan akar tadi, "jika kalian tidak bisa menyingkirkan benda ini, Ratu akan menghukum kalian semua!" Sepintas kata yang terdengar dari balik akar-akar tersebut.

"Bagaimana bisa akar-akar ini tumbuh di sini? Bagaimana kalian bisa tidak menyadarinya!" suara perempuan itu kembali mencuat.

"Singkirkan semuanya! Singkirkan sebelum Yang Mulia mengetahui hal ini!" bentak suara perempuan itu lagi, diikuti samar-sama bunyi langkah kaki yang terdengar semakin menjauh.

"Coba saja kalau kalian bisa menghancurkannya," gumamku dengan berbalik membelakangi dinding dari akar buatan Ryuzaki, "aku ingin sekali makan daging saat ini. Memakan buah dalam beberapa hari ini, membuatku bosan," lanjutku berbisik sambil kembali duduk mendekati tumbuhan stroberi di sudut ruang penjara.

___________.

"Mereka sekarang sudah sampai di pelabuhan. Mereka tengah bersiap memindahkan semua peralatan perang ke dalam kapal."

"Kalian mengambil jalur laut?" tanyaku, menanggapi Lux yang tiba-tiba bersuara.

"Jalur laut merupakan jalur tercepat kalau ingin ke sana. Kabar tentang penculikanmu telah sampai ke Metin ... Armada perangmu bertambah dengan Aydin dan pasukannya yang ikut bergabung," tutur Lux, dengan nada gembira di dalam ucapannya itu.

Aku menoleh ke arah pohon jeruk yang hari ini Ryuzaki tumbuhkan, "kalau Aydin bergabung, akan lebih bagus jika dia menebar ancaman ... Perompak akan menenggelamkan kapal-kapal yang ingin berdagang ke Paloma," ucapku sambil memeting salah satu jeruk yang tumbuh.

Wajahku tertunduk, dengan jari-jemari yang bergerak mengupas jeruk di tangan, "temui Aydin, Lux! Pinta dia untuk membuat ultimatum, seperti yang aku katakan barusan! Aku ingin semua orang tahu ... Seperti apa kekuasaanku hingga dapat membuat para perompak Metin berani melakukan itu semua untukku."

"Apa kau juga ingin kami menyebarkan kabar ini ke Sora, Il, Tao, Balawijaya dan lainnya?"

"Tidak perlu," sahutku setelah memasukkan sepotong jeruk ke dalam mulut, "Para Leshy sekarang hanya harus fokus menjaga anak-anakku saja, terutama Huri ... Mereka tidak perlu menyebarkan kabar itu lagi, karena kabar tersebut akan tersebar dengan sendirinya selama kalian melakukan perjalanan ke sini."

"Jangan lengah, Lux! Kita tidak tahu, bahaya apa yang mungkin menunggu kalian saat ini."

"Aku paham, kau jangan khawatir! Aku akan mengawasi mereka semua dan tidak akan lengah."

Aku menutup pembicaraan dengan lirikan mata yang bergerak ke arah lubang udara di ruangan. Aku sama sekali tak bergerak dari tempatku kini bersandar ... Masih memperhatikan sepasang mata yang terlihat tengah mengawasi ruangan yang menjadi tempatku dipenjara saat ini.

"Kalau akar-akar itu sulit dihancurkan, kita hancurkan saja dinding ini!" seruan singkat itu, mampu membuatku berpaling ke sepasang mata lainnya yang mengintip dari lubang udara.

Aku tersenyum lalu menunduk, menatapi jeruk yang belum habis kumakan, "jika ingin melakukannya, seharusnya lakukan saja tanpa perlu berbicara. Tanah yang kalian pijak, bisa mendengar semuanya," gumamku dengan semakin bersandar sambil memakan sepotong jeruk lainnya.

"Buah apa yang ingin aku makan besok? Sepertinya, aku harus mulai memikirkannya," sambungku bergumam, sembari terus mengunyah sepotong demi sepotong buah jeruk di tangan.

Our Queen : Memento Mori (II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang