Chapter DCCCXVIII

1.1K 339 18
                                    

Kuputar pergelangan tanganku, hingga pedang yang aku pegang itu juga ikut berputar. Aku memegang pedang tersebut menggunakan kedua tangan, sebelum kutanamkan pedang itu ke punggung laki-laki di depanku itu.

Suara napas tertahan, terdengar dari bibir laki-laki tersebut, ketika pedang yang menusuk punggungnya itu kutarik paksa. Aku membungkuk, meraih pedang berlumuran darah miliknya yang sebelum itu hendak ia gunakan untuk menyerangku.

Aku berjalan mendekati Bardiani, yang mengapit satu-satunya laki-laki tersisa di kedua pahanya … Laki-laki yang memegang tangan perempuan sebelumnya, agar perempuan tadi tidak melarikan diri. “Jadi bayangan tadi adalah kau, Bardiani?” tanyaku, sambil menghentikan langkah di dekat mereka.

“Jangan diam sa–”

Perkataan Bardiani terhenti, disaat laki-laki itu berbalik memukul wajahnya. “Jika kau tidak ingin mendapatkan mimpi buruk. Kusarankan untuk memejamkan matamu!” perintahku yang mengangkat pedang salah satu pedang di tangan, sambil memalingkan mata, melirik pada perempuan di sana selain kami.

Langkahku kembali berlanjut, mendekati Bardiani yang masih bergumul dengan laki-laki tadi, sebelum tanganku menancapkan salah satu pedang ke tanah, “ambil pedang ini kalau kalian ingin saling membunuh-”

“Apa kau sudah kehilangan akalmu?!” seru Bardiani yang masih mencoba untuk menahan pukulan laki-laki tersebut.

“Tentu saja ti–”

Ucapanku seketika berhenti oleh suara yang tiba-tiba terdengar dari belakang. Firasatku sudah mulai berubah buruk, disaat laki-laki yang menyerang Bardiani itu tiba-tiba tersenyum ketika menoleh ke arahku. “Apa yang terjadi di sini?” ucapan seorang laki-laki, menyahuti arah belakangku.

Kugerakkan wajahku, menoleh ke arah yang dimaksud. Aku beranjak, sambi terus menatapi belasan laki-laki yang berjalan mendekat. Salah satu di antara laki-laki tersebut, terdapat laki-laki sebelumnya yang pergi menjauh sebelumnya. “Apa yang kalian lakukan di wilayah kekuasaanku?” tanya salah seorang laki-laki yang berdiri membelakangi pria lainnya.

“Wilayah kekuasaan? Maafkan kami kalau seperti itu, kami hanya terse–”

Lagi-lagi ucapanku berhenti, oleh benda tajam yang kurasakan menyentuh punggungku. Aku melirik, lalu menangkap sosok perempuan sebelumnya yang ternyata telah berdiri tepat di belakangku. “Jadi, kau salah satu dari mereka? Bukan korban dari kejahatan mereka?” gumamku yang masih melirik perempuan tadi, ketika aku merasakan sesuatu yang tajam itu kian menusuk punggung.

“Kami memang mengintai kalian sejak semalam,” balas perempuan itu dengan berbisik di telingaku.

“Bardiani, apa kau masih hidup?”

Aku menoleh lalu membuang napas dengan sangat kencang, ketika laki-laki yang bergumul dengannya itu, berhasil membuatnya tak berkutik dengan kedua tangan Bardiani yang dikunci ke belakang. Aku membuang kedua pedang di tangan ke tanah, lalu mengangkat tanganku tadi sesaat pria dengan tubuh paling tegap berjalan ke arahku.

“My Lord!”

Tunggulah sebentar lagi, Kou! Kalau aku terluka olehnya, hanya sembuhkan saja lukaku itu!

“Carlos! Carlos dibunuh olehnya!” tukas perempuan di belakangku itu, sambil menunjuk pada laki-laki sebelumnya yang bertarung denganku.

Aku masih terdiam, walau deru napas dari perempuan di belakangku itu terdengar menganggu! Napas perempuan itu tersengal, layaknya seseorang yang sedang diselimuti hasrat tinggi kala laki-laki itu kian berjalan semakin mendekati kami. Laki-laki tersebut berhenti dengan mengangkat tangan kanannya — Bugh! Sekilas suara itu kudengar, sebelum pandanganku berubah gelap sepenuhnya.

_________.

Kedua mataku terbuka, dikala aku merasa terusik oleh sesuatu yang selalu bergerak di belakangku. “Bangunlah! Bangunlah!” Kali ini, aku membuka mata sepenuhnya, ketika suara Bardiani tak berhenti terdengar.

Aku ikut menggerakkan tubuh, saat tersadar bahwa tubuhku itu telah diikat dengan sangat kencang. Aku menghela napas lalu bersandar pada Bardiani yang ikut diikat bersamaku, “apa kau tak sadarkan diri juga?” tanyaku, sambil melirik pada kumpulan laki-laki di sana.

“Aku justru sadar saat mereka mengikatku.”

Kugigit kuat bibir, sesaat mendengar jawabannya, “seharusnya aku biarkan saja kau terbunuh oleh mereka–”

“Kenapa kau mengucapkan kata-kata itu?” sahutnya membalas gerutuan yang kulakukan.

“Diamlah! Kalau tidak, bukan mereka yang akan membunuhmu, tapi aku sendiri yang akan melakuka–”

Ucapanku berhenti. Kulipat bibirku ke dalam, disaat jempolku itu merasakan ada yang kurang ketika menyentuh jari-jemari yang lain. “Apa mereka yang mengambil cincinku?” gumamku sambil melirik kembali pada mereka.

“Cincin? Mungkin perempuan yang di sana mengambilnya. Saat kau tak sadarkan diri, dia seperti memeriksa tubuhmu.”

Mendengar perkataan Bardiani, membuatku lagi-lagi menoleh pada mereka. Terutama pada perempuan itu, yang saat ini sedang gelayutan di lengan laki-laki yang sebelumnya membuatku sampai tak sadarkan diri. Rasa kesalku semakin memuncak, saat aku juga tersadar bahwa kalung pemberian Zeki ikut menghilang.

Mataku sama sekali tak berkedip, membalas tatapan laki-laki itu yang menoleh dari tempatnya duduk. Laki-laki tersebut beranjak, meninggalkan rombongannya. Kedua mataku, sama sekali tak berpaling walau dia berjalan semakin mendekati kami berdua.

“Walau dia tidak terlalu tampan, tapi lihat tubuhnya!” Aku memejamkan mata, berusaha untuk menekan amarah oleh bisikan Bardiani barusan.

Laki-laki itu menunduk, menatapi kami berdua yang terikat tak bisa bergerak. Dia berjongkok sambil memandangku dan juga Bardiani secara bergantian. “Kau, perempuan kecil yang dulu memimpin perang di Paloma, kan?” Aku seketika tertegun, mendengar perkataan yang keluar dari bibirnya.

“Perbudakan perempuan di Paloma menghilang, itu berkatmu juga, kan?”

“Rambut cokelat bergelombang. Mata hijau yang terlihat sama, seperti mata hijau yang mengancam penduduk Paloma beberapa tahun yang lalu,” tuturnya sekali lagi dengan senyum menyeringai yang ia perlihatkan.

Kukunci betul bibirku, agar tidak menyahuti satu pun pertanyaan yang ia lontarkan. Aku hanya balas menatapnya, dengan tidak berniat menjawab setiap perkataan itu.

Kucubit dengan kuat pergelangan tangan Bardiani sesaat dia sudah mulai gusar ketika laki-laki itu mengeluarkan sebuah pisau dari balik punggungnya. “Kau ingin membunuh kami?” tanyaku, sambil menyipitkan mata tatkala dia hanya tersenyum mendengarnya.

Mataku kembali berpaling padanya, ketika dia memotong tali yang mengikat kami. Kedua tanganku bergerak ke depan, sesaat laki-laki itu kembali berdiri. Aku menunduk, menatap kedua pergelangan tangan yang memerah, “apa maksudmu melakukan ini?” tanyaku disaat mengalihkan lagi tatapan padanya.

Dia berbalik, meninggalkan kami tanpa menjawab pertanyaanku itu. Dari kejauhan, aku pun bisa melihat bagaimana perempuan sebelumnya terlihat melotot ke arah kami. “Apa dia membebaskan kita? Ini kesempatan kita untuk melarikan diri!” tutur Bardiani yang membuatku teralihkan dari perempuan tadi.

Aku beranjak, sambil membersihkan pakaian dan tangan dari kotoran dan juga debu, “cincin dan kalungku ada pada perempuan itu. Jika harus pergi, setidaknya aku harus membawa kedua benda itu … Lagi pula, bukankah tumpukan tas di dekat mereka, merupakan milik kita.”

“Kau lebih mementingkan benda-benda itu dibanding nyawamu sendiri?” tukas Bardiani, ketika langkahku mulai berjalan ke arah gerombolan itu.

“Di dalam tas itu, ada benda yang sangat berharga. Begitu juga dengan cincin dan kalung yang mereka ambil … Itu pun, sama berharganya untukku.”

Our Queen : Memento Mori (II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang