“Nee-chan! Sachi nee-chan!”
Aku segera melipat bibir lalu menurunkan telapak tangan yang menutupinya, “aku justru tambah bingung karena nee-chan hanya senyum-senyum tanpa alasan seperti itu!” lanjutnya meninggikan suara hingga memenuhi seisi perpustakaan.
Semakin kulipat bibirku ke dalam, berusaha untuk menahan senyum di hadapannya. “Maaf, maaf,” tuturku sambil menarik napas panjang lalu mengembuskannya, “pertama-tama aku ingin bertanya, apa seseorang yang dimaksud itu adalah perempuan?” Kugigit kuat bibir, tatkala dia memalingkan wajah mendengar perkataanku.
“Siapa? Siapa perempuan itu?” sambungku bertanya dengan pandangan yang kubuang ke samping.
“Jika kau tidak bisa jujur, bagaimana aku akan menolongmu.”
Mataku melirik padanya, dikala helaan napas pelan terdengar di telinga. “Aku sejak kecil, selalu kagum denganmu, nee-chan. Saat kita melakukan perjalanan pun, perempuan yang aku lihat selalu sama … Mereka yang lemah, membuatku memandang rendah mereka. Namun….”
“Namun?” sahutku kepadanya yang tiba-tiba terdiam.
“Saat aku dulu ditugaskan untuk membuat jebakan di hutan. Aku, tidak sengaja, melihatnya sedang melatih pasukan. Aku hampir tak berkedip, olehnya yang saat itu mengalahkan semua laki-laki itu seorang diri.”
“Jebakan? Hutan? Pasukan? Melatih? Jangan-jangan, perempuan yang dimaksudkan itu adalah Sabra?”
“Dari sekian banyak perempuan, kenapa Sabra?” tuturku sambil membaringkan kepala ke meja. Kulirik kembali dia, yang seketika menunduk oleh ucapanku, “Sabra memang baik, sangat baik malah. Namun yang ada di dalam kepalanya, hanyalah cara untuk menjatuhkan musuh. Saat aku yang telah menikah ini, kadang kala lupa diri dengan melirik pria tampan, dia justru tidak bereaksi apa-apa.”
“Perbedaan usia kalian juga sedikit jauh. Aku khawatir, jika dia menganggapmu tidak lebih seperti halnya anak kecil yang harus dilindungi!” Aku berusaha sekuat mungkin menahan tawa, akibat wajahnya yang tiba-tiba berubah suram.
“Tapi,” ungkapku sambil beranjak menatapinya, “jika kau memang suka kepadanya. Jika kau memang tertarik kepadanya. Kakakmu ini akan menolongmu! Kita buat, Sabra yang tidak mengenal cinta itu jatuh hati kepadamu-”
“Jatuh hati? Apa yang aku rasakan sekarang, sama seperti yang Sachi nee-chan rasakan kepada kak Zeki?”
Aku tersenyum dengan mengusap kepalanya, “kau memanglah salah satu keluarga Takaoka, tidak diragukan lagi. Tenang saja, kakakmu yang telah berpengalaman ini akan membantumu. Namun sekarang beristirahatlah! Kau terlihat sangat lelah malam ini,” ungkapku, sambil meraih dan menarik tangannya untuk mengikuti.
______________.
“Apa Sabra membuatmu kesal? Kenapa dari semalam kau memperhatikannya tanpa henti!”
Aku segera menoleh, pada Bernice yang bergumam di samping, “aku tidak melakukan seperti yang kau tuduhkan itu,” tuturku menyahutnya.
“Sachi, apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu kesal?”
Wajahku seketika berpaling lalu menggeleng kuat, menanggapi ucapannya, “aku hanya ingin mengajak kalian berbicara sesama perempuan. Jadi mendekatlah ke sini!” pintaku sambil melambai agar mereka segera mendekat.
Aku meraih bantal lalu meletakkannya ke atas paha. Kupandangi, Ebe, Sabra, Bernice dan bahkan Bardiani yang telah duduk di ranjang menjawab panggilanku tadi. “Ebe, apa yang kau lihat dari kakakku Izumi, hingga kau bisa jatuh cinta padanya?”
“Kenapa, mendadak kau-”
Ebe seketika terdiam, dikala kedua mataku melotot membalas tatapannya, “dia bertanggung jawab, dia bahkan tanpa segan menolongku walau saat itu kami baru pertama kali bertemu. Kakakmu juga tampan, terlebih bola matanya yang terlihat indah seperti mutiara.”
“Lalu, Bardiani! Apa yang kau lihat dari seorang laki-laki?”
“Apa aku juga harus menjawabnya?”
“Apa aku harus memperlakukanku secara istimewa? Aku tidak ingin mengulang perkataanku untuk kedua kalinya!” sahutku yang membuatnya memalingkan wajah.
“Aku hanya menerima laki-laki tampan. Laki-laki yang bisa memberikanku kepuasan dalam hal apa saja.”
“Baiklah,” ucapku menimpali kata-katanya, “kau sendiri Bernice, seperti apa pasangan idamanmu?”
“Apa kepalamu baik-baik saja?”
Aku mengangguk, “kepalaku baik-baik saja. Cepat beritahukan aku, seperti apa pasangan idamanmu?”
“Aku tidak tahu!” jawabnya ketus padaku, “aku mungkin akan menuruti saranmu yang menculik laki-laki lalu membebaskannya kembali setelah kami berhasil hamil.”
Kugigit bibir sendiri, sebelum mataku tertuju pada Sabra yang terlihat merenung, “sekarang giliranmu, Sabra! Aku ingin mendengar jawabanmu,” ucapku berusaha memancingnya.
“Aku seorang kesatria. Di suku kami, kesatria dilarang untuk menikah. Semua orang boleh menikah, hanya mereka yang bertopeng serigala dilarang untuk melakukannya. Jadi aku, tidak bisa menjawab pertanyaanmu.”
“Kalian dilarang untuk saling berhubungan? Bagaimana kalian bisa menyia-nyiakan hidup dengan tidak merasakan kenikmatan itu?” sahut Bardiani yang seketika membuat kami serempak menoleh padanya.
“Ini karena kalian membahasnya, aku jadi ingin sekali mencari pejantan sekarang!” sambungnya dengan salah satu tangan meraba pipinya sendiri.
“Jangan samakan ini dengan tempat tinggalmu dulu! Kau tidak bisa melakukan hal itu, perempuan di dunia ini tidak sebebas di tempatmu!” sergah Ebe berusaha untuk menyadarkannya.
Bardiani tertunduk, “aku benar-benar tersiksa. Sudah lama sekali rasanya, tidak ada laki-laki yang menyen-”
Ucapannya seketika terhenti oleh bantal yang kupukulkan langsung ke wajahnya, “satu minggu saja belum sampai. Hentikan omonganmu yang sangat menjijikan itu, jika kau tidak ingin mulutmu kurobek menjadi dua!” ancamku hingga membuatnya terdiam, dengan tangan mengusap mata.
“Lalu Sabra, aku sangatlah penasaran … Bagaimana jika salah seorang kesatria ada yang menikah? Apa mereka akan dihukum karena melakukannya?” tuturku, yang kali ini segera berpaling lagi pada Sabra.
“Mereka akan dihukum sampai mati, karena sudah melanggar tradisi. Lagi pula, para serigala hanya diperboleh memikirkan caranya berburu dan cara melindungi kawanannya. Begitulah, ajaran suku kami yang sangat aku junjung sampai sekarang.”
Apa Eneas akan memiliki kesempatan?
Mereka serempak menoleh padaku, kala helaan napas tiba-tiba keluar dari bibir. Kepalaku menggeleng, ketika mereka satu per satu bertanya tentang keadaanku. “Perbincangan ini berakhir. Kalian bisa beristirahat!” pintaku, sambil membaringkan tubuh ke ranjang.
_____________.
Aku berjalan mendekati Ryuzaki dan Eneas, dengan Ebe, Sabra, Bernice berserta Bardiani yang menyusul di belakang. “Pelayan mengabariku bahwa Ayah dan yang lainnya akan pulang?” tanyaku, ketika aku sendiri telah berdiri di samping mereka.
Eneas yang awalnya menoleh padaku, segera menunduk sesaat Sabra juga ikut berdiri tepat di sampingku. “Mereka mungkin akan sampai sebentar lagi,” sahut Ryuzaki menanggapi pertanyaanku itu.
“Mereka berdua tampan sekali.”
“Jika kau tidak ingin dibunuh olehnya, maka tutup mulutmu!” cetus Bernice menimpali bisikan Bardiani di belakang.
Mataku melirik, mengikuti Ebe yang berjalan mendekati Eneas lalu memegang lengannya, “Eneas, apa kau sedang demam?”
“Demam?” sahut Eneas, balik bertanya pada kakak iparnya itu.
“Wajahmu merah sekali. Lihatlah, Sachi! Merah sekali, kan? Mungkin dia sakit karena salju turun.”
“Nee-chan!” seru Eneas ketika aku sendiri diam tak bersuara memandangi mereka berdua.
Aku sedikit melangkah maju lalu menarik tangan Ebe agar menjauhinya, “dia tidak demam, Ebe. Dia baik-baik saja, mungkin dia hanya terlalu bersemangat,” tuturku, sekuat mungkin menahan tawa kala dia tertunduk dengan tangan menutup wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantastikSambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...