“Di mana semua barang-barang kami dan juga perhiasanku?”
Pertanyaan yang kulemparkan, membuat pria tersebut berbalik, “apa ada perampok yang mengembalikan hasil curiannya?” sahutnya dengan senyum yang menyungging di ujung bibir.
“Bukankah, seharusnya kau mencari kedua temanmu? Mungkin saja, anak buahku sudah membunuh mereka.”
“Mereka tidak akan mati dengan mudah oleh anak buahmu. Mereka berharga tapi barang-barang milikku itu sama berharganya. Jadi, kembalikan! Aku akan menggantinya dengan yang lebih baik,” ucapku membalas perkataannya.
Dia tersenyum sambil melangkah ke arahku, “sangatlah angkuh!” tuturnya, diikuti senyum yang menghilang, beralih oleh raut wajah penuh amarah ketika dia sudah berdiri tepat di depanku.
Kedua mataku terpejam seketika, disaat tangannya menjenggut rambutku. “Seharusnya kau berterima kasih karena sudah kuberikan kebebasan,” bisiknya di telinga.
Mataku terbuka dengan lirikan yang kuarahkan padanya, “kebebasan apa yang kau maksudkan? Apa aku terlihat bebas di matamu saat ini?” Kubuka lebar mataku itu, membalas tatapannya, “kembalikan semua barangku! Ini ancaman kalau kalian tidak ingin mati sia-sia.”
Laki-laki itu tertawa keras, sebelum tarikannya pada rambutku kian menguat, “aku sudah bosan dengannya. Apa Putri yang dulu begitu dikagumi di Paloma, bersedia bermain-main denganku untuk semua barang-barang itu?”
“Bermain-main denganmu?” sambutku dengan tersenyum manis padanya, “boleh saja,” lanjutku kembali, hingga membuatnya menyeringai.
“Kou, perintahkan beberapa Manticore ke sini!” bisikku dengan sangat pelan.
Dia melepaskan cengkeramannya pada rambutku disaat aku hampir tak berkedip mmbalas tatapannya beberapa saat yang lalu. “Aku pernah mendengar kalau kalian meninggalkan Paloma. Melihatmu berada di sini, itu menunjukkan bahwa kau akan mengunjungi tempat itu, kan?”
Kuusap rambutku setelah dia mundur beberapa langkah, “apa ada masalah dengan itu?”
Kepalanya menggeleng, “aku akan mengembalikan semua barang-barang itu, asal kau bisa membawa kami semua untuk masuk ke sana.”
“Apa yang ingin kalian lakukan di sana?” Kembali aku bertanya padanya.
“Membunuh seorang kerabat yang sudah mengeksekusi Ayahku. Raja Dante Edmundo, kau pasti sudah mengenalnya dengan sangat baik,” ucapnya dengan menyilangkan lengan saat memandangku yang masih membeku.
Mataku dan matanya yang saling bertatap, serempak berpaling pada jeritan seorang perempuan. Bibirku tersenyum kecil, sesaat aku menangkap pandangan ke arah salah seekor Manticore, yang tengah mengangkat tubuh seorang pria dengan ekor miliknya. Sedang laki-laki di depanku itu, segera mencabut pedang di pinggangnya, tatkala Manticore lainnya berjalan ke arah kami.
Aku melangkah melewati laki-laki tadi. Kakiku berhenti sejenak, disaat tanganku mengusap leher Manticore tersebut sebelum langkahku berlanjut ke arah perempuan tadi yang masih histeris ketakutan. “Ternyata, kau masih takut untuk mati?” ucapku, dia menoleh dengan gemetar sesaat aku berjongkok di sampingnya.
Tangan kananku menjulur ke arahnya, “hewan-hewan ini milikku. Aku akan membiarkanmu hidup, kalau kau mengembalikan semua barang-barang milikku yang sebelumnya kau ambil. Kembalikan kalung dan cincin yang kau pakai itu!” ancamku, dengan nada suara yang sedikit berubah di akhir kalimat.
Perempuan itu tak mengucapkan apa pun. Dia mengangkat tangannya yang gemetar itu, untuk melepaskan kalung di lehernya. “Aku tidak ingin mati,” ucapnya, ketika dia juga melepaskan cincin di jarinya.
“Benar. Benar, kau memang tidak akan mati,” ungkapku, sambil menatap cincin berserta kalung pemberian Zeki yang sudah kembali ke tanganku, “kau memang tidak akan mati dengan penuh kesakitan. Kau hanya akan langsung mati dalam satu serangan.”
“Lakukan!” perintahku menggunakan bahasa Latin.
Perempuan di depanku itu membelalakkan matanya, ketika Manticore di sampingku sudah berdiri tepat di belakangnya, “beristirahatlah yang tenang!” tuturku menggunakan bahasa kerajaan Paloma, sesaat cakar dari Manticore itu menghancurkan kepala perempuan tadi.
Aku beranjak, sambil terus menatapi kepala perempuan tersebut yang masih diinjak oleh Manticore. “Bardiani! Bantu aku untuk mengumpulkan barang-barang kita!” teriakku sebelum berbalik ke belakang.
“Apa yang kau lakukan di sana?!” Aku membentaknya, disaat mataku melihatnya yang sudah berada di atas salah satu pohon.
“Aku tidak ingin mati oleh hewan-hewan itu!” balasnya berteriak tanpa berniat turun.
“Aku pun tidak sudi memberi makan mereka dengan tubuhmu! Turun dan bantu aku! Jangan membuat emosiku naik di hari yang panas ini!” bentakku lagi kepadanya.
“Paloma sangatlah berbeda dari Paloma yang dulu sebelum kalian tinggalkan!” sahutan suara laki-laki, membuat langkahku yang hendak mendekati tumpukan tas kembali berhenti.
“Kemiskinan terjadi di mana-mana, karena Raja menaikkan pajak setelah menikah dengan seorang putri dari kerajaan besar,” ucap pria itu lagi sambil menoleh ke arahku dengan wajah berlumuran darah.
“Kau, tidak akan memiliki harapan kalau datang ke sana-”
“Hentikan!” perintahku dengan bahasa Latin pada Manticore yang hendak kembali menyerang laki-laki itu.
Aku berjalan mendekati mereka. Mendekati laki-laki tadi yang terlihat sempoyongan oleh luka menganga di pundaknya. “Apa jaminan dari ucapanmu itu?” tanyaku, setelah sudah berhenti tepat di depannya.
“Apa jaminan dariku itu penting?” ucapnya terhenti sambil meneguk ludah, “kenapa tidak mencoba untuk mencari tahu semuanya langsung?” sambungnya, dengan kali ini sedikit terputus-putus saat mengucapkannya.
______________.
“Kenapa kau justru menyelamatkannya?”
“Jawab pertanyaanku!” pintanya, disaat aku hanya diam sambil memeriksa semua isi di dalam tas milik Sabra.
“Aku mengajak kalian ke sini, untuk pergi ke kerajaan yang ia maksudkan. Aku sudah lama meninggalkan tempat itu, dan jika yang dia katakan itu benar … Itu berarti dia akan berguna untuk kita nantinya.”
Aku beranjak setelah menemukan apa yang dicari. Aku berjalan mendekati laki-laki tadi yang sekarat, sudah tak sadarkan diri sambil membawa wadah kecil berisi air mata Uki yang baru saja kuambil dari tas Sabra. “Kalau pun, apa yang ia katakan itu sebuah kebohongan. Aku hanya tinggal membunuhnya saja,” ucapku kembali setelah berjongkok, di samping laki-laki tersebut.
“Buka mulutmu!” pintaku pada laki-laki itu sambil menyentuh kedua ujung bibirnya.
Aku membalas lirikan matanya beberapa saat, sebelum menuangkan setetes air di dalamnya ke dalam mulut laki-laki tersebut. “Sebagai bayaran dari nyawamu yang kuselamatkan. Kau hanya harus menuntun kami selama di Paloma,” ucapku, sesaat sebelum pria di depanku itu dengan tiba-tiba mengerang kesakitan.
Aku beranjak lalu meninggalkan pria tersebut, “bantu aku untuk mencari kedua temanku yang lain! Mereka mungkin sekarang sedang kesusahan mencari keberadaan kami. Tuntun mereka untuk menemuiku!” perintahku sambil menoleh ke arah beberapa Manticore yang beristirahat di bawah pohon.
Tiga dari para Manticore itu beranjak, meninggalkan sebuah tulang yang masih sedikit menyisakan daging. “Kau rawat dia Bardiani! Pastikan tidak ada senjata yang ia sembunyikan di tubuhnya … Sebelum, dia kembali pulih!” Aku kembali memerintah, tapi kali ini kepada Bardiani.
“Kenapa aku?”
“Lalu siapa? Apa aku harus memerintah diriku sendiri?”
“Kau menyukai tubuhnya, kan? Jadi sentuh saja sesuka hatimu!” lanjutku, yang segera berpaling setelah menyahuti ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...