Aku berkali-kali menarik napas lalu mengembuskannya. Kedua mataku yang sebelumnya tertutup, kini terbuka oleh suara gemerasak di belakang. “Ada yang ingin menemuimu!” Wajahku menoleh, pada Bernice yang bersuara.
“Siapa?” tanyaku singkat kepadanya.
“Bardiani,” sahutnya dengan asap putih yang keluar tiap kali dia berbicara dan bernapas, “aku tahu, jika kau mungkin tidak akan mati oleh cuaca dingin. Tapi apa kau tidak bisa mencari tempat yang lebih hangat?” sambungnya menyeletuk padaku.
Aku kembali membuang pandangan. “Suruh dia langsung menemuiku! Aku, sedang tidak ingin pergi ke mana pun sekarang,” ucapku sembari mulai memejamkan mata lagi.
Aku mengabaikan dan tetap memejamkan mata, dikala suara decakan lidah terdengar. Cukup lama mataku terpejam, sebelum akhirnya terbuka untuk kesekian kalinya ketika aku merasakan ada seseorang yang di hadapan. “Bagaimana keadaanmu?” tanyaku, kepada Bardiani yang telah duduk di atas hamparan salju sepertiku.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bardiani segera bersujud, hingga wajahnya terbenam ke dalam salju. “Angkat kepalamu! Aku benar-benar tidak butuh ucapan terima kasih darimu,” tuturku sesaat dia baru saja hendak mengeluarkan suara.
“Setelah kau sudah lebih baik. Kau bisa pergi ke mana pun yang kau inginkan. Tidak ada yang bisa menghalangimu lagi,” tuturku, ketika dia lama menatap.
Aku beranjak, lalu mengulurkan tangan padanya yang masih mengunci bibir. “Kau sudah bebas. Jalanilah kehidupan yang sangat ingin kau jalani,” sambungku, sesaat dia juga telah beranjak karena uluran tanganku tadi.
Aku berbalik, melepaskan genggaman lalu berjalan meninggalkan mereka berdua. Kutarik napas yang dalam … Benar-benar dalam, dikala aku secara tak sengaja berpapasan dengan Ryuzaki dan juga Eneas di lorong. “Sachi, apa terjadi sesuatu?” Langkahku yang baru saja melewati mereka, terhenti oleh panggilan Ryuzaki.
Mataku terus tertuju ke depan tanpa sedikit saja menoleh, “tidak terjadi apa-apa-”
“Jika tidak terjadi apa-apa. Lalu kenapa kau sama sekali ti-”
“Ryu!” sergahku yang berbalik memotong ucapannya, “aku sangat lelah sekarang. Apa aku harus selalu berbicara agar kau tidak perlu khawatir?”
“Bukan it-”
Kata-kata miliknya, tiba-tiba berhenti dikala aku melanjutkan langkah tanpa menggubris mereka berdua. Lidahku berdecak, ketika aku sendiri telah berjalan jauh semakin meninggalkan mereka, “aku tidak ingin berbicara dengannya! Melihat wajahnya saja aku tidak ingin! Mau dia bahagia atau tidak, itu bukan urusanku!”
_____________.
Tanganku bergerak pelan menutup brankas, tempat buku-buku kuno di simpan. Kutarik liontin yang ternyata kunci masuk ke dalam ruangan, pemberian dari Haruki sebelum aku berbalik meninggalkan brankas tadi setelah lama berada di dalamnya.Aku berhenti, sambil mengintip sosok Eneas yang duduk dengan banyak tumpukan buku di hadapannya. Wajahnya terlihat sangat lelah, terlebih saat wajahnya hampir membentur pada buku di tangannya. Aku yang hendak mengabaikannya … Justru mengurungkan niat lalu melangkah mendekatinya.
“Eneas!” panggilku pelan sambil menyentuh pundaknya.
Matanya yang terlihat berat menahan kantuk itu segera menoleh padaku, “kembalilah ke kamarmu! Beristirahatlah di sana!” pintaku sambil meraih buku di tangannya lalu meletakkan buku tadi ke atas tumpukan.
Kepalanya menggeleng dengan tangan kembali mengambil buku yang sebelumnya kuletakkan, “masih banyak yang harus aku pelajari,” tuturnya, dengan kedua jari memijat matanya sendiri.
Kurebut paksa buku di tangannya, “aku ingin sekali mengabaikanmu, apa kau tahu! Tapi aku tidak bisa melakukannya karena kau adikku! Mengistirahatkan tubuhmu bukanlah sebuah kerugian-”
“Bagiku, itu kerugian yang sangat besar. Tidak semua orang, menerima keadaanku yang menjadi salah satu bagian keluarga Takaoka. Aku ingin membuktikan pada mereka, jadi jangan menghalangiku!” tuturnya dengan balas merebut buku di tanganku.
Aku terdiam, menatapnya yang tengah melamun dengan pandangan penuh tanya. Kutarik napas panjang, sebelum aku berjalan lalu memeluknya dari samping, “maaf, karena kakakmu ini baru menyadari apa yang kau rasakan saat ini, Eneas,” ucapku sambil meletakkan salah satu telapak tangan ke kepalanya.
“Menjadi perempuan juga sangat sulit untukku dulu saat ada di sini. Beberapa Kesatria bahkan berani membentakku di depan kakak kita. Aku pun melakukan apa saja agar bisa diakui oleh mereka … Mengeluarkan senyum kepalsuan pun, selalu aku lakukan.”
“Namun, lambat laun semua itu membuatku lelah. Berbohong pada semua orang, bertingkah seakan baik-baik saja membuatku lelah. Aku ingin sekali melarikan diri dari dunia ini … Aku merasa, dunia ini sangatlah tidak adil.”
“Apa kau tahu, Eneas? Miyuki Sakura adalah nama asliku, aku dibawa paksa ke sini oleh Ryu dan Zeki, hingga jiwaku berdiam di dalam diri Takaoka Sachi tanpa kuinginkan. Jika dilihat dari jiwaku … Aku juga bukan bagian dari keluarga ini. Namun, apakah kasih sayangku kepada kalian tidaklah tulus? Apa kasih sayang kalian padaku tidaklah tulus hanya karena kita tidak terlahir dari orangtua yang sama?”
“Ini pertanyaan terakhirku. Aku bersumpah tidak akan menanyakan hal sama nanti kedepannya. Apa kau baik-baik saja, Adikku?” sambungku dengan suara yang sedikit gemetar kali ini.
Eneas meraih dengan mencengkeram lengan bajuku. Wajahnya tertunduk dan terbenam di lengan kiriku, “tolong aku, nee-chan,” ucapnya yang tak kalah gemetar hingga membuat air di mataku tiba-tiba menetes jatuh.
“Aku, tidak ingin menjadi Pangeran, tapi di sisi lain aku tidak ingin kehilangan nama Takaoka karena aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi kecuali kalian. Aku ingin menjalani kehidupan dengan caraku sendiri, tapi aku takut akan kehilangan kalian kalau melakukannya. Aku tidak ingin mengecewakan kalian yang telah memungutku dari jalanan,” sambungnya, dengan tangisan yang akhirnya pecah di rangkulanku.
“Lakukan saja! Pilih kehidupan yang ingin kau jalani! Pilihlah juga pasangan yang memang ingin kau nikahi! Jangan paksakan dirimu, karena kami yang justru merasa bersalah kalau kau melakukannya.”
“Haru-nii, Izu nii-chan, Ryu dan bahkan aku … Kami menolong Sora tanpa mengabaikan kebahagiaan kami sendiri. Kau pun harus melakukannya! Sora bukanlah tanggung jawabmu sendiri, jadi untuk apa kau sampai ingin mengorbankan hidupmu! Kau tidak perlu membalas budi dengan apa yang terjadi dulu, karena sekarang kau adalah adik kami dan bukan anak kecil menyebalkan yang mengarahkan racun pada kami dulu!”
“Eneas,” tuturku sambil mengusap rambutnya, “walau nanti semua orang memalingkan wajahnya darimu. Aku, akan tetap berada di belakangmu, mendukung setiap keputusanmu, karena kau adalah adikku.”
“Nee-chan, maafkan aku. Apa yang aku lakukan, pasti telah menyakitimu.”
Tangan kananku bergerak mengusap kedua matanya yang menatapku, “jika kau menyadarinya, maka jangan lakukan lagi. Aku merawatmu bukan untuk dikendalikan seseorang!”
Kulepaskan rangkulan, lalu mundur mendekati kursi dan mendudukinya. “tenangkan dirimu terlebih dahulu. Setelah itu ceritakan semuanya, semua yang mengganjal di hatimu,” ungkapku sambil menepuk-nepuk pundaknya beberapa kali.
Dia menarik napas, terdiam cukup lama sebelum menoleh menatapku, “nee-chan,” ucapnya terhenti, dia terlihat ragu-ragu untuk mengucapkannya, “saat membuat racun jenis baru, aku selalu merasa bersemangat, tanpa sadar aku selalu memikirkan racun yang aku buat itu dan bahkan jantungku sendiri selalu berdegup kencang kala memikirkannya-”
“Lalu?” sergahku dengan kedua mata menyipit.
“Apakah, maksudku, jika perasaan yang sama kurasakan saat aku tengah berpapasan dengan seseorang. Apa maksudnya itu?”
“Nee-chan?” panggilnya, ketika tanganku segera menutup bibir yang tak berhenti semringah melihat ekspresi polos di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...