Kutatap laki-laki tersebut yang terlihat ragu untuk memakan daging pemberian kami, “kami tidak meracuni daging tersebut. Jadi, kau akan aman kalau memakannya,” ucapku hingga membuatnya menoleh.
“Namamu?” sambungku kembali, memandangnya dengan berpangku dagu.
“Eduardo,” jawabnya singkat padaku.
Wajahku mengangguk, mendengar jawabannya. “Aku Sachi, dan yang ada di sampingku ini Sabra. Sedang mereka berdua yang ada di sana, Bernice dan juga Bardiani.”
“Besok kita akan ke Paloma, dan aku tidak akan memaksamu untuk mengikuti kami ataupun tidak. Masih lama hingga pagi menjelang, jadi jika kau ingin melarikan diri dari kami. Kau masih memiliki banyak kesempatan,” tuturku kembali pada laki-laki itu.
“Namun, jika kau memutuskan untuk mengikuti kami. Kau harus mendengarkan setiap keputusanku, aku tidak ingin mendengar penolakan saat aku sudah memutuskan sesuatu. Kuharap kau mengerti, apa yang kumaksudkan ini,” ungkapku yang kesekian kalinya.
______________.
Aku beranjak sambil menepuk-nepuk leher. Semalaman, aku kesulitan untuk tidur … Suara Bardiani yang tak berhenti untuk berteriak, membuat malam kehilangan ketenangannya. “Apa kau akan membiarkannya seperti itu terus?” tanyaku sambil melirik pada Bardiani yang tak sadarkan diri oleh Bernice.
“Biarkan saja dia! Biarkan dia mati dimakan oleh hewan-hewan yang ada di sini!” seru Bernice, sembari mendorong tubuh Bardiani menggunakan pedang di tangannya.
Tubuh Bardiani yang digantung terbalik pada sebuah pohon tersebut, bergoyang maju-mundur oleh dorongan yang Bernice lakukan. “Dia sungguh-sungguh akan mati kali ini,” ucapku dengan langkah yang bergerak mendekati mereka.
“Bardiani!” panggilku sambil menampar pipinya yang sedikit tersirat lebam kebiruan, “Bardiani!” panggilku sekali lagi, dengan menampar pipinya untuk kesekian kalinya.
Aku bergerak mundur, kala matanya mulai terbuka perlahan. Kedua matanya itu, seketika membelalak disaat tak sengaja berpaling pada Bernice. “Lepaskan aku!” teriaknya, sembari terus berusaha untuk memberontak dari ikatan yang membelenggu.
“Kami akan melanjutkan perjalanan. Aku akan meminta pertolongan pada seseorang untuk melepaskan ikatanmu ini nanti. Setelahnya, pergi ke mana pun tempat yang kau inginkan-”
“Aku akan mati kalau kalian meninggalkanku!” bentakannya, membuat ucpanku tak sempat terselesaikan.
“Maka mati saja saat ini juga!” Aku balas membentak hingga menjadikan bibirnya seketika terkunci, “kau benar-benar tidak tahu malu! Apa kau sadar dengan semua perbuatanmu?!” bentakku kembali padanya.
“Tubuhmu bahkan tidak akan bergerak untuk menolong salah satu dari kami, kalau kami tidak memintanya! Kau bahkan selalu menentang ucapanku, apa kau pikir aku menyukai semua itu?!”
“Jika bukan aku yang menolongmu! Kau mungkin saat ini sudah membusuk di lautan! Apa kau lupa akan semua itu?!”
Dia terdiam, dengan hanya menggigit bibirnya sendiri yang gemetar. “Aku hanya iri, pada kalian yang terlihat sangat mendukung satu sama lain. Aku iri kepadamu … Semua orang begitu mudahnya mendengar setiap perkataanmu. Aku hanya ingin, diterima oleh semua orang sepertimu,” ucapnya setelah menarik napas panjang.
“Tidak akan ada yang bisa menerimamu kalau sikapmu selalu seperti ini! Kau hanya ingin seseorang mengerti perasaanmu, tapi kau sama sekali tidak mengerti perasaan orang-orang di sekitarmu.”
“Maaf … Maafkan aku. Aku menyesal. Aku tidak akan membuat kalian kesal lagi … Tapi kumohon, jangan tinggalkan aku sendiri di sini. Aku takut,” tuturnya yang terdengar kian gemetar.
Aku melirik pada Bernice yang juga terdiam tanpa bersuara, “semuanya tergantung padamu, Bernice!”
“Maafkan aku. Bernice, maafkan aku!”
Aku segera berbalik meninggalkan mereka, sesaat isakan dari Bardiani kembali terdengar. Kuembuskan napas dengan sangat kuat, disaat suara isakan dari Bardiani berhenti dan justru bersambung dengan suara sesuatu benda jatuh yang terdengar kuat di belakang. “Kalau semuanya telah diputuskan. Kita pergi saat ini juga!” perintahku, dengan melangkah mendekati Sabra lalu meraih tas milikku yang ia pegang.
____________.
Kuhentak-hentakkan kaki ke tanah, berharap agar rasa lelah yang menyelimutinya segera menghilang. “Apa itu Paloma?” tanyaku, sambil meneguk ludah basi dikala napas sulit untuk kuatur.
“Benar itu Paloma.” Aku segera menoleh ke samping, ke arah sahutan laki-laki yang terdengar.
Aku menarik napas yang sangat panjang, “lanjutkan langkah kalian!” perintahku sembari melanjutkan langkah yang sempat terhenti.
Aku terus saja berjalan, tanpa mengkhawatirkan apa pun ke arah sebuah benteng besar yang lumayan jauh di sana. Di saar kami hendak semakin mendekati gerbang pada benteng itu … Sepasang tombak, menghadang jalan kami agar berlanjut. “Aku ingin bertemu dengan Raja Dante Edmundo!” tuturku, sambil melirik ke atas benteng, ke arah beberapa pemanah yang mengarahkan anak-anak panah mereka kepada kami.
“Apa yang ingin kalian lakukan di sini?!”
Kutarik napas yang sangat dalam, sesaat kesatria di depanku itu kembali bertanya untuk kedua kalinya, “aku ingin bertemu dengan Raja Dante Edmundo! Hime-sama ingin bertemu dengan Raja Dante Edmundo, apa kau tidak mendengarnya?!” bentakku kepada kesatria itu.
Aku mundur, oleh tarikan yang terasa tiba-tiba. Sesosok bayangan melewati dan membelakangi, menyusul tarikan pada pundakku sebelumnya. Sosok berjubah hitam itu menarik pedang, melayangkan pedang tadi hingga sebuah panah yang hendak mendekat itu berhenti lalu jatuh setelah terbelah menjadi dua. “Apa kau baik-baik saja?” tutur suara Bernice, diikuti sosok berjubah hitam di depan yang sedikit menoleh padaku.
Kepalaku mengangguk, sebelum kuangkat kedua tangan, “kami tidak ingin mencari keributan. Kami utusan dari Sora. Kami diperintahkan, untuk menemui Raja Dante Edmundo!” sahutku berbohong sambil melangkah melewati Bernice.
“Kalau kalian tidak mempercayai ucapanku … Coba tanyakan langsung pada wakil kapten Savon! Katakan kepadanya, Hime-sama datang berkunjung!” lanjutku meminta kepada dua kesatria di depan.
Aku bergeming, memandang mereka yang saling melirik satu sama lain. “Sampaikan pada wakil kapten Savon, ada wanita bermata hijau yang ingin menemuinya!” Keheningan yang terjadi sebelumnya, kini bersambut dengan sahutan dari salah satu kesatria.
____________.
Berulang-ulang aku menarik napas panjang, dan berkali-kali juga aku sudah menghentakkan kaki ke tanah. Sudah cukup lama kami berdiri, tenggorokanku bahkan sudah mulai mengering akibat menunggu tnpa henti di depan gerbang. “Jangan lengah!” gumamku pelan, sesaat gerbang besar di depan kami mulai terangkat.
Mereka bahkan masih menggunakan gerbang yang dipilih kakakku … Tapi sikap mereka tadi justru lancang sekali!
Sesosok laki-laki yang duduk menunggangi kuda hitam, terlihat di depan mata kala gerbang itu kian terangkat. “Savon!” panggilku, sesaat laki-laki itu membawa kudanya berjalan mendekati kami.
Laki-laki yang menjadi teman baikku selama di Paloma itu, melompat turun dari atas kuda miliknya, “Putri? Kenapa tidak memberi memberi kabar terlebih dahulu?” tanyanya setelah berdiri tepat di hadapanku.
“Mereka semua pengawalku,” ucapku ketika aku tak sengaja menangkap lirikannya yang jatuh pada mereka di belakang, “aku diperintah untuk menemui Dante oleh kakakku. Apa aku, diizinkan untuk masuk ke Paloma?” sambungku, mencoba untuk mengalihkan perhatiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasíaSambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...