Chapter DCCCVIII

1.1K 356 22
                                    

“Ryu….”

Kata-kataku terhenti tatkala dia mengangkat telapak tangan. “Kita lanjutkan setelah sarapan,” tuturnya sambil meneruskan langkah memasuki ruangan.

Aku mengikutinya masuk, lalu duduk di kursi yang berseberangan dengannya dan juga Eneas. “Apa Arata tidak ada di sini?” tanyaku ketika melempar lirikan pada Yuki yang berdiri di belakang Eneas.

“Arata pergi memeriksa perbatasan atas perintah Yang Mulia,” sahutnya menjawab dengan wajah tanpa ekspresi.

Lirikan mataku beralih pada Eneas. Kucoba untuk mengikuti arah pandangannya itu, yang ternyata jatuh pada Sabra di sampingku. “Eneas! Eneas!” Panggilan keduaku padanya, baru membuatnya berpaling menatapku.

“Iya, nee-chan, Ada apa?” tanyanya sedikit kebingungan.

Kutoleh Sabra yang terlihat heran dengan sumpit yang ada di tangannya, “apa kau mengenalinya? Dia perempuan bertopeng Serigala, penjaga dari suku yang pernah kita datangi. Dan Sabra, apa kau ingat dengan adik laki-lakiku yang dulu ikut tinggal di suku kalian?”

“Aku mengingatnya,” tutur Sabra setelah cukup lama menatap Eneas, “dia anak laki-laki yang memakai topeng burung, kan? Dia terlihat sudah dewasa sekarang,” sambungnya, dengan senyum yang ia lempar kepada Eneas.

"Dia juga pandai dalam meracik racun. Banyak penduduk suku yang memuji kemampuannya kala itu."

“Itu bukanlah apa-apa. Namun, terima kasih,” jawab Eneas singkat, dengan wajah yang ia palingkan dari kami

____________.

“Jadi Ryu,” tuturku sambil membuang pandangan ke seluruh arah, “tidak ada seorang pun di sini kecuali kita. Apa yang kau maksudkan sebelumnya?” sambungku, dengan terus memojokkannya ke salah satu pohon.

Ryuzaki berbalik hingga membelakangiku, “mungkin kalian bertemu saat kau berpetualang. Namun yang jelas, kalian berteman baik. Kau dulu suka sekali menolong perempuan yang kau temui selama melakukan perjalanan … Perempuan itu, mungkin salah satu di antara banyak perempuan yang kau tolong.”

“Aku mengingat jelas dirinya, karena di saat itu dia melindungimu dari air ludah makhluk yang mengeluarkan kutukan milik Kaisar. Shin, Tama dan bahkan Kei, baru di kehidupan sekarang kau bertemu dengan mereka. Kou dan Uki saja, tidaklah sekuat sekarang … Uki, tidak seperti sekarang yang bisa menurunkan hujan penyembuh.”

“Kata-katamu mengingatkanku akan suatu hal,” sahutku menimpali ucapannya, “kali pertama Kou dapat keluar dari dunianya tanpa kupanggil, ialah saat aku sudah menikah dengan Zeki. Dan di buku yang pernah aku baca, hal tersebut hanya bisa dilakukan jika pemilik naga tersebut telah dewasa.”

“Shin dan Tama juga mengatakan bahwa aku telah melupakan mereka, dan baru datang setelah beberapa kehidupan. Kei sendiri menculikku karena dia tertarik pada sihir Kou dan sihir yang lain di tubuhku."

"Namun Ryu, aku dan dia berteman, apa kau yakin?”

Ryuzaki diam saja sambil tangannya bergerak menyentuh pohon, “salju tidak turun tadi malam, mungkin malam ini mereka baru turun,” tukas Ryuzaki setelah pohon di hadapan kami terbelah, “aku tidak ingin memaksamu untuk mempercayainya. Namun Sachi, kau tidak membunuhnya saja … Itu sudah membuktikan semuanya,” sambung Ryuzaki sembari jalan meminggir ke kanan.

Aku menoleh sesaat padanya, sebelum kakiku bergerak melewatinya yang sengaja memberiku jalan ke lubang di pohon. Langkahku seketika berhenti oleh angin kencang yang tiba-tiba menerpa. Seluruh tubuhku pun ikut basah, akibat tetesan hujan yang mengguyur.

Kucoba melangkah, mengikuti sihir Ryuzaki yang mengalir di sepanjang tanah. Aku segera berlari menuju pantai, dikala sebuah tubuh dipenuhi lilitan akar … Terombang-ambing, oleh ombak besar yang membawanya kembali ke tepian.

Sebelum aku sempat mendekati pantai. Sosok perempuan yang tak sadarkan diri itu bergerak dengan sendirinya. Ditarik oleh lilitan akar yang masih menyelimuti tubuhnya. “Aku akan membantumu membawanya. Kita tidak bisa terlalu lama di sini! Dia mungkin akan mati kalau kita terlalu lama menolongnya.”

_______________.

Aku berjalan mendekati ranjang dengan sebuah handuk yang membungkus rambut. “Bagaimana keadaannya? Apa kalian sudah mengganti pakaiannya?” tanyaku sambil merangkak naik ke atas ranjang.

Kupandang wajahnya yang penuh lebam kebiruan. Bengkak di seluruh wajahnya, membuatku sedikit sulit untuk mengenalinya. “Aku pikir dia dicambuk sampai tak sadarkan diri sebelum dibuang ke lautan. Seluruh tubuhnya dipenuhi cambukan,” sahut Bernice, menatap kami sambil bersandar di salah satu kursi.

“Dia bisa langsung sembuh kalau kita memberikannya air mata Uki,” tutur Ebe ikut menimpali, “bukankah Sachi menitipkan air tersebut kepadamu, Sabra?”

“Aku memang menyimpannya, tapi aku tidak bisa menggunakannya tanpa izin dari Sachi-”

“Kau tidak perlu meminta izin padaku. Gunakan saja jika memang diperlukan! Hanya saja, jika air tersebut hampir habis, kau harus mengatakannya biar aku bisa mendapatkan yang baru.”

Aku berbalik turun menjauhi ranjang setelah mengucapkannya. Kubuka handuk di kepala lalu kuletakkan handuk tersebut ke dalam keranjang. “Aku ingin pergi keluar sebentar. Jika kalian membutuhkan sesuatu, panggil saja pelayan yang menunggu di depan!”

____________.

Kubuka pintu perpustakaan yang ada di hadapan. Kepalaku mengangguk, kepada dua penjaga perpustakaan yang memberi hormat. Langkahku yang telah berlanjut lagi itu segera berhenti, ketika mata tak sengaja menangkap sosok Eneas.

“Kau ada di sini? Buku apa yang kau baca?” tanyaku sambil menarik kursi yang ada di sampingnya.

Aku duduk, lalu meraih satu buku di tumpukan yang ada di depannya. “Haru nii-san, memintaku untuk belajar politik. Dia memintaku agar membaca semua buku-buku ini, sebelum pergi mendatangi festival,” jawab Eneas dengan kembali menunduk membaca buku di tangannya.

“Jika mengikuti perkataan Ryu, peperangan besar akan terjadi satu tahun kedepan. Sembilan tahun berlalu sejak kau bertemu Aniela, apa kau ingat dengan perkataan Ryu kalau perang akan terjadi di usiamu yang kesembilan belas? Mungkin karena alasan itu juga, Haru-nii mulai berbenah … Sepertinya, aku juga akan meminta Zeki melakukan hal sama nanti.”

“Berbicara tentang Aniela, apa kau tidak ingin menemuinya? Ayah pasti sudah mulai membicarakan tentang pernikahanmu, kan?”

Eneas terdiam tanpa menjawab. Cukup lama aku menatapnya sebelum dia menutup buku, “Ayah sudah memilih pasangan untukku. Seorang Putri, dari Kerajaan yang telah lama bersahabat dengan Sora.”

Mataku menyipit, memandangnya yang tak bisa berpaling dari tumpukan buku di depannya, “kau terpaksa melakukannya?”

Eneas menoleh, “ini keinginanku sendiri. Aku akan melakukan apa pun untuk membantu Sora. Beruntung nee-chan datang berkunjung, jadi aku bisa memberitahu … Kalau pernikahan kami akan dilaksanakan beberapa bulan kedepan.”

Aku memalingkan wajah, diikuti tarikan napas dalam yang kulakukan, “apa kau masih berpikir untuk membalas budi pada keluarga ini? Ayah sudah menganggapmu sebagai anaknya, dia pasti akan menerima setiap keputusanmu.”

“Apa yang nee-chan katakan? Aku dengan senang hati melakukan semua itu, lagi pula … Siapa yang akan menjadi pasanganku itu tidak-”

“Itu tidaklah penting?” sahutku menyergah ucapannya, “apa kau sudah mengenal perempuan tersebut? Apa kau sudah tahu betul, dia baik atau tidak untuk jadi pasanganmu?” tanyaku beruntun padanya.

“Nee-chan, kali ini saja … jangan mempermasalahkan keputusanku.”

Kubanting buku di tangan ke meja, “saat kau kecil, kau hanya ingin memakan masakanku dan jarang sekali memakan masakan orang lain. Baju yang kau pakai, selalu aku cuci dengan sangat hati-hati karena kau selalu memiliki kebiasaan buruk dengan membubuhi kulitmu sendiri menggunakan racun yang kau buat.”

“Aku menyelam kedalam lautan tanpa mempedulikan nyawa sendiri, hanya untuk sebuah harapan kecil  agar adikku baik-baik saja. Apa karena aku sudah menyandang nama Bechir, jadi aku sudah dianggap asing oleh keluarga ini?”

“Baiklah,” lanjutku sambil beranjak, “kau memang sudah dewasa. Kau juga sudah bisa menentukan jalan hidupmu sendiri. Aku tidak akan mengomentari kehidupanmu lagi! Tidak akan!" tuturku, dengan kaki yang melangkah pergi.

Our Queen : Memento Mori (II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang