"Apa kami diizinkan untuk masuk, Savon?" Aku mencoba untuk bertanya sekali lagi padanya.
"Putri-"
"Jangan memanggilku seperti itu! Aku melayani Putri Sachi, lalu bagaimana mungkin kau memanggilku seperti itu!" sergahku unuk panggilan darinya.
Dia menghela napas saat menatapku, "mereka mengenalmu sebagai Putri di sini. Jadi mau tidak mau, aku sudah terbiasa memanggilmu seperti itu. Maafkan aku, Sakura! Aku hanya bisa mengizinkanmu masuk ke Paloma, tapi tidak untuk menemui Yang Mulia."
"Kenapa?" tanyaku untuk yang kesekian kalinya.
"Aku tidak bisa memberitahukannya," tuturnya berbalik membelakangi, "ikuti aku! Aku akan membawa kalian masuk!" sambungnya sambil bergerak mendekati kuda lalu menaikinya.
Kedua mataku menyipit, menatapinya yang sudah semakin jauh membawa kuda tersebut melewati beberapa penjaga yang berjaga di gerbang. "Kalian ikuti aku! Dan jangan berbicara sepatah kata pun, tanpa izin dariku!" perintahku, diikuti kedua kaki yang mulai melangkah menyusul laki-laki itu.
Aku terus saja berjalan mengikutinya di belakang. Savon membawa kami, melewati lalu-lalang masyarakat yang melakukan aktivitas mereka. Sepanjang perjalanan itu juga, aku tak henti-hentinya membalas lirikan orang-orang ke arah kami.
Langkahku seketika berhenti, tatkala tangan kananku terasa ada yang menahannya, "lepaskan tanganku!" pintaku sesaat menoleh, dan menemukan seorang anak perempuan yang melakukannya.
"Makan! Berikan makanan!" sahut anak tersebut berulang-ulang menggunakan Bahasa Kerajaan Paloma.
Aku berbalik lalu berjongkok di hadapan anak perempuan tadi, "bukankah di sini ada yayasan? Kalau lapar, kau bisa ke sana," jawabku dengan bahasa yang sama.
Aku terhenyak, ketika raut wajah dari anak di depanku itu tiba-tiba berubah. Anak tersebut dengan sigap melepaskan pegangan tangannya lalu berlari menjauh tanpa sebab. "Apa yang terjadi di sini?" tanyaku, disaat mata tak sengaja menangkap sebuah bayangan yang berasal dari belakang.
Aku beranjak lalu berbalik, ketika pertanyaanku tadi tak kunjung mendapatkan jawaban. "Savon, apa terjadi sesuatu di sini?" tanyaku kembali, kepadanya yang telah menunggangi kuda tepat di hadapanku.
Wajahku mendongak, disusul helaan napas berat yang dikeluarkan, "baiklah. Jika kami dilarang untuk mengunjugi Istana. Aku hanya akan berkunjung ke yayasan, dan menyapa mereka yang ada di sana-"
"Tidak ada lagi yayasan. Semua yang ada di dalamnya pun, sudah tidak ada lagi."
Mataku membelalak. Aku segera memanglingkan wajah kepadanya, sesaat mendengar apa yang ia katakan, "apa maksudmu? Kenapa yayasan sekarang sudah tidak ada lagi?" tanyaku sembari berlari menyusulnya.
"Savon!" panggilku sambil menarik lengannya.
Savon menatapku lama setelah menghentikan kudanya. Matanya melirik ke sekitar, sebelum kembali melihatku, "ikuti aku!" jawaban singkat darinya, berhasil membuat cengkeramanku di lengannya terlepas.
Langkahku kembali berlanjut, menyusulnya yang terus saja berjalan tanpa memikirkan orang-orang di sekitar. Kuda yang Savon tunggangi berhenti, di depan sebuah rumah tua yang jauh dari keramaian. "Hanya kau yang aku perbolehkan masuk, sedang keempat pengawalmu tidak kuizinkan untuk masuk!" tutur Savon, sesaat dia melompat turun dari kuda.
Aku menoleh pada mereka berempat, "tunggulah di sini! Aku akan segera kembali," ucapku, sebelum lanjut berjalan mendekati rumah tersebut.
Aku melangkah, melewati Savon yang berdiri di samping pintu ... Pintu yang ia tahan agar terbuka itu, kini tertutup kembali disaat aku sudah duduk di salah satu kursi di sana. "Rumah ini-"
"Ini rumah yang ditinggalkan oleh orang tuaku!" sahut Savon, sebelum gumaman yang kulakukan itu selesai.
Tanpa menanggapi sahutannya. Mataku justru melirik pada beberapa obor kecil yang menempel di dinding. "Kau melarangku ke Istana ... Apa terjadi sesuatu?" Aku kembali membuka suara saat menoleh ke arahnya.
"Lalu Yayasan? Apa maksudmu kalau Yayasan yang dulu kubangun sudah tidak ada?" tanyaku lagi, ketika dia bergerak mendekati kursi yang ada di dekatku lalu mendudukinya.
"Kenapa kau menolak ajakan pernikahan dari Yang Mulia?"
Dia yang balik bertanya itu membuatku sontak terkejut, tatkala mendengar pertanyaannya, "aku hanya ingin menikah dengan laki-laki pilihanku sendiri. Aku tidak tertarik kepadanya! Apa aku harus memaksa diri sendiri untuk menerimanya?"
"Padahal Yang Mulia sudah memperlakukanmu layaknya seorang Putri yang sangat dihormati di sini."
Savon menghela napasnya, setelah dia cukup lama terdiam oleh ucapan yang ia katakan sendiri. "Satu tahun setelah kalian meninggalkan Paloma. Yang Mulia mendapatkan surat, berisikan lamaran dari Kerajaan Sianra. Putri dari Kerajaan tersebut terkenal dengan kecantikannya, hingga Yang Mulia menerima pernikahan tersebut tanpa berpikir panjang."
"Lalu?"
"Jangan datang ke Istana!" pintanya, berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, "kabar bahwa kau dulu telah menolak lamaran Yang Mulia beberapa kali, sudah menyebar di kalangan kesatria. Dan secara tidak langsung ... Ratu yang sekarang juga mengetahui kabar tersebut."
"Ratu mungkin akan mengeksekusimu, kalau saja dia tahu bahwa kau kembali ke sini."
"Sakura!" panggilnya, setelah berhenti berbicara sejenak, "kau mungkin berjasa dulu pada Kerajaan ini. Namun, semua yang telah kau bangun kini sudah dimusnahkan ... Habis tak bersisa-"
"Jika Paloma seburuk itu sekarang, kenapa? Maksudku, kau memanggilku Putri di depan semua kesatria tadi ... Dan juga, kenapa kau membawa kami masuk ke sini, kalau kehadiranku di sini saja sudah berbahaya?"
Savon menghela napas pelan, lalu tersenyum menatapku, "karena kau berhak untuk mengetahui semuanya. Lagi pula, aku sudah lelah menjadi kesatria."
"Kabar tentang kedatanganmu, mungkin akan segera terdengar ke Istana. Mereka mungkin akan mencariku untuk membawamu ke sana. Namun Sakura, pergilah secara diam-diam ke Utara! Di sana, terdapat sebuah kelompok pemberontak yang berkerja di bawah tanah. Mereka, akan menolongmu-"
"Bagaimana denganmu?" Aku segera memotong ucapannya.
"Aku akan menyerahkan diri untuk dieksekusi." Savon tertunduk dengan tarikan napas dalam yang ia lakukan, "sebenarnya, pihak Istana sudah mengawasiku sejak lama. Mereka mencurigaiku melakukan pemberontakan, tapi mereka tidak memiliki bukti untuk menghukumku."
"Kalau dengan kematianku bisa menghapus jejak pemberontakan dan menyelamatkan mereka. Aku akan melakukannya dengan senang hati. Paloma merupakan rumahku ... Aku hanya ingin, Paloma kembali jaya seperti dulu."
Aku memalingkan wajah dengan menggigiti bibir sendiri saat mendengar ucapannya, "jangan mati, Bodoh!" tuturku sambil melirik padanya lagi, "aku menghabiskan banyak perjuangan untuk membuat Kerajaan ini bertumbuh pesat. Jika Kerajaan ini jatuh seperti sekarang ... Justru hatiku yang lebih sakit mendengarnya."
Tubuhku bergerak mundur, bersandar pada punggung kursi, "aku akan mengambil alih Kerajaan ini. Tidak perlu mengorbankan diri, Savon. Hanya bawa saja aku ke Istana, menemui mereka!"
"Kau akan mati! Apa yang bisa dilakukan pengembara seperti kalian? Kau tidak akan menang, melawan kekuasaan mereka!"
"Benarkah? Lalu bagaimana kau bisa menjelaskan kejadian bertahun-tahun yang lalu? Bahkan Pengembara seperti kami, bisa menyelamatkan Kerajaan ini, bukan? Bahkan orang asing seperti kami, bisa dengan mudah ikut campur dalam masalah-masalah yang muncul di Kerajaan kalian."
"Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk menemui mereka yang hidup di yayasan ... Dan juga untuk menemuimu, Savon," sambungku lagi, menutup pembicaraan di antara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasíaSambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...