Aku terdiam sejenak, ketika mereka berempat yang tengah berbincang seketika menoleh sesaat aku baru saja membuka pintu. Aku segera berjalan mendekati ranjang tanpa mengucapkan apa pun, setelah pintu sudah kututup kembali. “Ebe, apa kau bisa menolongku membereskan semua barang? Aku ingin, kita segera pergi dari sini esok pagi!” pintaku, setelah berbaring dengan posisi menelungkup di ranjang.
“Apa terjadi sesuatu?” sahutnya yang segera beranjak dari lantai lalu berjalan mendekat.
Wajahku segera berpaling ke arah yang lain sebelum dia semakin mendekati ranjang, “tidak terjadi apa-apa. Urusanku di sini telah selesai. Apa yang ingin aku sampaikan … Sudah aku sampaikan.”
____________.
“Apa kalian sudah memeriksa ulang semua barang?” tanyaku, sambil menyelipkan pedang ke pinggang.
Kuraih tas di ranjang lalu memakainya ke pundak. Aku berbalik, mendekati Ebe yang tengah kesulitan mengikat rambut. “Aku akan membantumu. Apa kau sudah memastikan semua barang tidak ada yang tertinggal?” tanyaku, seraya mengikat ulang rambutnya dengan pita berwarna cokelat.
“Aku sudah memeriksa semuanya dua kali semalam. Tidak ada yang tertinggal. Terima kasih, Sachi,” ungkapnya yang berbalik setelah aku sudah selesai mengikat rambutnya.
Aku terdiam dengan menatap mereka bergantian yang telah berdiri di dekatku, “kita berangkat!” tuturku sembari melangkahkan kaki mendekati pintu lalu membukanya.
Baru saja hendak melangkah keluar. Langkah kami sudah dihentikan dengan sosok Tatsuya yang entah sejak kapan sudah berdiri, terlihat menunggu kedatangan kami. “Putri?” ucapnya dengan raut wajah penuh heran, “kalian ingin ke mana?” sambungnya memastikan rasa penasaran.
“Kami ingin melanjutkan perjalanan. Ada apa, Tatsuya? Apa terjadi sesuatu pada kakakku?”
Laki-laki di hadapanku itu menggeleng, “Yang Mulia, memerintahku untuk menjemput kalian semua agar melakukan makan pagi. Mereka semua, telah menunggu kedatangan kalian, khususnya Putri di ruang makan,” sahutnya dengan membungkuk di hadapanku.
Aku menghening cukup lama memandanginya, “baiklah. Kami akan ke sana,” ungkapku menyanggupi perkataannya.
Langkahku mulai lanjut kembali, mengikuti Tatsuya yang menuntun kami ke ruang makan. Suara kebersamaan yang berasal dari dalam ruangan, seketika menghening kala aku memasukinya. “Kenapa kalian harus membawa tas untuk makan?” tanya Ayah, sesaat dia menoleh padaku.
Aku melangkah, lalu berhenti tepat di sampingnya, “aku ingin melanjutkan perjalanan. Urusanku di sini telah selesai,” jawabku, yang segera dibalas raut kekecewaan di wajahnya.
Mataku melirik pada sebuah kain keemasan yang membungkus sebuah kotak di dekat Ryuzaki. Kain yang sama, juga membungkus sebuah kotak di dekat Ayah. Mataku kembali bergerak, memandang berbagai macam makanan-makanan manis di atas meja.
Ah, beberapa hari yang lalu merupakan hari lahir Sachi. Aku bahkan tidak mengingat semua itu, setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini.
Aku menarik napas dalam sebelum berpaling pada Eneas, kala mereka semua terdiam tanpa suara. “Aku akan menjaganya untukmu. Berusahalah untuk membuatnya kagum, saat aku membawanya kembali.”
“Sachi!”
Aku segera menoleh pada Haruki yang menatapku dari kursinya. “Kou sudah menunggu kedatangan kami. Sora mungkin akan membeku, jika dia terlalu lama menginjak salju yang turun,” tukasku berbohong padanya.
“Aku pergi nii-chan, Eneas, Ryu,” ucapku kembali sambil menatap mereka bergantian, “Ayah aku pergi, jaga diri Ayah baik-baik. Aku pergi Ibu, jaga dirimu baik-baik,” sambungku mengucapkannya sambil berbalik pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
خيال (فانتازيا)Sambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...