Kedua mataku terbuka oleh suara gemerancang yang terdengar. Aku menoleh, ke arah beberapa orang yang berdiri di balik jeruji tengah mengawasi. Seorang laki-laki masuk, disusul dengan yang lainnya setelah salah satu di antara mereka membuka jeruji.
Bibirku masih terkatup rapat. Aku diam, dengan mata yang terus menatap beberapa perempuan tengah tertunduk melihatku. Mataku kembali berhenti bergerak, jatuh membalas tatapan dari salah seorang perempuan berpenampilan paling anggun dan menawan di antara yang lainnya.
“Saya mendengar, bahwasanya penyelamat Paloma telah kembali.”
“Nona Sakura?” sambung perempuan berpenampilan anggun tadi dengan senyum menyeringai saat menatapku.
“Kau mengenalku? Tapi maaf, aku tidak mengenalmu,” sahutku santai membalas ucapannya.
Mataku sempat terpejam, dikala sebuah tangan tiba-tiba menjambak kuat rambutku, “berani-beraninya kau berbicara seperti itu kepada Ratu! Dasar kau perempuan rendahan!” Sepintas makian kudapatkan, mengikuti jambakan pada rambutku itu.
Ratu? Jadi perempuan ini-
Wajahku yang semula tertunduk, kini mendongak oleh tarikan di rambutku tadi, “buka matamu baik-baik! Beraninya kau berbicara seperti itu kepada Ratu kami! Tidak ada yang tidak mengenalnya! Semua orang sangatlah kagum pada kecantikannya!” seru perempuan paruh baya yang masih menjenggut rambutku itu.
Aku masih terdiam, menatap senyuman yang diberikan oleh perempuan di hadapanku itu. Senyumannya berangsur menghilang, disaat bibirku membalasnya dengan senyuman yang lebih lebar, “aku tidak akan mengakui kecantikan seseorang yang jauh dibawah kecantikanku sendiri,” ucapan yang baru saja keluar itu, dengan cepat membuat raut wajah perempuan tadi berubah suram.
Kutarik napas panjang setelah sebuah tamparan kuat mengenai pipi. Perempuan yang disebut Ratu itu mengepalkan tangan kanannya … Matanya menatapku dengan penuh amarah, diselingi napasnya yang terdengar naik turun, “perempuan tanpa status sepertimu, lancang sekali kau mengatakannya!” tuturnya geram, sambil tak melepaskan pandangannya dariku.
“Perempuan tanpa status sepertiku ini, sudah cukup membuatmu ketar-ketir, kan, Ratu?”
Kedua mata perempuan itu, kembali membelalak lebar kala mendengar sindiran yang kuberikan. “Beraninya kau!” bentaknya, yang hendak kembali memukulku tapi justru dihentikan oleh perempuan paruh baya di dekatnya.
Aku masih tak bersuara, dengan lirikan yang terus kujatuhkan pada perempuan paruh baya sebelumnya yang sedang berbisik pada Ratu di dekatku itu. Jantungku mulai berdegup, tatkala sebuah senyum kembali merekah di bibir Ratu tersebut disaat perempuan paruh baya sebelumnya bergerak mundur, sedikit menjauhinya.
“Lucuti semua pakaiannya!” perintah singkat dari Ratu, membuat tubuhku sekejap membeku.
Dengan sigap, beberapa perempuan di belakangnya segera memegangi kedua lenganku. “Lepaskan aku!” balasku memerintah dikala, empat perempuan lainnya turut bergerak menahan kedua kakiku.
“My Lord!”
“Tetaplah di tempat kalian!” ujarku kembali berseru menggunakan Bahasa Latin, disaat teriakan Kou memenuhi kepala.
Tubuhku bergerak, untuk berusaha melepaskan diri dari cengkeraman hampir sepuluh perempuan yang menahanku agar tak berkutik. “Aku bersumpah akan membuatmu menyesali semua ini!” tuturku kepada perempuan yang disebut Ratu, sesaat beberapa perempuan yang kemungkinan merupakan pelayannya itu mulai merobek sedikit demi sedikit pakaianku.
“Berikan saya sebuah pisau!” Lagi-lagi suara dari Ratu tersebut kembali membuat wajahku terangkat menatapinya.
Senyum menyeringai sekali lagi menghiasi bibirnya, disaat seorang pelayan memberikan apa yang ia pinta. Dia membungkuk setelah melepaskan pisau di tangannya itu dari sarungnya, “saya tidak menyangka, bahwasanya seorang pengelana akan memiliki rambut yang terawat seperti ini,” ucap Ratu tadi sambil meraih dan menarik rambut yang kukuncir.
Mataku membesar tatkala dia tersenyum lagi dengan mengangkat pisau di tangannya itu. “Jangan sekali-kali keluar tanpa perintah dariku!” bentakku disaat suara panggilan dari hewan-hewanku itu mengusik isi kepala.
Aku terdiam … Bibir kugigit dengan kuat, ketika Ratu itu tertawa terbahak-bahak setelah selesai memotong rambut panjangku. Dilemparkannya ke wajahku, potongan rambut yang masih terikat oleh sebuah kain pita sesaat para pelayannya turut menertawakan perlakuan yang kuterima. “Penampilan seperti ini, lebih cocok untuk perempuan sepertimu,” ucapnya, ketika aku masih termenung menatapi potongan rambut yang jatuh ke paha.
“Lakukan padanya!”
Perempuan yang disebut Ratu itu kembali bersuara, akan tetapi … Aku sama sekali tak menggubrisnya. Mataku justru bergerak, menatapi tubuh bagian bawahku yang sudah kehilangan kain penutupnya. Lirikanku juga merayap, menelusuri pakaianku yang sudah terbelah dua hingga memperlihatkan dadaku sepenuhnya.
Aku tertunduk dengan sangat tiba-tiba. Rasa sakit, mengerubungi pundakku … Hingga membuatku yang ketika itu masih termenung, tersungkur seketika. Aku meringis … Mataku terpejam tatkala sakit bercampur perih kembali mengenai pundakku yang lain.
“Cambuk terus dia! Buat dia tidak bisa bergerak lagi!” Sebaris perintah dari Ratu yang terdengar, kembali membuat pundak hingga punggungku dihujani rasa sakit.
Kugigit kuat bibir … Kedua tanganku ikut mengepal kuat, disaat cambukan lagi-lagi menyabet kulit. “Sachi! Jangan mati! Kumohon, panggil kami! Panggil kami, Sachi!” sahutan Lux dengan suara gemetar, kembali memenuhi kepalaku disaat cambukan mengenaiku untuk kesekian kalinya.
Ini bukanlah apa-apa dibanding dengan apa yang sudah aku alami selama ini!
Tujuanku harus tercapai! Rencanaku harus berhasil! Kaisar harus kukalahkan agar anak-anakku bisa mendapatkan hidup yang baik!
Ini bukanlah apa-apa, Sachi! Ini bukanlah apa-apa!
“Sachi!”
“My Lord!”
Suara-suara itu balik bersahut di dalam kepala, sesaat aku terbatuk oleh cambukan yang kembali kuterima. Mataku tertutup untuk kesekian kalinya … Sekuat mungkin, kutahan rasa sakit yang terus dan terus mendera. “Jangan menghancurkan rencanaku!” gumamku pelan, dengan suara yang hampir sulit untuk didengar.
Batuk, lagi-lagi keluar dari mulutku. Mataku yang berkunang itu, melirik ke ujung jari-jemariku yang gemetar hebat oleh rasa sakit di sekujur badan. Tubuhku yang menelungkup itu, sangatlah susah untuk digerakkan … Bahkan untuk mengangkat satu jari saja, terasa sangat menyulitkan.
Kepalaku mendongak dengan tiba-tiba, dikarenakan oleh cengkeraman kuat yang menjenggut rambutku. “Bagaimana caramu akan membuat saya menyesal? Lihatlah keadaanmu sendiri! Sungguh menyedihkan,” tuturnya sambil memperlihatkan seringai di ujung bibirnya.
Aku terpejam lagi, dikala wajahku menghantam lantai oleh dorongan yang ia lakukan di kepalaku. Napasku yang sudah tak beraturan itu, semakin terdengar jelas memasuki telinga. Sekuat mungkin, kucoba untuk menggerakkan kepala … Hanya untuk mencari cahaya, mencari embusan udara agar aku bisa kembali mengatur napas.
“Sachi!” suara Lux kembali muncul di kepala. Getaran di suaranya begitu jelas terdengar, disaat dia terisak di sela-sela panggilan itu, “kau tidak perlu mengorbankan diri untuk manusia yang belum tentu akan berterima kasih kepadamu!” sambungnya, dengan nada suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.
“Aku melakukan semua ini, hanya untuk diriku sendiri. Kau akan selalu mendukungku, kan?” gumamku lagi, sambil mata menatap kosong pada dinding.
Lirikan mataku bergerak ke ujung mata … mengikuti bayangan mereka yang mulai bergerak jauh meninggalkanku sendiri. “Seret beberapa tahanan laki-laki ke sini! Katakan pada mereka … Ratu akan membebaskan kalian, kalau kalian … Merenggut sisa-sisa kehormatan dari perempuan yang ada di sana!” Sebaris perintah yang ia tinggalkan, mengiringi deritan sebuah besi sebelum keheningan menyelimuti sekitar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori (II)
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori (I). Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning...