"HAYO!"
Asa terlonjak kaget setelah seseorang melompat dan menepuk bahunya dari belakang sembari berseru. Pemuda itu menoleh, kemudian menampakkan raut datar pada Yara yang tengah menyengir lebar.
"Untung Yara yang ngagetin, gue nggak bisa marah," kata Asa kalem sambil tersenyum.
Membuat Yara tertawa melihat pergantian raut Asa dari datar jadi manis. Setelahnya, Yara bertanya, "Kalau bukan Yara?"
"Nggak bisa marah juga, kan harus banyak sabar," jawab Asa masih kalem.
"Tapi kalau Jey?"
"Marah lah! Nggak ada kata sabar buat dia," sahut Asa mendadak sewot.
Kembali Yara tertawa, kini dengan tangan yang bergerak ringan memukul lengan Asa. Asa menatap tangan itu, hobi cewek, ya, ketawa sambil mukul.
Yara memandang paper bag di tangan Asa, lalu melihat sekeliling jalan yang tak begitu ramai. Ya, keduanya berada di pinggir jalan.
"Lo dari mana?" tanya Yara.
"Tukang jahit, ngecilin rok sekolah Anna," kata Asa, membuka sedikit paper bag, menunjukkan pada Yara isi di dalamnya.
"Kenapa nggak Anna yang berangkat sendiri?" Tidak ada maksud apa-apa, Yara hanya penasaran.
Dan Asa membalasnya, "Anna lagi sakit perut, kayaknya sih nyeri karena mau datang tamu bulanan. Jadi, gue yang berangkat ke tukang jahit, besok pagi udah mau dipake soalnya."
Kalimatnya membuat Yara berdecak kagum dalam hati, Asa abang yang baik.
"Kenapa jalan kaki? Motor lo mana? Sepeda juga ada kan?"
Asa tertawa geli, lalu mengacak pelan rambut Yara, gemas mendengar Yara banyak tanya. Tanpa permisi, Asa menggandeng Yara lalu mengajaknya berjalan ke arah rumah keduanya. Daripada ngobrol di pinggir jalan.
"Nggak pa-pa. Pengin jalan-jalan aja. Gue lebih suka jalan kalau malem gini, suasananya bikin lebih tenang, bisa sambil ngeredain cape di pikiran juga. Singkatnya, bikin nyaman, makanya gue suka," kata Asa dengan senyum hangat di akhir kata.
Yara mengalihkan pandangan, tak lagi menatap Asa. Ia tak begitu sadar kalau dirinya dan Asa bergandengan. Yara akui, akhir-akhir ini perlahan ia mulai jatuh pada pesona Asa. Apalagi tutur katanya, Yara mengaguminya.
Gadis itu berdeham menguasai diri. "Kalau jaraknya jauh, lo tetep milih jalan kaki?" tanyanya bergurau.
Asa tampak berpikir sejenak, kemudian berkata, "Boleh, jalan kaki. Asal sama lo."
Sontak Yara menoleh pada Asa. Asa tersenyum manis dan melepaskan genggamannya. Asa sedikit mempercepat langkah hingga berjalan di depan Yara. Sementara Yara mengernyit, mencoba memahami maksud lain dari ucapan Asa, tanpa tahu kalau Asa di depannya tengah tersenyum lebar salah tingkah sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
YARA & ASANYA | ✔
Teen FictionAngkasa Abrisam bukan lagi green flag, tapi hijau neon. ** Ayyara Khainina Liani tidak lagi percaya pada ketulusan selain dari orang tua dan abangnya. Kejadian di masa lalu menghancurkan rasa percaya Yara pada orang lain. Ia tidak pernah lagi meneri...