Pikirannya tak mau diam, hatinya pun terus membatin, mendorongnya untuk memastikan langkah apa yang akan ia ambil setelah ini.
Soal siapa lagi kalau bukan Angkasa Abrisam.
Sebenarnya Yara sudah sempat yakin untuk mulai percaya pada Asa. Namun baru saja ia kepikiran, sepertinya kalau bersama Asa, Yara hanya akan menimbulkan banyak kesusahan untuk pemuda itu. Kalau memang hal tersebut terjadi, lebih baik sejak awal jangan pernah ada hubungan spesial bukan.
Silakan katakan kalau Yara labil, Yara tak akan menyangkal.
Namun Yara teringat ucapan Zea tempo hari. Rasa takut ada untuk dilawan, bukan hanya didiamkan.
Kalau tidak dicoba, bagaimana bisa tahu rasanya seperti apa.
Setelah beberapa saat berjalan dari kelas, akhirnya Yara sampai di depan ruang tari. Sebelum masuk, Yara menoleh pada ruangan yang berada tepat di sisi kanan ruang tari.
Pintu yang terbuka itu membuat Yara dapat melihat orang-orang wara wiri dengan aktifitasnya. Dengar-dengar, itu adalah ruangan OSIS yang baru, kemarin sore pindahan.
Seseorang keluar dari ruang OSIS tersebut dan berdiri di ambang pintu sembari menatap Yara. "Hai, Ra!" sapa Jey semangat. "Mau mampir dulu? Liat-liat ruang OSIS yang baru nih. Mau liat Ketua OSIS-nya juga boleh, gratis kalo buat lo, bonus peluk dan cium."
Yara hanya membalas dengan tawa pelan tanpa kata.
Raut Jey mendadak datar. "Secara nggak langsung lo nolak nih?" ujarnya.
"Nanti aja, kapan-kapan. Gue mau latihan," kata Yara yang memang hendak latihan tari untuk acara dies natalis nanti.
"Kapan-kapannya kapan? Kalo Asa sih udah kangen lo dari tadi," kata Jey masih saja.
Hingga tanpa Jey ketahui, Asa menghampirinya dari belakang, lalu menoyor pelan kepala Jey. Membuat Jey segera menoleh dan langsung mendelik kesal.
"Jangan paksa Yara," ucap Asa tegas, ia melangkah keluar untuk berdiri di depan Jey. "Dan jangan berdiri di tengah pintu, ngalangin jalan," lanjutnya jadi galak.
"Duh, iya-iya, njir!" sahut Jey sewot, lalu pindah ke sebelah Asa dan tidak lagi di ambang pintu.
Selanjutnya, Jey kembali menatap Yara yang masih tampak kalem. "Ayo, Ra. Mampir bentar," celetuk Jey belum kapok.
"Jangan paksa Yara, monyet!" gerutu Asa, menatap Jey dengan kesal namun volume bicaranya masih pelan.
Yara mengalihkan pandangan, kemudian mengatur degup jantungnya. Asa seperhatian itu pada Yara, lama-lama Yara salto nih saking saltingnya.
Sementara Jey sudah ingin sekali menyantet Asa. Jey berkata ngegas, "Siap, Bos! Galak amat pacar lu, Ra."
Sontak Yara serta Asa kompak menatap Jey, membuat Jey tersadar akan ucapannya. "Eh, sorry. Masih calon pacar," ungkapnya enteng, "atau justru masih sekedar teman."
KAMU SEDANG MEMBACA
YARA & ASANYA | ✔
Teen FictionAngkasa Abrisam bukan lagi green flag, tapi hijau neon. ** Ayyara Khainina Liani tidak lagi percaya pada ketulusan selain dari orang tua dan abangnya. Kejadian di masa lalu menghancurkan rasa percaya Yara pada orang lain. Ia tidak pernah lagi meneri...