"Astaga, Angkasa Abrisam. Bisa-bisanya lo telat. Selama bertahun-tahun kenal lo, ini pertama kalinya gue tau lo telat berangkat sekolah sampe dihukum. The best moment ever, anjir!"
Asa menggosok telinganya karena ocehan dari Jey, rasanya Asa ingin melempar alat pel di tangannya ke wajah Jey.
Dirinya yang lelah memberikan alat pel tadi pada seorang murid lainnya yang juga dihukum, murid itu tengah membereskan alat-alat pembersih karena mereka sudah selesai menyelesaikan hukuman. Asa berjalan menghampiri Jey yang berdiri dengan berkacak pinggang dan menampakkan raut songong.
"Bacot!" cetus Asa ketika sudah berada di hadapan Jey.
Jey tertawa. "Ya, lo lagian," ucapannya berhenti sejenak, tangannya bertengger pada pundak Asa, "nggak pernah telat sama sekali loh sebelumnya. Mantan Ketua OSIS dihukum karena telat. Padahal dulu kadang lo yang kasih hukuman. Eh, sekarang lo yang ngerasain hukuman itu. Ya, nothing's wrong sih Ketua OSIS dihukum. But, ini kan lo, Sa. Telat tuh nggak terdaftar di kamus lo."
Ah, Asa sudah hilang kesabaran. Langsung saja dia tepis tangan Jey di pundaknya, dia piting leher Jey, dijambak dengan emosi. Dia menggeret Jey tanpa ampun.
"Dih, anjing! Mainnya kekerasan. Sakit, Saaa!" Jey merengek. "Lepasin dong, bestie."
Dan Asa melepaskannya. Raut wajah pemuda itu masih saja tak bersahabat, tatapannya tajam dengan aura dingin.
Sengaja Jey tak merapikan kerah serta rambutnya, pasti dia kini terlihat seperti bad boy dengan tampang berantakan dan para adik kelas akan dengan mudah terpesona padanya.
Terserah, Jey.
Dia berjalan sedikit di belakang Asa. Mendadak dia menangkupkan kedua tangan di depan dada lalu berkata, "Yara, cepet balik, Ra. Laki lo ngamuk mulu, udah 3 hari loh, Ra. Lo nggak kasian apa sama gue, selalu dijadiin pelampiasan sama Asa. Balik, Ra. Jangan ngilang terus. Kasian Asa, eh, kasian gue deng."
"Ya, lo mancing emosi mulu, gimana Asa nggak tambah kebakaran. Panas tuh kepala sama tubuh Asa, gerah hati and gerah body, rasanya mau terjun ke sungai. Bunuh diri. Saking kangennya sama Yara."
Perkataan itu membuat Asa dan Jey refleks berbalik, menemukan Romeo yang melangkah mendekat dengan kedua tangan di saku celana, berjalan tenang dan kalem.
"Si anying, ini lagi satu!" umpat Jey geram.
Asa ingin menyangkal, atau memiting leher Romeo seperti pada Jey tadi. Namun ucapan Romeo terlalu menohok Asa, karena nyatanya memang begitu adanya, sehingga Asa terdiam tak mampu membalas.
Romeo tertawa saja melihat respons Asa dan Jey. Dia merangkul Jey di kiri dan Asa di kanan. Romeo yang posisinya di tengah pun kembali berkata, "Lo kenapa bisa sampe telat, Sa?"
"Nunggu Yara, ya—"
Belum juga Jey mingkem, Romeo sudah membungkam mulut Jey dengan tangan. "Diam, Saropi! Gue nanya Asa," ucap Romeo. Setelahnya, Jey menutup mulut rapat-rapat dan merengut, ngambek.
KAMU SEDANG MEMBACA
YARA & ASANYA | ✔
Подростковая литератураAngkasa Abrisam bukan lagi green flag, tapi hijau neon. ** Ayyara Khainina Liani tidak lagi percaya pada ketulusan selain dari orang tua dan abangnya. Kejadian di masa lalu menghancurkan rasa percaya Yara pada orang lain. Ia tidak pernah lagi meneri...