Semenjak berteman dengan Asa, Yara merasa ada beberapa perubahan dalam dirinya. Yara yang banyak bicara mulai kembali, Yara yang dengan enteng mengekspresikan apa yang dirasakan, Yara yang jadi sering berpikir kalau berusaha membuka lembaran baru itu tidak ada salahnya.
Tetapi Yara benar-benar menikmati waktunya sendirian tanpa teman dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Tidak perlu repot menjaga perasaan orang lain, tidak perlu menahan diri untuk terlihat baik-baik saja, tidak perlu percaya pada orang-orang bermuka dua.
Namun kehidupan sosial tetaplah ada, Yara tidak bisa terus-terusan sendirian ketika orang di luaran sana sebenarnya ingin mendekat. Pun pasti ada saat-saat di mana Yara tidak bisa melakukan sesuatu sendirian, dia butuh bantuan orang lain. Sepintar apa pun mengelak, nyatanya Yara pasti butuh, hanya tak mau mengaku.
Membuka buku baru, menulis cerita baru, membuat harapan dan keinginan baru. Tidak mudah. Tapi tak ada salahnya dicoba 'kan?
Dan setelah direnungkan, Yara rindu menjadi dirinya versi dulu.
"Eh, sori!" Yara refleks meminta maaf ketika seorang siswi lain tak sengaja menabraknya.
Siswi tersebut melihat Yara dengan marah. Dia berjalan tanpa memerhatikan sekitar, fokusnya pada bedak dan kaca di tangan, ia memoles wajahnya sambil berjalan. Dan ketika Yara tidak sengaja menabraknya, bedaknya terjatuh.
Bahkan Yara sampai merunduk, mengambilkan bedak itu untuk sekadar membantu. Tetapi ketika Yara menyodorkan bedak tersebut ke siswi tadi, si siswi langsung menyahut kasar.
"Jalan tuh yang bener!" sentaknya pada Yara, "nggak bisa, ya, jalan sambil merhatiin sekitar!? Punya mata buat apa, ha?"
Tunggu, Yara bukan gadis lemah yang terima saja ketika diperlakukan seperti ini.
Yara menyeringai kecil. "Nggak salah lo nanya gitu ke gue? Ada kaca kan tuh, coba deh lo ngaca. Siapa yang jalan nggak merhatiin sekitar, ha? Makanya, jalan tuh yang bener. Nggak usah sambil dempulan!" katanya dengan sinis.
Jelas siswi itu tidak terima. "Eh, kok malah nyalahin gue—"
"Shutt, diem!" Tiba-tiba Dita sudah tiba saja di sebelah siswi tadi, sekalian menghentikan omong kosongnya.
Yara memandang itu dengan alis terangkat.
"Lo nggak pa-pa?" tanya Dita pada Yara. Yang justru membuat Yara mengernyit heran tanpa menjawab, beneran Dita menanyakan keadaannya?
Hingga kemudian Dita mengulang pertanyaannya "Yara, lo nggak pa-pa?"
"Nggak pa-pa," balas Yara cuek.
"Siapa sih, Ta? Lo kenal sama anak baru yang songong banget ini?"
"Hah?" Lucunya, Yara dan Dita tak sengaja kompak mengucap kata yang sama setelah mendengar pertanyaan siswi tadi. Yara menyipitkan mata pada Dita, tampak sinis, tapi Dita melengos pelan sambil tersenyum geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
YARA & ASANYA | ✔
Novela JuvenilAngkasa Abrisam bukan lagi green flag, tapi hijau neon. ** Ayyara Khainina Liani tidak lagi percaya pada ketulusan selain dari orang tua dan abangnya. Kejadian di masa lalu menghancurkan rasa percaya Yara pada orang lain. Ia tidak pernah lagi meneri...