Menyaksikan kedekatan Yara dengan adik dan ibunya selalu bisa membuat perasaan Asa menghangat. Senang karena keluarganya bisa menerima Yara, dan Yara tak hanya menyayangi Asa namun juga Nuri serta Anna.
Seperti sekarang, Yara dan Anna tengah duduk dengan saling rangkul, menonton sinetron sambil sesekali berisik tertawa atau mengomentari adegan yang terlihat pada layar televisi. Sementara Runi, ibu Asa, baru saja pamit ke kamar untuk istirahat lebih awal.
Yara menoleh ketika dirasa seseorang tengah memerhatikannya. Asa berdiri di depan kamarnya setelah kembali dari dapur, tatapannya masih pada Yara.
"Sa?" ucap Yara, bertanya-tanya mengenai tatapan dalam Asa.
Asa tersenyum tipis. Tanpa membalas lagi, Asa masuk kamar dan meninggalkan Yara yang masih butuh jawaban atas tatapan Asa yang Yara pikir tidak biasa.
'Asa aneh,' batin Yara.
Dari semenjak Yara ikut masuk ke rumah Asa tadi, sampai selepas sholat Magrib berjamaah kemudian makan malam bersama pun Asa tidak bicara pada Yara. Ketika Yara bertanya, Asa hanya mengangguk atau menggeleng.
Melihat pintu kamar Asa yang tidak ditutup dan seolah memberi izin pada Yara untuk masuk, Yara bangkit dari duduknya. "An, Kakak ke kamar Mas kamu dulu, ya," pamit Yara pada Anna.
"Ha? Ah, iya, Kak," balas Anna, tak mengalihkan pandangan dari sinetron favoritnya.
Yara mulai berjalan. Sesampainya di depan kamar Asa, Yara hanya diam sambil berdiri memandang Asa yang fokus menulis pada buku tugasnya.
Yara memilih untuk mendekat. "Rajin amat sih, besok juga masih hari Minggu," celetuk Yara membuat Asa menoleh.
"Hari Senin udah harus dikumpul. Kalo ngerjainnya besok, takut buru-buru," balas Asa, tak lama menatap Yara lalu kembali menunduk lanjut menulis.
"Jangan banyak males, jangan banyak nunda pekerjaan. Sebentar lagi ujian, Ra. Aku harus pastiin nilaiku tetep stabil. Kamu juga," lanjutnya serius.
Menghela napas kemudian menjawab singkat, "Iya." Yara beranjak dan duduk di tepi tempat tidur Asa, menatap punggung pemuda itu.
"Sibuk banget, ya?" ucap Yara pelan ketika Asa masih saja fokus pada tugasnya tanpa sedikit pun mengajak Yara bicara.
Selanjutnya Yara merebahkan tubuh dan mendengus kesal. Lalu memejamkan dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Hah, overthinking lagi.
Perlahan Asa meletakkan penanya, agak menoleh dan melirik Yara.
Asa sedang bingung dengan dirinya sendiri. Dari beberapa hari lalu, saat tidak bertemu Yara, Asa merasa banyak sekali yang ingin ia bicarakan serta utarakan. Namun ketika si gadis sudah di depan mata, semua kata yang tersimpan seakan sirna. Asa tak tahu mengapa lidahnya terasa kelu untuk berkata.
Asa marah. Tapi tidak tahu pada siapa. Pada Yara yang seolah begitu tega mempermainkan perasaannya, atau pada diri sendiri yang tak bisa sepenuhnya percaya pada Yara.
KAMU SEDANG MEMBACA
YARA & ASANYA | ✔
Teen FictionAngkasa Abrisam bukan lagi green flag, tapi hijau neon. ** Ayyara Khainina Liani tidak lagi percaya pada ketulusan selain dari orang tua dan abangnya. Kejadian di masa lalu menghancurkan rasa percaya Yara pada orang lain. Ia tidak pernah lagi meneri...