"Tapi Bang Reza benar, emangnya Fany bisa apa buat sakitin lo?"
Wajah Elena semakin masam. Bercerita kepada Gibran pun tidak membuahkan hasil. Matanya menatap malas pada pria yang tengah mengupas mangga di sofa kamarnya. Sedangkan Reza tengah di kantor saat ini.
"Keluar sana, males gue lihat lo," usirnya kemudian fokus pada ponselnya.
"Nih makan," tanpa ia sadari Gibran sudah mendekat padanya. Menyodorkan piring kecil berisikan mangga yang sudah dipotong.
"Tangan lo bersih?" tanyanya menyelidik. Ditatapnya mangga dan Gibran secara bergantian.
"Kepleset kuman-kuman kalau hinggap ditangan gue," balas Gibran ngawur. "Emang lo lihat ada tanda-tanda Fany bisa celakain lo?" Gibran kembali ke sofa setelah piring tadi diterima oleh iparnya. Mata Reza bisa dimana-mana, dia tidak mau ambil resiko dengan dekat-dekat Elena.
"Wajah dia," Elena berkata serius. "Ekspresi dia seolah pengin lenyapin gue." lanjutnya penuh keyakinan. Bukan hanya itu, feelingnya juga berkata jika Fany memang tidak main-main.
"Lo juga gitu kan?" helaan nafas pelan lolos dari Gibran. "Bang Reza, gue, lo, Gava, semua orang bisa kayak gitu karena benci sama orang lain. Bukan berarti mereka akan bertindak seburuk itu kan?"
Gibran benar, siapa saja bisa menunjukkan ekspresi serupa ketika membenci seseorang. Elena sendiri merasakannya, dalam khayalannya dia sudah membenturkan kepala Tiffany ke tembok lalu membuat wanita itu jatuh dari ketinggian. Hanya saja semua itu imajinasi semata. Mana mungkin dia berani melakukan hal tersebut.
"Gue cuma takut," lirih Elena pada akhirnya.
"Banyak yang jagain lo, Kak. Percaya sama gue."
Senyum Elena tersungging sedikit. Ya, dia harus percaya. Ada Reza yang akan selalu melindunginya, begitupun Gibran. Keluarga ini, ia yakin mereka akan melindunginya. Untuk musuh seukuran Tiffany, seharusnya dia tidak merasa takut bukan?
🍁🍁🍁
Hari-hari terasa berjalan lamban ketika dia tidak diperbolehkan mengerjakan apapun. Oleh karena itu, ketika dia diberi sedikit kebebasan dia merasa sangat bahagia. Walau hanya sekedar pergi ke cafe terdekat, Elena tidak masalah. Itupun dia bersama dengan Gava, adik iparnya yang mangkir dari pekerjaan dengan alasan bosan.
"Sebelum pulang muter-muter dulu ya?" pinta Elena ketika keduanya berjalan keluar dari cafe. Sudah dua jam mereka duduk disana. Membicarakan apapun untuk mengisi waktu.
"Siap nyonya," Gava membukakan pintu untuk kakak iparnya. Membantu wanita itu masuk kedalam mobil. Karena alih-alih membawa Audi, pilihannya jatuh pada Rubicon yang baru beberapa hari menghuni garasi rumahnya.
"Kira-kira anak gue cowok apa cewek ya?" Elena bergumam cukup jelas. Pandangannya menerawang, membayangkan rupa anaknya kelak. "Rasanya pengen tahu dari sekarang, tapi nggak surprise lagi dong!"
"Menurut gue sih cewek." dibalik kemudi Gava menanggapi. Feelingnya berkata jika calon keponakannya itu perempuan. Karena semenjak hamil, Elena sangat suka melihat pria-pria tampan.
"Kalau cowok?"
"Ya nggak masalah juga sih. Gue kasih mobil-mobilan yang bisa terbang entar."
"Emang a-- Gava!"
Tubuh keduanya tersentak kedepan. Beruntung ada sabuk pengaman yang melindungi mereka. Jika saja mereka lalai, mungkin kepala mereka sudah menjadi korban sekarang.
"Gila ya tuh orang!" seru Gava sembari menunjuk mobil di depannya yang tiba-tiba berhenti setelah menyalip. Beruntung kawasan pinggiran kota ini terbilang sepi. Jika di jalan raya, mungkin bisa terjadi kecelakaan beruntun. "Lo nggak apa-apa kan Kak?" pertanyaan Gava dijawab oleh anggukan saja. Wajah Elena masih terlihat shock. "Gue turun dulu, lo disini aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Wrong Bride (#4 Wiratama's)
Romance[End] Gagal menikah, kehilangan kedua orangtuanya. Sebenarnya kesalahan apa yang telah ia perbuat sampai mendapat ujian bertubi-tubi? Tiba-tiba saja Reza datang, menawarkan sebuah pernikahan seolah hal itu hanyalah mainan. Saat ia berusaha menolak...