Kapan terakhir kali dia melihat Kakaknya kacau seperti ini? Saat gagal menyelamatkan adik mereka dulu? Ditinggalkan oleh Tiffany? Tapi kondisi Reza tidak separah ini. Pria itu tetap masih waras saat ditinggalkan oleh Tiffany, pun masih bisa merencanakan hal lain ketika gagal menyelamatkan adiknya dulu.
Sekarang? Apa yang bisa dikatakan baik dari kondisi Reza? Fisiknya terlihat menurun drastis, Reza memang tidak berisi namun tidak sekurus sekarang. Terlebih tinggi pria itu yang membuat dirinya terlihat seperti lidi. Jiwanya? Regan tidak yakin kalau Kakaknya masih waras.
Sejak kembali dari Hawaii, Regan langsung mengecek kondisi Kakaknya. Wajah babak belur dengan jiwa yang entah ada dimana. Reza bagaikan robot yang seolah diprogram hanya untuk bekerja. Selang dua hari, Regan mendapati Reza mabuk-mabukan di ruangannya sendiri. Ruangan yang sebelumnya tidak terjamah minuman beralkohol tersebut.
Malam ini, Reza pun melakukan hal yang sama. Setelah bekerja gila-gilaan, pria itu akan minum dengan kegilaan yang sama. Tanpa peduli apakah sudah ada nasi di perutnya. Jika orangtua mereka tahu, pasti satu rumah akan langsung khawatir.
"Kenapa lo bisa segila ini Bang?" Regan merebut paksa botol di genggaman tangan Kakaknya. Ia menghela nafas lelah ketika sang Kakak mengambil botol baru. Mau dia buang semuanya pun, besoknya ruangan ini akan diisi oleh botol-botol beraneka merk ini.
"Gue juga gatau," Reza terkekeh pelan kemudian menenggak minuman langsung dari botolnya. Lidahnya seolah sudah tidak bisa membedakan rasa lagi sekarang. Semuanya sama saja, pahit, seperti hidupnya.
"Kak Lena nolak pulang?" sebenarnya dia lelah terus bertanya tanpa mendapat jawaban. Tapi dia pun tidak bisa melakukan hal lain. Memaksa dengan kekerasan? Bahkan ketika mendapat pukulan darinya, Reza hanya diam saja.
"Kalau gue cerai..." Reza bergumam pelan, kedua matanya sudah memerah. "Apa gue masih bisa hidup setelah itu?"
Pandangan mata Regan tertuju pada Kakaknya kemudian pada botol di tangannya. Meraih gelas, ia menuangkan minuman yang tidak disukai oleh istrinya ini kedalam gelas. "Orang kalau udah bucin emang susah." ujarnya kemudian meneguk minuman tersebut. "Lo udah nyerah?" kepalanya menoleh, menatap Kakaknya yang entah masih memiliki kesadaran atau tidak.
Kekehan lolos dari sela bibir Reza. Kepalanya menggeleng pelan, menunduk sesaat kemudian mengangkat kepalanya lagi. "Dia udah nemu yang lebih baik." ujarnya kemudian kembali tertawa. Tawa yang terdengar memilukan di telinga Regan. "Kondisi dia juga keliatan lebih baik, jauh lebih baik ketimbang pas sama gue."
"Terus mau lo gimana? Pisah?" tanya Regan terdengar pasrah. Bingung sendiri dengan kondisi Kakaknya.
Prang!
Sebuah botol mencium lantai tanpa aba-aba. Tubuh Regan terperanjat mendengarnya, ia langsung menoleh kembali pada sang Kakak yang sekarang tengah menumpukkan kepalanya pada lipatan tangan diatas meja kerjanya. Tertidur? Bisa saja.
Menghela nafas pelan, ia mengeluarkan ponselnya. Mencari kontak dari sumber ke kekacauan hidup Kakaknya.
"Halo, Regan?"
"Halo, Kak. Disana udah siang kan?" sapanya membalas sapaan Kakak iparnya. Berbasa-basi juga memastikan jika Elena masih di Hawaii, yang selisih waktunya sekitar 17 jam dengan Indonesia.
"Emh, disini udah siang. Ada apa?"
Helaan nafas lolos dari sela bibir Regan. "Gue sebenernya nggak mau ikut campur Kak, tapi kondisi Bang Reza... Bikin gue terpaksa mau ngomong ini sama lo."
Hening. Untuk beberapa saat tidak ada jawaban dari seberang. Jika saja tidak terdengar suara deburan ombak juga orang-orang yang tengah mengobrol, maka Regan akan mengira jika sambungan sudah terputus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Wrong Bride (#4 Wiratama's)
Romansa[End] Gagal menikah, kehilangan kedua orangtuanya. Sebenarnya kesalahan apa yang telah ia perbuat sampai mendapat ujian bertubi-tubi? Tiba-tiba saja Reza datang, menawarkan sebuah pernikahan seolah hal itu hanyalah mainan. Saat ia berusaha menolak...