Bau khas rumah sakit menyambut indera penciumannya saat kesadarannya berangsur pulih. Kepalanya terasa pening, tubuhnya terasa sangat lemas. Matanya terbuka secara perlahan, mengerjap menatap langit-langit kamar yang putih bersih tanpa noda. Sinar lampu sedikit menyilaukan, namun terasa lebih baik ketimbang kegelapan.
Ingatannya berangsur kembali. Saat itu dia bersama Gava, tiba-tiba saja sekelompok orang menyerang mereka. Gava sekarat tergeletak di jalanan sedangkan dia dipaksa untuk ikut. Kedua tangannya diikat, berkali-kali dia memberontak namun percuma. Tak ada seorangpun yang melintas, seolah hal itu sudah diatur.
Ditengah perjalanan entah kemana, yang dia tahu menuju kawasan pegunungan, sebuah mobil berhasil menghentikan mereka. Dijalan yang tidak terlalu lebar tersebut, dimana terdapat jurang disebelah mereka, terjadi pertikaian disana. Sedangkan tak jauh dari posisi mereka terdapat tanah lapang nan tandus yang terlihat tidak terurus.
Galih. Sosok yang tak disangka olehnya datang dengan helikopter. Sedangkan orang-orang yang menghadang mobil yang menculiknya adalah anak buah Galih.
Ingatannya masih sangat jelas ketika seseorang menjadikannya sandera. Menodongkan pistol dikepalanya karena merasa terpojokkan. Tentu saja empat orang itu tidak akan menang bukan. Perutnya yang sudah keram sejak tadi semakin terasa sakit.
"LEPASKAN DIA! APAPUN YANG KAMU INGINKAN, AKAN SAYA TURUTI." teriakkan Galih terdengar keras. Pria yang tadinya menodongkan senjata api kini terlihat tidak berdaya.
"Jatuhkan semua senjata kalian." satu orang lagi yang tidak menyandera Elena berkata. Sedangkan dua orang lainnya sudah tak sadarkan diri akibat orang-orang Galih.
"Bertekuk lutut!"
Semua orang menurut setelah mendapat kode dari Galih. Ketika orang yang membawa Elena akan masuk kedalam mobil, tanpa mereka sadari seseorang sudah berada di dekat mereka. Bahkan Elena sampai tidak menyadarinya.
Perkelahian terjadi, sedangkan senjata api tadi sudah terjatuh. Satu orang lainnya yang bersiap menembak dengan senjatanya berhasil dilawan walau sudah menumbangkan dua orang. Telinga Elena terasa berdenging mendengar suara letupan pistol yang memekam telinga m
Tubuhnya yang lemas tak bertenaga tiba-tiba saja ditarik. Belum sempat ia mencerna situasi, seseorang merebut tubuhnya seolah mainan. Ternyata Galih. Hanya sepersekian detik dia bisa berpikir, detik selanjutnya tubuhnya terperosok kedalam jurang setelah terdengar letupan senjata api.
Galih tertembak. Pria itu jatuh ke jurang bersamanya, keduanya berguling dengan kedua lengan Galih yang memeluknya. Bahkan pria itu berusaha menjaga kepala Elena agar tetap aman.
Sakit. Rasanya sangat sakit. Wajah pucat Galih masih jelas diingatannya. Rasa sakit yang luar biasa pada perutnya pun masih ia ingat.
Mulai menyadari situasi, ia meraba perutnya pelan. Tangannya bergetar mendapati ada perbedaan disana. Tidak mungkin, bagaimana bisa tonjolan diperutnya hilang begitu saja. Menyisakan lemak yang tidak seberapa.
Cklek!
Pandangannya langsung tertuju pada pintu kamar yang terbuka. "A-- uhuk!" Berapa lama dirinya tertidur sampai tenggorokannya terasa sangat kering seperti ini?
"Minum dulu," tanpa menolak ia menerima gelas yang disodorkan. Ia bisa melihat wajah terkejut pria ini tadi. "Kamu sa--"
"Dimana anakku?" Elena bertanya setelah merasa lebih baik. Nafasnya mulai tidak teratur menyadari ada kejanggalan pada tubuhnya.
"Tenang sayang..." Reza mencoba merengkuh tubuh istrinya namun mendapat penolakan. "Elena tenang... Jangan banyak bergerak."
Pergerakan sembrono Elena terus berlanjut. Mulutnya terus bertanya 'dimana anaknya'. Matanya berkeliaran kesana kemari, mencari keberadaan sang anak. "Dimana... DIMANA ANAKKU?!" teriaknya keras. Detik berikutnya dia meringis merasakan sakit pada perutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Wrong Bride (#4 Wiratama's)
Romantizm[End] Gagal menikah, kehilangan kedua orangtuanya. Sebenarnya kesalahan apa yang telah ia perbuat sampai mendapat ujian bertubi-tubi? Tiba-tiba saja Reza datang, menawarkan sebuah pernikahan seolah hal itu hanyalah mainan. Saat ia berusaha menolak...