Dua hari berlalu sejak perdebatan masalah masalalu Reza. Di hari Sabtu ini, Elena meminta untuk berkunjung ke kediaman utama Wiratama. Lucu rasanya, dulu dia sangat enggan jika harus berkunjung. Sekarang, dia malah betah berada dirumah besar ini. Terlebih jika semua anggota keluarganya lengkap.
Sejak kelahiran baby Ken, Revika dan Galih memutuskan tinggal dirumah utama agar orangtua mereka dapat membantu mengurus bayi gempal itu. Sedangkan dua lajang yang tersisa, setiap weekend akan pulang kerumah jika tidak ada pekerjaan. Karena ketegasan dari Rian makanya kedua anak itu mau pulang. Belum lagi ancaman dari Alina dan Farah.
"Gibran... I miss you..." Elena yang mendapati Gibran tengah berjalan menuju ruang santai pun langsung cepat-cepat menghampiri. Tanpa basa-basi ia langsung memeluk tubuh adik iparnya ini.
Selama dua hari, Gibran ada pekerjaan di Sulawesi. Padahal selama bekerja dalam satu proyek, sedikit banyak Elena selalu berbagi keluh kesah dengan pria ini. Gibran tidak terlalu banyak berkomentar, walau kadang sekali bicara tidak terdengar enak dihati. Namun pria ini adalah teman yang pas untuk curhat. Dan setelah masalah kemarin, dia merasa tidak punya sandaran.
Gibran yang merasa bingung hanya berdiri kaku. Ini adalah kali pertama Elena memeluknya. Biasanya perempuan ini hanya akan bersandar di bahunya atau memeluk lengannya. Tangannya bergerak pelan menepuk-nepuk bahu perempuan yang masih setia memeluknya ini. Ketika ia mendongak, pandangannya bertemu dengan mata tajam Kakaknya. Jika saja pandangan bisa membunuh, pasti dia sudah mati sekarang.
"Suami lo udah siap bunuh gue, jangan aneh-aneh deh." tegurnya berbisik. Hal yang salah karena aura Reza semakin suram.
"Kak Lena..." penuh kelembutan nan kesabaran ia menegur. Baru saja dia mencoba mendorong bahu Kakak iparnya, samar ia mendengar isakkan kecil. "Lo nangis?" tanyanya terkejut.
Tanpa sadar suaranya cukup keras, mengundang atensi orang lain. Gava yang baru saja muncul pun mendekat, begitupun dengan Reza.
"Sayang..." suara Reza terdengar begitu lembut. Gibran saja sampai heran Kakaknya bisa selembut itu. Ketika melihat Elena menepis tangan Reza yang baru saja menyentuh bahunya, Gibran sudah bisa mulai paham. Keduanya tengah ada masalah.
"Lo jahat!" hardik Elena. Gibran pikir itu untuk suami perempuan ini, ternyata untuk dirinya karena selanjutnya Elena memukul dadanya. Pukulan yang tidak terlalu berasa namun dilakukan berkali-kali. "Kenapa segala make keluar kota sih?!"
Wajah sembab Elena mendongak, tanpa heels tinggi Elena hanya sebahu Gibran. Sedangkan perempuan itu memilih menangis di dada bidang adik iparnya. Membuat kaus Gibran basah sekarang. Padahal dia baru saja mandi, sedangkan kamarnya terletak diatas. Rasanya terlalu malas untuk mengambil baju ganti.
"Mundur dulu, mundur. Entar anak lo kegencet gimana?" wajah Elena semakin terlihat kesal mendengar penuturan Gibran. "Kenapa sih? Bang Reza jahatin lo?" Kalau iya kenapa gue yang dimaki-maki anjir. Hanya di dalam hati, karena Gibran takut menyinggung hati ibu hamil ini.
Kepala Elena mengangguk beberapa kali, seperti anak kecil ketika menjawab pertanyaan. "Gue males sama dia, mau sama lo aja..."
"Mau ganti suami Kak?" celetukan Gava memang terdengar seperti candaan. Gibran saja harus menahan tawa ketika melihat wajah murka Kakaknya.
"Sama lo aja deh, Gav." Elena bersingut mendekati Gava. "Mereka pada ngebohongin gue, cuma lo yang enggak." lanjutnya sembari memeluk lengan Gava.
"Gue bohong apaan?" Gibran terlihat tidak terima akan tuduhan kakak iparnya. Sekilas ia melirik kakak tertuanya yang terlihat pasrah. Pasti tekanan pria itu sangat berat.
"Tau ah! Mood gue buruk liat kalian! Yuk Gav, makan ice cream." tanpa menoleh kembali, Elena menarik tangan Gava menuju dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Wrong Bride (#4 Wiratama's)
Romance[End] Gagal menikah, kehilangan kedua orangtuanya. Sebenarnya kesalahan apa yang telah ia perbuat sampai mendapat ujian bertubi-tubi? Tiba-tiba saja Reza datang, menawarkan sebuah pernikahan seolah hal itu hanyalah mainan. Saat ia berusaha menolak...