Suasana hatinya baru mulai membaik sejak kemarin. Weekend-nya belum habis, ini masih hari minggu. Kenapa masalah tetap saja datang? Beruntung para generasi tua tengah pergi ke Bogor untuk menghadiri sebuah acara. Juga Galih bersama anak istrinya tengah keluar entah kemana. Bahkan Gava belum bangun, tapi wanita tidak tahu diri ini sudah duduk manis di ruang tamu kediaman Wiratama. Catat itu, kediaman Wiratama.
Nyali seorang Tiffany memang sangatlah besar. Berkunjung dengan memasang wajah tanpa dosa, seolah kehadirannya disini adalah hal biasa. Terlebih alasan yang diutarakan sangat membuat emosinya naik.
"Maaf Elena, tapi aku pengin banget makan sambil lihat Reza. Sumpah ini bawaan bayi."
Ketika Reza bergabung dengan mereka, wajah Elena semakin tidak enak dipandang. Tidak ada lagi wajah baik-baik saja yang selalu dia pasang. Segala ekspresi yang ingin ia tunjukkan akan ia tampilkan tanpa tadeng aling-aling. Tiffany sudah ia tetapkan sebagai musuhnya, jadi tidak perlu ada kepalsuan. Dia benci wanita itu, dan semua orang bisa mengetahuinya.
"Kalau... Aku minta Reza buat suapin aku, boleh?"
Tipe orang tidak tahu diri. Sudah dikasih hati minta jantung. Mata Elena berkilat memandangnya. "Tangan lo belum beralih fungsi. Kalau nggak mau makan, mending keluar dari sini!" hanya ada mereka bertiga disini. Di depan Reza dia merasa sudah tidak perlu bersikap baik pada Tiffany. Biar saja Reza tahu jika dia amat sangat anti dengan perempuan ini.
"Tapi Lena... Aku beneran belum makan sejak semalem." wajah Tiffany terlihat memelas.
"Kamu mau suapi dia?" Elena bertanya pada Reza. Pertanyaan yang terdengar seperti ancaman ditelinga Reza.
Kepala Reza menggeleng pelan, walau wajahnya tetap datar tetap saja ada kesan manis dari perilaku menurut suaminya ini. Tandanya Reza tahu jika dia tidak bisa diajak bernegosiasi sekarang.
"Cepat makan atau keluar dari sini?!"
Wajah Tiffany terlihat tertekuk. Apa perempuan itu pikir wajahnya akan terlihat menggemaskan? Tidak sama sekali. Yang ada malah membuat keinginan Elena untuk mencakar wajah itu semakin kuat.
Bergeser sedikit, ia merapatkan duduknya pada sang suami. Kedua tangannya bergerak memeluk pinggang Reza dari samping. Menyandarkan kepalanya pada bahu pria itu. Di depan Tiffany, mereka harus terlihat sangat harmonis bukan?
Tangan Reza balas merangkulnya. Mana mungkin Reza menolaknya sekarang. Walau Reza bukan tipe yang mengumbar hal romantis, tapi tidak untuk kali ini. Karena sejak pertengkaran mereka, dia memang sengaja memberi jarak. Jadi bisa dibilang ini adalah bonus untuk Reza.
"Jangan banyak pikiran, nanti kamu stress." tangan Reza mengusap lembut kepala istrinya. Kemudian memberikan pijatan lembut disana.
"Kamu sumbernya." balas Elena sembari memejamkan mata. Anggap saja hanya ada mereka berdua disini, yang ketiga adalah setan.
"Reza... Aku ingin membeli perlengkapan bayi. Apa kamu ada waktu untuk menemani?"
Mata Elena masih terpejam. Sengaja dia diam untuk mendengar jawaban suaminya. Lihat saja apa yang akan ia lakukan jika Reza sampai setuju.
"Saya sibuk, nanti ada orang saya yang akan menemani-mu, katakan saja hari apa."
Senyum Elena tak bisa wanita itu sembunyikan. Ia membuka mata untuk melihat ekspresi kalah Tiffany. Apa wanita itu masih berpikir bisa mengalahkannya?
"Sudah selesai? Ada sesuatu yang mau gue omongin sama lo,"
Tak berselang lama, Tiffany meletakan piringnya di meja. Mengambil gelas lalu meminum air putih yang disediakan oleh pelayan tadi. "Tentu, ayo Elena."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Wrong Bride (#4 Wiratama's)
Romance[End] Gagal menikah, kehilangan kedua orangtuanya. Sebenarnya kesalahan apa yang telah ia perbuat sampai mendapat ujian bertubi-tubi? Tiba-tiba saja Reza datang, menawarkan sebuah pernikahan seolah hal itu hanyalah mainan. Saat ia berusaha menolak...